Pilkada, seperti yang konon disepakati oleh seluruh bagian dari Republik, ditujukan untuk mencari suksesi kepemimpinan di daerah. Harapannya, partai-partai politik di daerah bisa menangkap dan mendekatkan kehendak politik rakyat di tataran daerah.
Seperti itulah mungkin, esensi Pilkada di lakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di repbulik tercinta. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang sebelumnya telah mendesak dibukanya desentralisasi dalam praktek kehidupan bernegara.
Namun benarkah Pilkada 2024 akan bisa membawa nilai-nilai luhur itu dalam prakteknya nanti? Pertanyaan ini mungkin tidak akan mudah dijawab. Sebab dalam praktiknya, Pilkada kadang memunculkan bias dalam prosesnya.
Melihat konteks terkini, sepertinya keinginan seperti itu masih belum sepenuhnya bisa terwujud. Melihat fenomena yang terjadi, Pilkada bisa jadi hanya akan menjadi sekedar spektrum dari sebuah sumber.
Pilkada akan menjadi sebuah keramaian di daerah, namun sumbernya tetap berada di Jakarta, dimana kekuatan politik absolut berkumpul. Dari Jakarta semua akan ditentukan, dan daerah hanya bisa mengikuti apa kemauan Jakarta.
Jika kita menengok situasi Pilkada di beberapa wilayah, dengan lebih jeli, ada proses-proses yang sepertinya masih kurang sesuai dengan keinginan baik Pilkada. Tidak semua partai-partai politik di daerah, bisa leluasa memainkan peran untuk menghidupkan politik lokal daerahnya.
Partai Politik yang seharusnya menjadi manifestasi bagi terbentuknya keinginan politik rakyat di daerah dibatasi oleh kontrol partai bernama ’rekomendasi’. Dalam praktiknya, membuat partai politik di daerah ’nyaris’ tak berkutik.
SETELAH usai Pilpres dan Pileg, rakyat Indonesia akan kembali di hadapkan pada keriuhan politik di arena Pilkada 2024. Sebuah pesta demokrasi jilid berikutnya, dari agenda besar Pemilu Serentak 2024.
Pilkada, seperti yang konon disepakati oleh seluruh bagian dari Republik, ditujukan untuk mencari suksesi kepemimpinan di daerah. Harapannya, partai-partai politik di daerah bisa menangkap dan mendekatkan kehendak politik rakyat di tataran daerah.
Semestinya Pilkada memunculkan gagasan-gagasan politik asli, natural, orisinil dan mengakar dari rakyat di daerah. Bagaimana sebuah daerah membentuk keinginan politik lokal daerahnya, seharus bisa terakomodir di dalam proses Pilkada ini.
Seperti itulah mungkin, esensi Pilkada di lakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di repbulik tercinta. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang sebelumnya telah mendesak dibukanya desentralisasi dalam praktek kehidupan bernegara.
Namun benarkah Pilkada 2024 akan bisa membawa nilai-nilai luhur itu dalam prakteknya nanti? Pertanyaan ini mungkin tidak akan mudah dijawab. Sebab dalam praktiknya, Pilkada kadang memunculkan bias dalam prosesnya.
Melihat konteks terkini, sepertinya keinginan seperti itu masih belum sepenuhnya bisa terwujud. Melihat fenomena yang terjadi, Pilkada bisa jadi hanya akan menjadi sekedar spektrum dari sebuah sumber.
Pilkada akan menjadi sebuah keramaian di daerah, namun sumbernya tetap berada di Jakarta, dimana kekuatan politik absolut berkumpul. Dari Jakarta semua akan ditentukan, dan daerah hanya bisa mengikuti apa kemauan Jakarta.
Jika kita menengok situasi Pilkada di beberapa wilayah, dengan lebih jeli, ada proses-proses yang sepertinya masih kurang sesuai dengan keinginan baik Pilkada. Tidak semua partai-partai politik di daerah, bisa leluasa memainkan peran untuk menghidupkan politik lokal daerahnya.
Partai Politik yang seharusnya menjadi manifestasi bagi terbentuknya keinginan politik rakyat di daerah dibatasi oleh kontrol partai bernama ’rekomendasi’. Dalam praktiknya, membuat partai politik di daerah ’nyaris’ tak berkutik.
Dipaksa bertarung....
Calon-calon pemimpin daerah akhirnya dipaksa bertarung di arena yang sangat luas, melebihi ’wilayah’ daerah itu sendiri. Menghabiskan banyak energi, biaya dan air mata.
Politik pragmatis atau bahkan transaksional, yang saat ini bahkan sudah menjadi rahasia umum dalam proses-proses demokrasi, juga memberi pengaruh. Tidak terkecuali di Pilkada, perilaku seperti itu diyakini sudah terjadi dalam tahapan-tahapan Pilkada yang sudah berjalan.
Perilaku politik seperti ini, pada kenyataanya telah terbukti membuat jalan partai politik di daerah menjadi sempoyongan. Mereka tidak bisa mendapatkan gagasan-gagasan genuine yang sebenarnya diinginkan kehendak politik rakyat di daerah.
Kekuatan finansial, bisa jadi saat ini lebih dominan didalam mempengaruhi pengambilan keputusan politik di masing-masing Parpol. Itu membuat ruang-ruang politik yang dibuka akhirnya seolah hanya menjadi lipstik atau sekedar membuat rakyat senang.
Parpol-parpol akhirnya tidak berani memunculkan kader terbaiknya, karena merasa kalah dalam urusan ’amunisi’. Atau bisa juga kader terbaik partai akhirnya memilih tiarap karena tidak mampu memenuhi kalkulasi pembiayaan.
Apa daya, tapi inilah yang memang sedang terjadi.
Lalu bagaimana dengan rakyat di daerah? ‘Permisif, ‘tidak mau tau’, ‘terserah mereka’, ’apa kata mereka’, ‘tidak bisa apa-apa’, barangkali itulah kata-kata yang dapat mewakili bagaimana yang terjadi atas sikap rakyat saat ini.
Itu adalah sebuah kenyataan pada saat ini. Secara ideal, situasi-situasi ini tentu saja tidak akan pernah sesuai dengan teori-teori dan kehendak baik yang diinginkan.
Sinyalemen bahwa demokrasi di republik ini mulai melenceng boleh-boleh saja disampaikan. Namun apa boleh buat, Pilkada 2024 nyatanya tetap harus dijalankan untuk keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Bahwa mungkin ada kelemahan, ada manipulasi, ada transaksional, ada politik uang, mungkin sema harus diterima untuk saat ini. Tidak ada pilihan bagi Republik sementara ini, selain meneruskan proses untuk mendapatkan keberlangsungan berbangsa dan bernegara.
Selebihnya kita tentu tetap berharap, akan muncul kesadaran baru, keberanian baru, keinginan kolektif baru, secepatnya di kemudian hari. Untuk memperbaiki demokrasi kita yang terbentuk saat ini, sehingga bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Mari kita nikmati Pilkada 2024 tetap dengan penuh harapan. Semoga Tuhan selalu bersama Indonesia. (*)