Keputusan yang menetapkan 10 tokoh bangsa sebagai Pahlawan Nasional merupakan pengakuan tertinggi negara atas jasa-jasa luar biasa mereka.
Namun, seperti yang sering terjadi, daftar nama tersebut memicu perdebatan sengit tentang bagaimana sejarah seharusnya dikenang dan siapa yang pantas mendapatkan tempat terhormat dalam narasi kebangsaan.
Daftar penerima tahun ini, yang mencakup tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang, menunjukkan upaya untuk merangkul spektrum sejarah yang luas.
Kita melihat pengakuan terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sang pejuang pluralisme dan demokrasi, serta Marsinah, simbol keteguhan buruh melawan represi Orde Baru.
Kehadiran Marsinah, khususnya, menjadi penanda penting bahwa perjuangan keadilan sosial dan hak asasi manusia di tingkat rakyat jelata kini diakui setara dengan perjuangan politik dan bersenjata.
Namun, yang paling memicu kontroversi adalah penetapan Soeharto, Presiden ke-2 RI, sebagai Pahlawan Nasional.
PENGANUGERAHAN gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan tahun ini sekali lagi mengundang decak kagum sekaligus polemik.
Keputusan yang menetapkan 10 tokoh bangsa sebagai Pahlawan Nasional merupakan pengakuan tertinggi negara atas jasa-jasa luar biasa mereka.
Namun, seperti yang sering terjadi, daftar nama tersebut memicu perdebatan sengit tentang bagaimana sejarah seharusnya dikenang dan siapa yang pantas mendapatkan tempat terhormat dalam narasi kebangsaan.
Daftar penerima tahun ini, yang mencakup tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang, menunjukkan upaya untuk merangkul spektrum sejarah yang luas.
Kita melihat pengakuan terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sang pejuang pluralisme dan demokrasi, serta Marsinah, simbol keteguhan buruh melawan represi Orde Baru.
Kehadiran Marsinah, khususnya, menjadi penanda penting bahwa perjuangan keadilan sosial dan hak asasi manusia di tingkat rakyat jelata kini diakui setara dengan perjuangan politik dan bersenjata.
Namun, yang paling memicu kontroversi adalah penetapan Soeharto, Presiden ke-2 RI, sebagai Pahlawan Nasional.
Penetapan Soeharto, tokoh yang selama 32 tahun memerintah dengan otoritas absolut dan lekat dengan isu pelanggaran HAM dan korupsi, adalah keputusan politik yang sangat berani.
Para pendukung menyoroti jasanya dalam menjaga stabilitas nasional pasca-1966 dan keberhasilan pembangunan ekonomi yang menciptakan pondasi infrastruktur modern Indonesia.
Mereka berargumen bahwa sejarah harus dilihat secara utuh, mengakui sisi positif tanpa menafikan kekurangan. Namun, bagi korban pelanggaran HAM dan pegiat reformasi, gelar ini terasa melukai rasa keadilan.
Pahlawan Nasional, sesuai Undang-Undang, harus memiliki integritas moral dan keteladanan, serta tidak pernah dipidana karena tindak pidana yang mencoreng nama baik bangsa.
Meskipun Soeharto tidak pernah divonis di pengadilan atas tuduhan pelanggaran HAM atau korupsi, bayang-bayang peristiwa 1965, Tragedi Trisakti, dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama Orde Baru adalah fakta sejarah yang tak terhapuskan.
Penganugerahan ini berisiko mengirimkan pesan bahwa pembangunan materi dapat mengesampingkan atau bahkan menebus pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi.
Keputusan Presiden Prabowo ini, terlepas dari polemiknya, dapat dilihat sebagai upaya untuk merekatkan kembali narasi sejarah bangsa yang terpecah.
Ini mungkin adalah langkah menuju rekonsiliasi sejarah, sebuah upaya untuk menerima seluruh faset, baik yang cemerlang maupun yang kelam, dari perjalanan Indonesia.
Namun, rekonsiliasi yang bermartabat tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan. Gelar Pahlawan Nasional seharusnya tidak hanya tentang jasa, tetapi juga tentang integritas moral dan keteladanan yang inspiratif bagi generasi penerus.
Kepada Presiden Prabowo, penganugerahan gelar ini harus diikuti dengan komitmen yang lebih besar untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Pengakuan atas tokoh-tokoh bermasalah harus diimbangi dengan pengakuan dan pemulihan hak-hak korban. Jika tidak, gelar Pahlawan Nasional hanya akan menjadi cap politik yang memperkeruh bangsa dan negara.