Pada tahun 2012 sudah pernah ada dokumen mengenai rencana Redenominasi yang sudah diusulkan pemerintah Indonesia. Wacana menghilangkan tiga angka nol di mata uang rupiah bahkan telah diajukan lewat RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi Rupiah).
Baru‐baru ini, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 (PMK 70/2025), rencana ini kembali ditegaskan. PMK tersebut menyebut, RUU terkait Redenominasi ini harus bisa diselesaikan sekitar tahun 2027. Karena penggunaan rupiah dengan nominal besar dalam transaksi sehari-hari yang masih lazim, dinilai sudah kurang efisien.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendorong redenominasi rupiah. Jika pecahan rupiah terlalu banyak angka nol, maka dalam transaksi, pencatatan, sistem IT, maupun pada neraca keuangan bisa menjadi kurang efisien.
Misalnya dalam laporan keuangan atau sistem perdagangan saham, terlalu banyak angka nol bisa memunculkan risiko salah input atau kesalahan interpretasi. Dengan penghilangan angka nol, satuan nominal menjadi lebih “ringkas”. Misalnya yang sering disebut Rp 1.000 bisa menjadi Rp 1 (jika menghilangkan tiga nol) tanpa mengubah daya beli riilnya.
Dalam literatur tentang redenominasi dijelaskan, pengurangan angka nol pada mata uang suatu negara dapat memperkuat citra mata uang tersebut. Itu memperlihatkan negara itu “siap” ke level yang lebih maju dan memudahkan dalam perbandingan internasional.
Dalam konteks rupiah, ketika nilai tukar terhadap dolar AS, bila nominalnya sangat besar, bisa memberi kesan rupiah adalah “mata uang lemah”. Meskipun sebenarnya dalam realitas sesungguhnya, daya belinya mungkin masih tetap stabil.
RENCANA Redenominasi mata uang nasional Rupiah, sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Sejak awal 2010-an, Bank Indonesia (BI) telah mengemukakan wacana serupa, untuk menyederhanakan pecahan rupiah. Khususnya dengan mengurangi angka nol pada denominasi rupiah tanpa mengubah nilai riilnya.
Pada tahun 2012 sudah pernah ada dokumen mengenai rencana Redenominasi yang sudah diusulkan pemerintah Indonesia. Wacana menghilangkan tiga angka nol di mata uang rupiah bahkan telah diajukan lewat RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi Rupiah).
Baru‐baru ini, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 (PMK 70/2025), rencana ini kembali ditegaskan. PMK tersebut menyebut, RUU terkait Redenominasi ini harus bisa diselesaikan sekitar tahun 2027. Karena penggunaan rupiah dengan nominal besar dalam transaksi sehari-hari yang masih lazim, dinilai sudah kurang efisien.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendorong redenominasi rupiah. Jika pecahan rupiah terlalu banyak angka nol, maka dalam transaksi, pencatatan, sistem IT, maupun pada neraca keuangan bisa menjadi kurang efisien.
Misalnya dalam laporan keuangan atau sistem perdagangan saham, terlalu banyak angka nol bisa memunculkan risiko salah input atau kesalahan interpretasi. Dengan penghilangan angka nol, satuan nominal menjadi lebih “ringkas”. Misalnya yang sering disebut Rp 1.000 bisa menjadi Rp 1 (jika menghilangkan tiga nol) tanpa mengubah daya beli riilnya.
Dalam literatur tentang redenominasi dijelaskan, pengurangan angka nol pada mata uang suatu negara dapat memperkuat citra mata uang tersebut. Itu memperlihatkan negara itu “siap” ke level yang lebih maju dan memudahkan dalam perbandingan internasional.
Dalam konteks rupiah, ketika nilai tukar terhadap dolar AS, bila nominalnya sangat besar, bisa memberi kesan rupiah adalah “mata uang lemah”. Meskipun sebenarnya dalam realitas sesungguhnya, daya belinya mungkin masih tetap stabil.
Negara Maju...
Redenominasi rupiah juga bisa dilihat sebagai bagian dari persiapan Indonesia menuju ke “level negara maju”. Juga agar satuan rupiah tidak terlalu jauh dari satuan mata uang negara lain, sehingga memudahkan transaksi lintas negara, pencatatan investasi asing, dan sebagainya.
Di era digital dan transaksi besar, nominal yang terlalu banyak angka nolnya bisa menyulitkan sistem IT. Terutama pencatatan dalam pasar modal, perdagangan elektronik, dan penyederhanaan data. Redenominasi dapat membantu mengurangi kerumitan teknis tersebut.
Berdasarkan dokumen rencana dilakukan Redenominasi terkini, serta sejarahnya, wacana ini tentu tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Wacana redenominasi harus dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan yang terencana dan penuh perhitungan.
Sejauh ini, Pemerintah melalui Kemenkeu dan BI telah menyiapkan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) sebagai payung hukumnya. Peraturan Menteri Keuangan (PMK No. 70/2025) juga sudah mencantumkan rencana strategis mengenai redenominasi dalam dokumen Kemenkeu 2025-2028, dengan RUU Redenominasi ditargetkan selesai pada 2027.
Tahapan selanjutnya tentu saja adalah melakukan sosialisasi seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang ada di pelosok daerah. Masyarakat harus memahami konsep redenominasi yang dimaksudkan sebagai langkah penyerdahananan angka, bukan “pemotongan nilai”.
Seluruh masyarakat Indonesia di semua wilayah harus benar-benar memahami konsep Redenominasi yang akan dilakukan. Pemahaman Redenominasi harus dipahami secara komprehensif agar tujuannya tidak menimbulkan kesalahan arah.
Penyiapan mata uang dalam bentuk fisik baru, termasuk bila diperlukan pecahan baru tentu juga harus disiapkan. BI dalam hal ini tentu sudah memperhitungkan semuanya, karena jika sen atau pecahan kecil belum disiapkan, pembulatan harga yang terjadi bisa menimbulkan inflasi.
Transisi...
Dalam masa transisi dilakukannya Redenominasi, biasanya berlaku regime “dual” di mana satuan lama dan satuan baru dicantumkan untuk sementara di mata uang. Hal ini untuk memudahkan adaptasi pelaku ekonomi. Pemerintah dan BI dalam hal ini sudah pasti telah memasukan hal ini dalam rencananya.
Setelah semua sistem dan masyarakat siap, maka satuan ‘uang baru’ hasil Redenominasi bisa mulai berlaku sebagai satuan uang resmi. Sambil dilakukan pencabutan uang satuan lama yang diganti, secara bertahap.
Terkait rencana Redenominasi terbaru, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Keuangan belum menyebut berapa angka nol yang akan dihilangkan dalam versi terakhir rencana ini. Kini semua pihak masih menunggu perkembangan selanjutnya tentang rencana Redenominasi ini.
Redenominasi, berdasarkan pengalaman yang sudah ada di seluruh dunia, memiliki potensi dampak positif tetapi juga tantangan dan risiko yang harus dikelola dengan baik. Sehingga tahapan-tahapan dari rencana ini memang harus dilakukan secara teliti dan terencana.
Bagi mata uang rupiah, Redenominasi akan bisa memberi dampak positif, ketika kemudahan transaksi dan pencatatan bisa dicapai. Dengan angka nominal yang lebih kecil, pencatatan keuangan, laporan perusahaan, transaksi pasar saham, dan sistem pembayaran dapat menjadi lebih efisien.
Redenominasi juga diyakini bisa meningkatan citra rupiah di dunia internasional. Penyederhanaan angka bisa memberi sinyal ke pasar domestik dan internasional, rupiah dan ekonomi Indonesia semakin matang.
Kemungkinan peningkatan investasi dan transaksi asing juga dimungkinkan bisa trjadi dengan adanya Redenominasi. Jika mata uang rupiah bisa lebih ’ringkas’, pelaku ekonomi dari luar negeri akan lebih mudah memahami satuan rupiah. Sehingga bisa memperlancar arus modal dan perdagangan.
Resiko...
Tetapi Redenominasi juga memiliki tantangan dan resiko yang bisa saja terjadi. Resiko inflasi akibat pembulatan harga adalah salah satunya. Jika satuan kecil uang baru atau pecahan sen tidak disediakan atau sistem belum siap, maka harga barang bisa dibulatkan ke atas yang berpotensi meningkatkan inflasi.
Persepsi publik yang keliru terhadap maksud Redenominasi, juga bisa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan. Pemahaman yang salah tentang Redenominasi bisa berbahaya. Masyarakat tidak boleh mengartikan Redenominasi ini berarti nilai uang mereka “dipotong” atau “dikecilkan”.
Padahal, dalam Redenominasi yang diubah hanyalah angka nolnya saja dan tidak mengurangi nilainya. Perbedaan antara redenominasi dan sanering (pemotongan nilai uang) benar-benar harus dipahami masyarakat untuk bisa membawa rencana Redenominasi ke arah yang diharapkan.
Biaya implementasi dan logistik bagi pelaksanaan Redenominasi juga menjadi hal yang penting. Pemerintah dan BI sudah tentu telah memasukan hal-hal ini dalam rencana mereka. Penerbitan uang baru, penyesuaian sistem IT, pelatihan pegawai bank dan toko, sosialisasi ke daerah terpencil, semuanya membutuhkan biaya dan waktu.
Selain itu, kondisi ekonomi nasional juga harus siap, untuk meluncurkan program Redenominasi. Jika ekonomi atau kondisi makro ekonomi tidak stabil (inflasi tinggi, krisis ekonomi, atau politik tak stabil), maka redenominasi bisa menjadi bumerang.
Bila Redenominasi terlaksana dengan baik, sistem keuangan Indonesia bisa lebih bersih dan efisien, membantu digitalisasi ekonomi dan mempermudah integrasi ke pasar global. Namun bila terlaksana tanpa persiapan matang, bisa muncul ketidakpastian, kekeliruan pencatatan, keluhan masyarakat, dan potensi reputasi negatif.
Kebijakan Redenominasi ini juga harus dilihat sebagai bagian dari kerangka ekonomi yang lebih luas terkait pengendalian inflasi, stabilitas makro, peningkatan literasi keuangan, dan infrastruktur ekonomi digital. Sehingga benar-benar bisa diterima dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dimensi...
Rencana redenominasi rupiah adalah langkah besar yang membawa dua dimensi, teknis dan simbolis. Dari sisi teknis, memperkecil jumlah nol pada rupiah bisa membuat administrasi keuangan, pelaporan, dan transaksi menjadi lebih rasional. Hal ini sangat relevan di era ekonomi digital dan skala transaksi yang makin besar.
Dari sisi simbolis, perjalanan negara dalam menghadapi ekonomi global bisa terwakili lewat satuan uang yang “bersih” dan tidak dibebani banyak nol.
Namun sekali lagi, langkah Redenominasi ini tidak bisa dijalankan secara gegabah. Pengalaman sebelumnya di rencana tahun 2012, menunjukkan banyak pihak yang meragukan kesiapan masyarakat dan sistem jika tidak dilakukan dengan tepat.
Persoalan literasi keuangan, kesiapan teknologi, kesiapan percetakan uang dan distribusi hingga pelosok, hingga persepsi publik, semua harus ditangani dengan teliti. Waktu target yang disebut sekarang (selesai RUU 2027) memberi ruang bagi pemerintah untuk menyiapkan segala hal.
Tetapi waktu pula yang bisa menjadi musuh jika terlalu lama tanpa kepastian. Wacana Redenominasi yang berkepanjangan bisa menimbulkan kebingungan masyarakat atau spekulasi yang tidak sehat di pasar. Maka penting agar sosialisasi dilakukan secara transparan mengenai redenominasi, bagaimana prosedurnya, dan kapan akan dilaksanakan.
Secara keseluruhan, redenominasi rupiah bisa menjadi momentum untuk melakukan ’reset’ menuju sistem moneter yang lebih modern di Indonesia. Tetapi keberhasilannya sangat tergantung pada perencanaan, pelaksanaan, koordinasi antarlembaga, dan kesiapan masyarakat luas.