Dalam gagasannya, Prabowo ingin Sekolah Rakyat dapat mengangkat derajat anak-anak dari keluarga miskin hingga miskin ekstrem dengan memberikan pendidikan yang layak.
Sedianya, Sekolah Rakyat bukan barang baru di negeri Indonesia. Pada masa kependudukan Belanda maupun Jepang, Sekolah Rakyat sudah ada.
Belanda pertama kali membuka Sekolah Rakyat pada 1892 di Bandung, Jawa Barat. Menurut Museum Pendidikan Indonesia, Sekolah Rakyat atau SR untuk menerima tamatan sekolah rendah angka dua atau ongko loro.
Sekolah Rakyat kala itu bertujuan untuk mencerdaskan semua rakyat Indonesia selama masa penjajahan.
Pada masa penjajahan Jepang, Sekolah Rakyat masih digunakan sejak 1941 hingga 1946 dengan nama Kokumin Gakko.
Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Rakyat kemudian diserahkan ke Pemerintah Indonesia secara cuma-cuma. Pada 13 Maret 1946, namanya pun berubah menjadi Sekolah Dasar (SD).
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menggagas pembangunan Sekolah Rakyat yang disebutnya sebagai salah satu upaya paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan.
Dalam gagasannya, Prabowo ingin Sekolah Rakyat dapat mengangkat derajat anak-anak dari keluarga miskin hingga miskin ekstrem dengan memberikan pendidikan yang layak.
Sedianya, Sekolah Rakyat bukan barang baru di negeri Indonesia. Pada masa kependudukan Belanda maupun Jepang, Sekolah Rakyat sudah ada.
Di penjajahan Belanda, Sekolah Rakyat dikenal dengan nama Volkschool yang menjadi tempat mengenyam pendidikan bagi pribumi.
Belanda pertama kali membuka Sekolah Rakyat pada 1892 di Bandung, Jawa Barat. Menurut Museum Pendidikan Indonesia, Sekolah Rakyat atau SR untuk menerima tamatan sekolah rendah angka dua atau ongko loro.
Sekolah Rakyat kala itu bertujuan untuk mencerdaskan semua rakyat Indonesia selama masa penjajahan.
Pada masa penjajahan Jepang, Sekolah Rakyat masih digunakan sejak 1941 hingga 1946 dengan nama Kokumin Gakko.
Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Rakyat kemudian diserahkan ke Pemerintah Indonesia secara cuma-cuma. Pada 13 Maret 1946, namanya pun berubah menjadi Sekolah Dasar (SD).
Memberikan Beasiswa...
Saat itu, Sekolah Rakyat juga memberikan beasiswa pada siswa yang kurang mampu untuk memfasilitasi akses pendidikan bagi semua kalangan.
Tujuannya yakni untuk meningkatkan tingkat literasi dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Meski demikian, jurang antara Sekolah Rakyat yang menjadi tempat belajar masyarakat pribumi dan Sekolah Belanda yang menjadi tempat belajar anak-anak dari pejabat pemerintahan kolonial Belanda sangat jelas.
Pendiri Muhamamdiyah KH Ahmad Dahlan sendiri cukup merasakan kesenjangan itu saat mengajarkan pendidikan Agama di sekolah Belanda.
KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan sekolah dengan mengadopsi model Pendidikan Belanda yang modern saat itu, namun tetap mempertahankan nilai-nilai Islam.
Dalam sekolah itu, siswa juga belajar pengetahuan umum, bahasa, dan keterampilan lainnya, di sampingi pelajaran agama.
Sementara, Sekolah Rakyat yang digagas Presiden Prabowo, dirancang untuk memberikan akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat kurang mampu.
Pendirian Sekolah Rakyat ini juga dilakukan dengan tiga cara, yakni membangun baru, merenovasi bangunan milik pemerintah, dan mengakuisisi sekolah.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul melaporkan sebanyak 53 lokasi siap menyelenggarakan Sekolah Rakyat. Salah satunya di Kabupaten Pati yang ditempatkan di Sentra Margolaras.
Kemungkinan Bertambah...
Namun, jumlah tersebut kemungkinan akan kembali bertambah mengingat banyaknya daerah maupun kabupaten yang mengusulkan pendirian Sekolah Rakyat.
Pelaksanaannya sendiri nantinya akan menggunakan APBN, termasuk saat Sekolah Rakyat mulai beroperasi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan berapa anggaran yang dibutuhkan.
Dalam satu kesempatan, Prabowo sempat mengatakan pembangunan satu Sekolah Rakyat membutuhkan anggaran Rp 150 miliar. Dengan begitu, pembangunan Sekolah Rakyat di 53 titik membutuhkan Rp 7,95 triliun.
Sedangkan APBN 2025 untuk pos pendidikan sebesar Rp 665 triliun nilai pagunya. Memang tak terlalu besar jika dibandingkan, namun anggaran pendidikan sudah menanggung program Makan Siang Gratis sekitar Rp 71 triliun pada 2025 ini.
Beragam kekhawatiran pun muncul, setelah diketahui APBN 2025 sudah boncos sekitar Rp 104 triliun pada Maret 2025 lalu. Selain dari sisi anggaran, kekhawatiran adanya kesenjangan juga mesti diperhatikan.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Selly Andriany Gantina mengungkapkan kekhawatiran adanya labelling pada Sekolah Rakyat, yakni disebut Sekolah Anak Miskin. Namun, labelling itu kemudian ditepis Mendikdasmen Abdul Mu’ti pada kesempatan terpisah.
Pemerintah mestinya mengkaji ulang program Sekolah Rakyat tersebut. Alangkah baiknya, pemerintah meniru kebijakan yang dilakukan Ganjar Pranowo kala menjabat Gubernur Jateng.
Saat itu, ia menerbitkan kebijakan pendidikan gratis yang meliputi, biaya pendaftaran, SPP, buku, seragam, internet, dan beberapa pos lainnya.
Bila Anggaran Tak Mampu...
Bilamana anggaran tak mampu, pemerintah juga bisa meniru model pembiayaan pada beberapa sekolah maupun kampus Muhammadiyah yang menerapkan subsidi silang.
Di mana, biaya pendidikan siswa yang masuk dalam kategori miskin atau miskin ekstrem akan ditunjang siswa yang mampu.
Abdul Mu’ti sebagai Mendikdasmen, mestinya sudah akrab betul dengan pola pembiayaan pendidikan yang diterapkan Muhammadiyah mengingat ia merupakan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.
Lantas, bagaimana dengan persoalan-persoalan pendidikan yang lain, seperti SD-SD yang di-merger karena kekurangan murid dan sekolah yang kekurangan guru.
Belum lagi guru honorer yang dihilangkan meski ada pembukaan formasi PPPK, dan masih minimnya fasilitas pendidikan di daerah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T).
Yang masih pelik, masih buruknya akses fasilitas pendidikan yang masih sulit dijangkau seperti di Papua, Kalimantan, dan beberapa daerah di luar Jawa dan Bali.
Pemerintah mestinya lebih memerhatikan kualitas pendidikan yang ada ketimbang memforsir diri menjalankan program pembangunan sekolah baru.
Jangan sampai, program-program pendidikan itu mendadak mangkrak karena APBN jebol demi menuruti nafsu ambisius sang Jenderal. (*)