KPK bahkan sudah mengendus adanya praktik ”sunat” anggaran pada Makan Bergizi Gratis. Di mana setiap porsi seharusnya Rp 10 ribu, namun ditemukan hanya Rp 8 ribu.
Tak hanya itu, program Makan Bergizi Gratis sendiri mendapat penolakan, salah satunya di tanah papua. Mereka lebih mengharapkan adanya program pendidikan gratis ketimbang makan gratis.
Artinya Pemerintah tak begitu memahami kebutuhan masyarakat. Mana program yang lebih tepat guna, dan yang tidak.
Yakni, ketika anak-anak di sekolah mendapatkan Makan Bergizi Gratis, namun setiba di rumah, mereka mendapati orang tuanya tak lagi bekerja.
Tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah menggulung Indonesia. Tercatat lima perusahaan telah melakukan PHK pada karyawannya sejak setahun ini.
Rinciannya, PT Hang-A Cikarang ada 1.500 karyawan yang di-PHK pada 1 Februari 2024. Kemudian, PT Cahaya Timur Garmindo ada 650 karyawan di-PHK pada 26 Maret 2024.
Selanjutnya, 233 karyawan PT Sepatu Bata Tbk di-PHK pada 30 April 2024. Lalu, 2.500 karyawan PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) di-PHK pada 1 November 2024.
Paling hangat, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang memutuskan berhenti beroperasi 1 Maret 2025 setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Sebanyak 10.665 karyawannya pun di-PHK.
Tak hanya itu, empat perusahaan lainnya juga diprediksi gulung tikar dan melakukan PHK besar-besaran. Empat perusahaan itu yakni, PT Tokai Kagu yang diperkirakan mem-PHK 195 karyawannya pada Maret 2025 ini.
Kemudian, PT Yamaha Music Product Asia juga dikabarkan akan mem-PHK 500 karyawannya pada bulan yang sama.
Lalu, ada PT Sanken Indonesia yang diperkirakan mem-PHK 457 karyawannya pada Juni 2025 dan PT Yamaha Indonesia ada 700 karyawan yang bakal di-PHK pada Desember 2025.
Kabar ini tentunya menjadi bukti perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Pemerintah melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah terjadinya tsunami PHK ini.
Krisis Moneter...
Krisis moneter yang terjadi pada 1996-1997 lalu sedianya bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Itu agar tak terjadi kegaduhan di tengah masyarakat.
Padahal, Bank Dunia atau World Bank sempat menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 5,03 persen secara cumulative to cumulative.
Pertumbuhan itu menunjukkan ekonomi Indonesia stabil dan berada di atas rata-rata pertumbuhan dunia yang hanya 2,7%.
Namun, World Bank Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia banyak ditopang dari budaya konsumsi masyarakat.
Bagaimana tidak, Indonesia memiliki lebih dari 200 juta penduduk. Sebagai negara kepulauan, mestinya ekonomi Indonesia bisa merata, tidak jawa sentris.
Sayangnya, pemerintah Indonesia justru kerap blunder dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Beberapa kebijakan pembangunan maupun program ”pemenuhan gizi” justru membebani ekonomi negara.
Contoh pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur yang secara keseluruhan diperkirakan menelan biaya lebih dari Rp 460 triliun dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang pada 2025, total anggarannya mencapai Rp 71 triliun.
Pembengkakan Anggaran...
Untuk mencegah defisit anggaran, pemerintah pun telah menelurkan kebijakan efisiensi anggaran. Meski demikian, potensi pembengkakan anggaran masih bisa terjadi.
KPK bahkan sudah mengendus adanya praktik ”sunat” anggaran pada Makan Bergizi Gratis. Di mana setiap porsi seharusnya Rp 10 ribu, namun ditemukan hanya Rp 8 ribu.
Tak hanya itu, program Makan Bergizi Gratis sendiri mendapat penolakan, salah satunya di tanah papua. Mereka lebih mengharapkan adanya program pendidikan gratis ketimbang makan gratis.
Artinya Pemerintah tak begitu memahami kebutuhan masyarakat. Mana program yang lebih tepat guna, dan yang tidak.
Fenomena tsunami PHK ini membuat kita teringat pada curhatan seorang penyiar RRI. Saat itu, ia mengungkapkan betapa peliknya kondisi keluarga saat ini.
Yakni, ketika anak-anak di sekolah mendapatkan Makan Bergizi Gratis, namun setiba di rumah, mereka mendapati orang tuanya tak lagi bekerja.
Ekonomi Global...
Ah jadi ingat lagu Siti Julaika yang dipopulerkan Franky dan Jane yang dirilis pada 1982.
Setiap bulan menabung bersama… untuk sebuah rumah cinta…
Ketika lahir anak pertama… mereka sudah tidak bekerja… pabrik gula kurangi tenaga kerja… mesin-mesin telah tiba.
Naga-naganya, tahun ini lebih parah dari sekadar mesin-mesin telah tiba. Tapi lebih pada tekhnologi dan ekonomi global yang begitu derasnya menggulung negara-negara yang berjibaku dengan ekonomi lokal.
Masihkah mimpi 19 juta lapangan kerja bisa terwujud?