Selasa, 18 November 2025

ORANG Jawa sudah lama punya pegangan hidup: sesubur tandur, tan karep misuwur. Tumbuh subur seperti tanaman, tapi tidak ingin populer. Sebuah nasihat yang tampaknya sudah tidak lagi menarik bagi sebagian pejabat. Termasuk di Pati.

Hari-hari ini, masyarakat justru menyaksikan kebalikannya. Ada yang begitu ingin dikenal. Ada yang begitu ingin tampil beda dari yang pernah ada. Begitu ingin disebut. Begitu ingin menunjukkan kuasa.

Bukan seperti padi yang menunduk, tapi lebih mirip rumput liar yang tumbuh cepat, menjalar ke mana-mana, dan tak segan menutupi tanaman lain.

Lihat saja. Kebijakan diambil secara serampangan, disampaikan dengan narasi yang arogan. Masukan dan kritik dijawab dengan gertakan.

Orang-orang yang tidak sejalan disingkirkan. Seolah popularitas lebih penting daripada keberkahan kebijakan. Seolah yang diburu bukan manfaat, tapi sorot cahaya.

Padahal, bukankah kekuasaan itu seperti sawah? Ada masanya digarap, ada masanya panen. Dan ketika panen, siapa yang diingat bukan siapa yang paling keras bicara, melainkan siapa yang benar-benar menanam dengan hati.Orang lupa, kekuasaan itu bukan warisan. Ia hanya singgah.

Dan ketika pergi, yang akan dikenang bukan siapa yang paling keras bicara, melainkan siapa yang diam-diam bekerja.

Tapi, ada yang memilih jalan berbeda. Lebih suka misuwur ketimbang tandur. Lebih suka ditakuti ketimbang dirindukan. Lebih suka berkuasa ketimbang berguna.

Padahal sejarah mencatat: pemimpin yang sibuk menebar ketakutan akan cepat dilupakan. Yang abadi justru mereka yang bekerja dalam diam, yang menanam dalam sunyi.

  • 1
  • 2

Komentar

Terpopuler