DI SUATU obrolan sore, Basuri bilang ke Rokim, ”Cuma Muhammadiyah yang punya SDM terbaik dan terbanyak di Indonesia".
Mendengar itu, Rokim yang merasa darah NU mengalir di dirinya langsung mengelak, ”Ora, ora iso. Wong NU itu juga SDM-nya bagus-bagus, akeh juga tokoh-tokoh nasional juga banyak yang NU,".
”Weeh lah. Kamu itu kok ngeyel. Isih kalah akeh sama Muhammadiyah," tambah Basuri. ”Lha wong yang tak Maksud SDM itu adalah SD Muhammadiyah kok, hehehehhe," lanjut Basuri sambel ketawa terkekeh. ”Karepmu Ri, sedikit lagi bisa dadi gelut gara-gara omonganmu," jawab Rokim tersenyum sambil ngangkat gelas kopinya.
Obrolan Basuri dan Rokim ini seperti mengingatkan Debat Cawapres Jumat, 22 Desember 2023 malam tadi. Salah satu cawapres melontarkan pertanyaan dengan istilah atau singkatan yang tidak umum. Bahkan yang melontarkan istilah tersebut juga kurang yakin saat menjelaskan (sambil melirik catatan).
Penggunaan istilah yang tidak umum dalam sebuah komunikasi biasanya digunakan oleh pembicara untuk menunjukkan eksistensi atau egonya. Eksistensi ini bisa berupa kepandaian, banyaknya pengetahuan, mempertegas status dirinya atau bahkan menutupi kekurangan yang dimilikinya.
Sayangnya, persepsi terhadap pembicara ini butuh cukup waktu agar selaras dengan yang diharapkan. Selain itu, dengan banyaknya waktu berkomunikasi, persepsi tersebut juga punya kesempatan untuk berbalik.
Ada tiga tahapan dalam proses persepsi, seleksi informasi, interpretasi dan implementasi aksi. Dalam proses pengolahan persepsi ini membutuhkan waktu. Memberikan kesempatan kepada lawan berbicara untuk memproses informasi bisa jadi persepsi yang muncul tidak sesuai harapan.
Misalnya, seseorang yang ingin terlihat pintar ia kerap kali menggunakan istilah asing. Dalam beberapa saat, lawan bicaranya mungkin akan terkesan, ”oh.. Dia orang pandai”. Tapi ketika lawan bicara telah memproses banyak informasi, maka peluang persepsi yang Anda harapkan sudah tidak lagi sama.
Dalam debat Jumat malam, salah satu peserta ingin ”menjatuhkan” peserta lain dengan bertanya menggunakan istilah yang tidak umum. Ini merupakan nilai positif bagi sang penanya.
Sayangnya, poin ini menjadi sia-sia karena sang penanya terlihat dua kali melihat catatan, di mana terkesan pribadinya tidak yakin dengan istilah yang disampaikan. Belum lagi intonasi bicara, diksi yang digunakan, bahasa tubuh yang menyertai saat bicara juga menjadi informasi dalam mengolah persepsi.
Respon di media sosial pun beraneka ragam. Ada yang senang karena yang ditanya tidak bisa menjawab, ada yang marah karena penanya dianggap curang. Belum lagi yang julid dan nyinyir terkait hal tersebut.
Siapapun yang Anda pilih pada 14 Februari 2024 nanti, pastikan bahwa pilihan Anda sesuai dengan persepsi Anda. Anda punya cukup waktu untuk memproses informasi paslon-paslon yang ada. Gunakan akal sehat, mantapkan hati dengan kuat, Pilih orang yang tepat. (*)
Penulis Noviar Jamaal, Penikmat Budaya