MODEL bisnis peternakan ayam potong memang sudah berubah dalam 14 tahun terakhir. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan fakta menarik: Pada April 2023, jumlah pengusaha peternakan ayam potong mandiri di Sumatera Utara sudah habis.
Angka 14 itu dihitung dari waktu berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2009 hingga 2023. Dalam waktu tiga periode jabatan presiden, model bisnis peternakan ayam potong telah berubah total: Dari pengusaha peternakan ayam mandiri menjadi pengusaha mitra korporasi. Penyedia jasa penggemukan ayam untuk perusahaan pemilik bibit dan pakan.
Model bisnis kemitraan pun terus berevolusi. Dulu, banyak pengusaha bermodal kecil yang bisa bermitra. Sekarang hanya pengusaha bermodal besar yang sanggup sanggup berinvestasi. Sebab, korporasi menetapkan standar baru pada kandang dan teknologinya. Biaya Pembangunan kandang tertutup atau closed house yang menjadi persyaratan itu butuh dana besar: Mulai Rp 1,4 miliar.
Dengan perubahan model bisnis tersebut, peta persaingan usaha peternakan ayam potong sudah berubah drastis. Sebelum 2009, peternak mandiri menguasai pasar secara nasional sekitar 80%. Setelah 2009, penguasaan pasarnya terus menurun. Saat ini hanya tersisa sekitar 10% - 15% saja.
Para peternak mandiri berpendapat, pemberlakuan UU Nomor 18 Tahun 2009 sebagai akar masalah. Khususnya terkait pasal 2 yang dinilai sebagai landasan korporasi asing menjalankan usaha di bidang peternakan ayam potong dari hulu ke hilir, terintegrasi dengan usaha lain di bidang pertanian.
Pada UU sebelumnya, (UU Nomor /1967), korporasi hanya boleh menjadi penyedia bibit dan pakan. Sedangkan pemeliharaan atau penggemukan ayam menjadi domain rakyat yang disebut peternak mandiri itu.
Sebanyak 15 peternak ayam mandiri kemudian menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014. Namun gugatan tersebut kandas. MK menolak permohonan itu, karena dalil para penggugat tidak bisa dibuktikan.
Menurut data, usaha peternakan ayam potong mandiri pada masa jayanya pernah dilakoni sekitar 2,5 juta pengusaha. Sekarang, peternaknya sangat sedikit: Mengerucut ke perusahaan konglomerat. Status peternak mitra pun lebih tepat disebut penyedia jasa pemeliharaan saja. Ibarat menjadi kuli di kandangnya sendiri.
Perubahan peta itu menimbulkan kerawanan tersendiri. Penguasaan ekonomi pada sedikit orang memungkinkan terjadinya praktik bisnis yang tidak fair dan melanggar undang-undang.
Hal ini pernah terjadi. Tahun 2008 KPPU menjatuhkan sanksi denda maksimal kepada afiliasi perusahaan asing karena praktik kemitraan yang merugikan. Pada 2021, KPPU juga menginvestigasi dugaan praktik kartel dalam industri peternakan ayam potong.
Di balik rasa dagingnya yang lezat, ternyata banyak peternak ayam mandiri yang sekarat.
Saya sedang menyusun proposal: Wakaf induk ayam untuk keluarga rawan stunting (KRS). Dalam paket bantuan pangan dari pemerintah untuk KRS, isinya hanya dua: Daging ayam potong seberat 0,9 Kg – 1,1 Kg dan 10 butir telur. Itu paket 1 bulan.
Menurut saya, paket itu bisa dimodifikasi. Paket daging ayam dan telur diganti dengan induk ayam kampung agar bisa memperoleh daging dan telur secara mandiri. Setiap KRS mendapat 1 ayam jantan dan 5 ayam betina yang sudah dewasa yang siap bertelur dalam sebulan pemeliharaan.
Sebagian telurnya dikonsumsi. Sebagian lagi ditetaskan. Kelak sebagaian anaknya yang jantan dijadikan ayam potong. Dengan konsep ini, maka KRS akan bisa mengatasi risiko stunting secara mandiri.
Mengapa harus ayam kampung? Tentu banyak pertimbangannya. Ayam kampung lebih mudah beradaptasi dan doyan segala jenis makanan. Bibit ayam kampung juga bisa disediakan secara mandiri. Cukup dengan menetaskan telurnya.
Jadi program ini tidak akan berurusan dengan keruwetan bisnis ayam potong. Walau pun skalanya kecil, semua bisa dilakukan secara mandiri.
Saya membayangkan: Dengan wakaf Rp 1 juta, Anda bisa membantu 1 keluarga dhuafa terbebas dari risiko stunting. Bagaimana? (*)
*) Anggota Badan Pengurus Majelis Pendayagunaan Wakaf PP Muhammadiyah