Sebelumnya, usulan dikembalikannya sekolah enam hari sendiri banyak datang dari kelompok Nahdliyin, seperti Fatayat, Ansor, maupun PCNU.
Mereka menilai, sekolah lima hari kurang sesuai dengan kultur masyarakat yang religius, serta dinilai banyak mudaratnya.
Pemprov Jateng pun mengamininya dan menilai kebijakan enam hari bisa menjadi langkah perlindungan anak dari pengaruh negatif saat di luar pengawasan sekolah.
Namun di sisi lain, berdasarkan survei dari berbagai lembaga, penerapan lima hari sekolah justru meningkatkan kualitas kesehatan mental anak dan mendongkrak pencapaian akademik.
Siswa juga menjadi lebih bersemangat dan lebih siap menghadapi tantangan akademis ketika mendapatkan cukup waktu untuk beristirahat.
Selain itu, dengan penerapan lima hari sekolah, guru juga lebih dapat menyeimbangkan kehidupan dan pekerjaannya, atau biasa disebut work-life balance.
Kebijakan lima hari sekolah sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
Pemprov Jateng dikabarkan mengembalikan sekolah enam hari, dari sebelumnya lima hari. Melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, kebijakan ini akan dimulai semester depan atau Januari 2026 nanti.
Sebelumnya, usulan dikembalikannya sekolah enam hari sendiri banyak datang dari kelompok Nahdliyin, seperti Fatayat, Ansor, maupun PCNU.
Mereka menilai, sekolah lima hari kurang sesuai dengan kultur masyarakat yang religius, serta dinilai banyak mudaratnya.
Pemprov Jateng pun mengamininya dan menilai kebijakan enam hari bisa menjadi langkah perlindungan anak dari pengaruh negatif saat di luar pengawasan sekolah.
Namun di sisi lain, berdasarkan survei dari berbagai lembaga, penerapan lima hari sekolah justru meningkatkan kualitas kesehatan mental anak dan mendongkrak pencapaian akademik.
Siswa juga menjadi lebih bersemangat dan lebih siap menghadapi tantangan akademis ketika mendapatkan cukup waktu untuk beristirahat.
Selain itu, dengan penerapan lima hari sekolah, guru juga lebih dapat menyeimbangkan kehidupan dan pekerjaannya, atau biasa disebut work-life balance.
Kebijakan lima hari sekolah sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
Kesiapan Sekolah...
Dalam aturan itu, kebijakan sekolah lima hari mulai diterapkan pada tahun ajar 2017/2018. Pemprov Jateng saat itu, langsung meresponsnya dengan melaksanakan kebijakan sekolah lima hari secara bertahap.
Sekda Jateng saat itu, Heru Sudjatmoko mengatakan, implementasi lima hari sekolah disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan masing-masing sekolah.
Kala itu, Heru juga memberikan perhatian pada nasib lembaga nonformal, seperti Madrasah Diniyah dan TPQ, pascapelaksanaan kebijakan lima hari sekolah dengan menekankan pentingnya evaluasi dari kebijakan itu.
Permendikbud tentang Hari Sekolah sendiri juga mengatur kesiapan sekolah dan akses transportasi pelaksanaan sekolah lima hari. Bagi sekolah yang belum memadai, mendapatkan pengecualian.
Terlepas dari itu, pemerintah mestinya tidak berkutat pada penentuan hari sekolah. Pendidikan sedianya menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya.
Sistem pendidikan yang menyenangkan, sesuai dengan kebutuhan maupun minat bakat siswa penting untuk diperhatikan. Siswa bukanlah objek yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik.
Guru juga membutuhkan work-life balance. Keseimbangan dalam mendidik sekaligus menjadi rumah bagi anak-anaknya.
Belum lagi pada guru yang ditugaskan di luar domisilinya, tentu kebijakan sekolah enam hari akan mengurangi waktunya untuk berkumpul dengan keluarga.
Hilang Pengawasan...
Bila pengawasan anak menjadi alasan penerapan enam hari sekolah, pemerintah mestinya mengevaluasi sistem jam kerja, baik bagi ASN maupun pekerja.
Ketika ASN masih menerapkan lima hari kerja, sama saja anak akan kehilangan pengawasan, karena sepulang sekolah mereka tak menemui orang tuanya di rumah. Begitu pun pada sistem kerja di buruh, dengan waktu kerja delapan jam.
Terlepas dari itu, kebijakan semacam ini menandakan eksekutif lebih mengedepankan urusan kepentingan kelompok, dan bukan lagi didasarkan pada kepentingan hajat orang banyak.
Nuansa politis pun semakin kentara karena menguntungkan sebagian kelompok. Dan kalau berpatokan pada kultur, itu juga tidak serta merta bisa menjadi tolok ukur. Karena di Jawa Timur atau pun Jawa Barat kultur masyarakat juga gak jauh beda.
Belum lagi persoalan mengembalikan sekolah menjadi enam hari, menunjukkan inkonsistensinya kebijakan pendidikan. Di mana setiap ganti pemimpin, maka berganti juga kebijakan pendidikan. Sementara yang jadi objeknya para siswa dan guru yang notabene dipaksa seperti kerbau yang dicokok hidungnya.