Rabu, 19 November 2025

INDONESIA, saat ini, merupakan salah satu negara yang penduduknya beragama Islam terbanyak di dunia. Berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), populasi jumlah muslim di Indonesia diperkirakan sebanyak 237, 56 juta jiwa. Jumlah itu setara dengan 86,7% dari total populasi Indonesia.

Di samping itu, muslim di negeri ini, juga dikenal ramah, baik, dan suka menolong sesama (dermawan). Dari situ kita merasa bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tetapi, hal itu akan berubah total,  kita akan menjadi sangat kecewa dan sedih, saat kita meyaksikan tingkat korupsi di Indonesia juga luar biasa besar. Banyak pejabat daerah dan pusat terjerat kasus korupsi. Dan, tentu saja mayoritas mereka beragama Islam.

Berdasarkan catatan ICW (Indonesian Corruption Watch), ada 579 kasus korupsi yang sudah ditindak sepanjang tahun 2022 lalu. Ternyata jumlahnya meningkat sekitar 8,63% dibandingkan dengan tahun 2021  sebanyak 533 kasus.

Dari berbagai kasus itu, masih ada 1.396 yang menjadi tersangka dan masih menjalani proses hukum.  Sedangkan pada tahun 2002, menurut laporan Transparancy International, Indonesia memiliki skor indeks korupsi (IPK) 34 dari skala 0-100. Skor itu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara. Dan itu juga menunjukkan indeks korupsi Indonesia lebih buruk dari rata-rata dunia, yakni 43.

Lebih ironis lagi, saat para koruptor itu tertangkap oleh aparat penegak hukum, mereka seketika berubah jadi nampak lebih agamis, memakai baju muslim, berkerudung, dan bercadar bagi perempuan, berpeci dengan kemeja putih lengan panjang bagi laki-laki.

Padahal sebelumnya, mereka jarang, bahkan hampir tidak pernah berpakaian muslim seperti itu. Seolah pakaian muslim yang dikenakan dapat sebagai kedok untuk menutupi kesalahan mereka di mata publik. 

Ada beberapa kasus lain, yang juga memperburuk citra Masyarakat kita. Dalam bidang sosial, misalnya angka perceraian dan KDRT semakin meningkat. Komnas Perempuan melaporkan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 17 kasus setiap hari. Bahkan ada kasus yang menggemparkan kita semua, ada seorang istri tewas dibunuh oleh suaminya sendiri.

Juga kasus banyak orang yang terjerat pinjol. Menurut Survei Populixpada tahun 2023, ada 65% orang yang terjerat pinjol. Bahkan ada yang sampai melakukan tindak bunuh diri. Belum lagi kasus yang melibatkan kenakalan remaja, sebagai contoh maraknya miras, narkoba, tawuran, dan seks bebas.

Sebagai negara mayoritas muslim, tentunya fakta tersebut akan membuat hati kita bertanya-tanya, sebetulnya apa yang terjadi dengan bangsa ini?, Idealnya semakin religius sebuah bangsa, seharusnya semakin kecil tingkat korupsinya, begitu juga dengan kasus lainnya, maka semakin tinggi kemakmuran dan keamanannya.

Padahal banyak kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh aneka kalangan masyarakat,  ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat ketaatan dan kepatuhan umat dengan agamanya. Sebetulnya apa yang salah dengan perilaku masyarakat kita?

Pembelajaran Agama

Bagi Koentjaraningkrat agama diletakkan sebagai salah satu dari tujuh unsur kebudayaan.  Sebagai bagian dari kebudayaan, agama menjadi komponen yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat masyarakat. 

Wujud agama dalam bentuk ritual dan adat kebiasaan itu sebetulnya cermin dari  pola pikir dan perilaku masyarakat penganutnya. Sebagai sistem kenyakinan, tentunya agama dibangun atas sebuah fondasi akidah yang kokoh.

Akidah itulah yang akan memancarkan sistem yang digunakan untuk mengatur interaksi manusia dengan Sang Khalik, manusia dengan manusia lain, manusia dengan dirinya, dan alam semesta. Hanya saja akidah itu tidak akan dapat membangkitkan umat penganutnya jika tidak didapatkan dari proses berpikir rasional dan mendalam tentang hidup dan kehidupan. Lalu itu dikaitkan dengan sebelum dan setelah kehidupan dunia ini.

Sebagai bentuk refleksi atau autokritik terhadap diri kita sendiri, pembelajaran agama selama bertahun-tahun ini cenderung berfokus pada hafalan saja dan cara melakukan. Dengan kata lain, itu baru menjawab pertanyaan what (apa) dan how (bagaimana).

Jarang sekali pembelajaran menyentuh pertanyaan why (mengapa). Hafalan memang penting sebagai awal dalam pembelajaran agama dengan tujuan untuk memberikan fondasi penguasaan konsep.

Hanya saja jika itu tidak dilanjutkan ke tingkat selanjutnya, maka itu tidak akan mewujud ke dalam perilaku. Itupun jika ditinjau dari tingkat berpikir masih tergolong ke dalam low-order thinking skill (baca: ketrampilan berpikir tingkat rendah).

Dalam taksonomi Bloom, berpikir tingkat rendah adalah cara berpikir yang masih dalam tingkat kognitif 1, 2 dan 3, yakni menghafal, memahami dan menirukan atau menerapkan. Sayangnya, pembelajaran agama kita paling banter baru tingkat kognitif 1, dan 2.

Tingkat 2 (pemahaman) pun masih tergolong sepotong-potong tidak utuh sebagai sebuah pemikiran. Ki Hadjar Dewantara menyatakan dengan tegas bahwa pembelajaran itu harus sampai pada tingkap aplikasi. Beliau menyebutnya dengan  istilah 3 Nga, yakni Ngerti, Ngrasa, dan nglakoni.

Pembelajaran agama setidaknya harus mencakupi tiga hal; pertama, metode pembelajaran  tallaqiyyan fikriyan, yakni pembelajaran langsung tatap muka dengan guru atau ustaz. Pemahaman agama tidak cukup hanya dengan membaca dan mendengarkan ceramah di sosial media atau media mainstream lainnya.

Ataupun dengan cara autodidak. Belajar agama harus dengan guru yang sudah terbukti keilmuannya dan kesiqohannya. Tidak sembarang orang dapat jadi guru agama. Ia harus memiliki kompetensi keilmuan yang mantap, dan akhlak yang mulia. Sebab itu, pembelajaran agama tidak cukup hanya dengan transfer pengetahuan, tetapi juga itu harus didapatkan dengan sanad, urutan ajaran hingga Nabi Muhammad SAW.

Kedua, kenyakinan yang kuat. Pembelajar agama harus yakin dengan apa yang dipelajari serta berusaha untuk mengamalkannya. Jika itu menyangkut akidah, mereka harus menyakininya dengan pembenaran yang pasti, tanpa keraguan.

Konsekuensi kenyakinan seperti itu dilakukan setelah melalui proses berpikir rasional dan mendalam tentang hubungan manusia, alam semesta, dan kehidupan dengan sebelum dan setelahnya. Sehingga ia bisa menguraikan simpul besar pertanyaan manusia, dari mana kita berasal, untuk apa kita diciptakan, dan kemana setelah kita mati.

Jawaban atas tiga pertanyaan itu akan memancarkan akidah yang kokoh. Dan, akidah itu akan menumbuhkan sistem-sistem kehidupan yang dijadikan tolak ukur manusia dalam menjalani kehidupan ini.

Manusia akan mampu membedakan yang baik dengan yang buruk, yang boleh dan yang dilarang. Ingat, semuanya itu muncul dari proses berpikir mendalam dan komprehensif. Tolak ukur itu akan membawa manusia kepada kemantapan hati, dan ketentraman jiwa. Seperti itulah kenyakinan yang benar. Kenyakinan yang mampu menjawab tentang hakikat manusia.

Dengan kenyakinan itu, manusia akan berperilaku dan bertindak sesuai dengan keyakinannya. Dalam istilah modern, kenyakinan yang demikian itu disebut ideologi.  Ideologilah yang membimbing manusia  dalam  mengelola bumi ini supaya dapat memakmurkan dan menjaga kelestariannya. Ketiga,agama bersifat praktis.

Pembelajaran agama harus bersifat praktis. Artinya, agama akan menjadi solusi atas semua fakta problematika yang dihadapi manusia. Permasalahan hidup manusia dipahami betul faktanya kemudian agama menjadi solusi atas permasalahannya itu.

Walhasil, agama dipelajari bukan hanya sekadar teoritis saja, melainkan juga harus bersifat praktis. Oleh sebab itu, metode pembelajaran agama harus mendalam pembahasannya, menyakini kebenaran apa yang dipelajari, dan menjadinya landasan dalam praktis kehidupan.

Saya yakin, dengan penerapan ketiga konsep tersebut, maka seorang muslim akan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan cemerlang tentang Islam, dan ia akan mampu manjadikannya sebagai pedoman dan solusi terhadap segala permasalahan hidup yang dihadapinya.

Prinsip tersebut mampu mendorong manusia menuju ketaatan dan kepasrahan secara alami. Sehingga kasus-kasus yang sudah disebutkan sebelumnya lama kelamaan akan semakin berkurang, dan kehidupan sosial kita akan lebih baik. Karena agama telah mampu menjadi pelindung diri dari perbuatan tercela yang melanggar norma agama dan hukum. (*)

*) Ahdi Riyono, Peneliti Etnolinguistik Universitas Muria Kudus

 

Komentar

Terpopuler