Minggu, 26 Januari 2025


BEBERAPA tahun terakhir ini, kita sering mendengar, dan membaca fenomena beragama yang nyentrik, dan terkadang nyeleneh menurut kelompok masyarakat tertentu di berbagai platform media sosial.  Sebaliknya, oleh  kelompok masyarakat lain, hal itu justru dianggap sebagai cara beragama yang benar, dan salah.

Justifikasi benar dan salah terkait dengan cara pandang beragama saat ini telah menjadi menu yang sangat lezat, dan menarik untuk terus didengungkan sampai-sampai dibicarakan di berbagai forum mulai dari yang diselenggarakan di hotel-hotel mewah hingga di angkringan kaki lima.

Cara orang mengekspresikan keberagamaannya telah dianggap sebagai salah satu sumber perpecahan dan polarisasi di masyarakat. Jika kita telusuri, fenomena tersebut mucul setelah Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu yang dianggap sebagai kemenangan kelompok politik identitas.

Politik identitas dipandang sebagai politik  berbahaya  dan dapat memecah belah masyarakat berdasarkan agama, ras, suku dan antargolongan. Termasuk di dalamnya yang ikut tertuduh adalah politik dengan mengatasnamakan agama tertentu, yakni Islam.

Politik Islam dianggap sebagai musuh bersama, dan dikeroyok ramai-ramai agar tidak terulang lagi menjelang Pemilu 2024 mendatang. Akbatnya muncul beraneka celetukan yang cenderung menstigma negatif politik berbasis agama. Dan, itu membanjiri berbagai media, terutama medsos. Hal tersebut   memperlihatkan adanya kelompok yang mengidap gejala phobia terhadap politik Islam (baca: Islamphobia).

Mereka terus menerus membuat narasi bahwa politik identitas itu haram dan harus dilarang.  Mereka yang mengusungnya akan disandangi stempel sebagai kelompok radikal, intoleran dan anti kebhinekaan.

Moderasi Beragama

Untuk itu, dari aspek keagamaan perlu dimuculkan formulasi beragama yang dianggap tidak esktrem baik kanan maupun kiri. Oleh para pengusungnya, dipromosikan dengan istilah moderasi beragama.  Moderasi beragama disinyalir sebagai cara beragama yang pas untuk konteks keindonesiaan.

Mereka memperkuat argumentasinya dengan menyitir dalil atau rujukan pada ayat Al Quran (2: 143): ”dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umatan wastha agar menjadi saksi atas manusia dan agar rasul menjadi saksi atas kalian”.

Ayat itu dimaknai sebagai bentuk dan acuan perihal titik tengah sebagai posisi yang dianggap ideal dalam kehidupan sosial. Pengusung ide ini menyakinkan bahwa dengan posisi tengah, seseorang dapat dilihat dari berbagai sudut yang berbeda, bahkan ia juga dapat penjadi penengah yang akan dijadikan rujukan berbagai pihak yang berbeda.

Gagasan moderasi beragama bila ditilik dari latar belakang kemunculannya, agaknya diarahkan sebagai lawan dari kelompok yang disebut sebagai pengasong ideologi ekstremisme. Aktivis moderasi menganggap pandangan konstruksi keagamaan mereka berhadap-hadapan dengan kelompok keagamaan yang sudah mapan, yang selama ini dikenal sebagai agen pengusung kedamaian dan toleransi.

Mereka pun dianggap eksklusif dan cenderung mempromosikan puritanisme agama dan memiliki pandangan politik yang agresif. Mereka juga dibuat heboh dengan pernyataan-pernyataan yang tersebar di berbagai media sosial, seolah-olah pandangan keagamaan mereka berbahaya dan sudah menginfiltrasi berbagai forum keagamaan.

Justru, berita yang bombastis itu malahan dapat membuat teror ketakutan dan waswas masyarakat. Mereka akan merasa takut dan enggan untuk hadir dan mengikuti kajian keagamaan. Padahal yang dibaca dan didengar dari media belum tentu sesuai fakta sebenarnya. Informasi yang terus menerus diulang walaupun kebenarannya masih dipertanyakan, maka akan menjadi sebuah kebenaran di benak dan pikiran masyarakat.

Hal itu persis seperti apa yang dikatakan oleh Jean Baudrillad sebagai hiperrealitas. Hiperrealitas merupakan bentuk keadaan bagaimana manusia tidak bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi. Pemicunya adalah simulasi oleh media, yakni penciptaan kenyataan melalui model yang berkaitan dengan mitos. Mitos disini dipahami sebagai sistem komunikasi yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dunia nyata.

Toleransi dan Ekspresi Keberagamaan

Di sini, saya sependapat dengan tulisan Iqbal Aji Daryono dengan tajuk ”Ribetnya Jadi, Kaum Toleran” yang dimuat dalam Kolom media online nasional pada tanggal 14 September 2021. Ia berseloroh ”Kalian ini mungkin bermaksud melawan bigot, tapi cara kalian cuman another bigotry”. Lalu ia bergumam ”seaneh apapun kepercayaan seseorang, ia tidak bisa diadili”.

Iqbal mencontohkan adanya aliran kepercayaan di Amerika ”Raelisme” yang berkeyakinan sosok Tuhan dari luar angkasa. Ia agama berbasis UFO. Juga di Australia, tidak masalah orang berfoto untuk SIM berjilbab  jika itu bagian dari kenyakinan seseorang.

Ngomong-ngomong soal agama dan beragama, kedua terminologi tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Agama sudah jelas sumber dan hukumnya berasal dari kitab suci dan hadis nabi. Dan, itu pasti sama, tidak mungkin berbeda.

Sedangkan, beragama merupakan bentuk sikap ekspresi seseorang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Itu tentu berdasarkan kebenaran yang diyakini.
Faktanya, memang di dalam Islam, banyak sekali penafsiran, terutama yang terkait dengan masalah hukum fikih. Tetapi,  terkait dengan akidah, mayoritas umat Islam sepakat dengan satu kenyakinan, yakni jika yang pokok (baca: akidah) itu beda maka akan dianggap menyimpang.Dan, jika terbukti ada penyimpangan, dan penganutnya tidak mau kembali kepada pokok agama Islam, maka mereka akan diminta untuk menggunakan label agama yang berbeda. Sehingga kekisruhan kenyakinan dapat diakhiri.Jadi, toleransi hanya bisa dijalankan jika itu terkait dengan ekspresi keberagamaan seseorang atau kelompok. Dengan catatan, selama mereka tidak menimbulkan keonaran dan kekerasan di masyarakat.Sebagai contoh, dalam pemahaman ayat yang dikutip di awal tulisan ini, yakni ayat (2: 143), ada pemahaman dengan versi berbeda terhadap apa yang dikampanyekan oleh aktivis moderasi beragama. Pemahaman itu, misalnya terkait dengan makna frase ummatan washatan.Oleh kelompok moderasi, frase tersebut dimaknai sebagai umat yang moderat, sedangkan, oleh kelompok lain dimaknai sebagai umat yang adil. Sebetulnya dari sisi makna denotasi, frase itu memiliki maksud yang sama.Ummatan Wasathan Logikanya seperti ini, jika moderat dimaknai sebagai posisi di tengah, itu artinya seimbang dan bisa diharapkan berbuat adil. Sama dengan makna kata adil itu sendiri. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) online, Kata adil dimaknai sebagai ”tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak pada yang benar; berpegang pada kebenaran”.Dengan demikian, umat yang bisa berpegang pada kebenaran diharapkan dapat berperilaku adil ketika mereka diminta untuk menjadi saksi dalam pengadilan.Sesuai dengan konteks ayat tersebut, Kata ”wasath” artinya adil. Maksudnya, umat Islam dapat menjadi saksi yang adil bagi umat-umat sebelumnya besok kelak di Hari Kiamat.Sebab adil adalah termasuk salah satu syarat seseorang dapat menjadi saksi.  Wal hasil, frase ummatan wasathan di ayat tersebut dalam perspektif ini tidak ada kaitannya dengan moderasi beragama yang dianggap sebagai anti tesis dari cara beragama yang dianggap overdosis.Adapun, jika kita telurusi asal usul istilah moderasi beragama dari berbagai sumber, maka akan didapati sebuah penjelasan bahwa istilah tersebut lebih bermuatan sebagai istilah politik daripada istilah agama. Hal itu tampak dari konteks munculnya istilah itu yang tidak bisa dilepaskan dari agenda war on terrorism yang ditelah digaungkan oleh Amerika Serikat, persis setelah peristiwa runtuhnya Gedung WTC tahun 2001 silam.Dalam sebuah buku yang bertajuk Building Moderate Muslim Network yang diluncurkan oleh Rand Corporation, dijelaskan dalam salah satu subjudulnya, karakteristik muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Di situ muslim moderat dicirikan sebagai orang yang pro dengan isu-isu demokrasi, kesetaraan gender, hak asasi manusia (HAM), pluralisme, menerima sumber hukum non sektarian,  terorisme dan anti kekerasan.Sejalan dengan ciri tersebut, Janine A Clark memberikan penegasan bahwa Islam moderat, yakni Islam yang menerima sistem demokrasi, sebaliknya Islam radikal adalah yang menolak demokrasi dan sekularisme. Dengan kata lain, Moderasi Islam yang dimaksud oleh pengusungnya adalah Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender.Sedangkan, Wildani Hefni, penulis buku berjudul ”Overdosis Beragama”, juga dosen di UIN Jember, dengan bahasa yang agak berbeda memahami moderasi beragama sebagai model beragama yang didasarkan pada prinsip humanisme. Juga, memiliki cara pandang terhadap penafsiran agama berdasarkan pada keseimbangan (balance) dan adil (justice).Dalam konteks ini, ia tidak menyepakati adanya monopoli tafsir oleh kelompok tertentu. Sebetulnya, pernyataan ini juga dapat dibalik menjadi sebuah pertanyaan yang menggelitik, adakah sebuah kelompok yang dapat monopoli dan memaksakan tafsirnya terhadap  orang lain?.Nah, dari konsep moderasi beragama tersebut dapat ditarik simpulan bahwa moderasi beragama cenderung bermuatan politis daripada agama, dan diduga kuat ada agenda terselubung Barat untuk membuat polariasi umat Islam, sehingga umat ini disibukkan dengan sesuatu yang bukan menjadi problematika umat yang sebenarnya.Untuk itu, perlu kehati-hatian dalam membuat skema klasifikasi umat, sehingga tidak ternjadi keterbelahan kelompok di masyarakat yang  akan merugikan kita semua  sebab setiap klasifikasi tentunya mengandung hidden ideological agenda. (*) *) Peneliti Etnolinguistik, Universitas Muria Kudus

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler