Para peserta mulai berbisik mencari tahu siapa pelaku yang melepaskan kentut di tengah rapat yang serius itu. Aksi saling tuduh menuduh pun tak terelakkan.
Kegaduhan itu sama seperti yang tengah terjadi di sejumlah wilayah Nusantara belakangan ini. Bahkan, gegara ”kentut”, aksi demo yang dilakukan berujung ricuh.
Gedung-gedung kantor DPRD dibakar, rumah-rumah pejabat dijarah, dan fasilitas publik pun dirusak. Kegaduhan itu pun terus menjalar hingga ke beberapa daerah.
Mirisnya, rentetan kegaduhan itu telah menimbulkan korban jiwa. Tercatat, sepuluh orang meninggal dalam kegaduhan sejak 28 Agustus 2025 hingga awal September 2025.
Ironisnya, ada seorang tukang becak di Solo turut menjadi korban lantaran berada di lokasi kerusuhan. Ia meninggal diduga karena sesak napas akibat paparan gas air mata.
Aksi besar-besaran itu sendiri berawal dari suara ”kentut” putusan kenaikan tunjangan bagi anggota DPR RI. Kenaikan tunjangan itu bahkan direspons sejumlah anggota legislatif dengan berjoget.
Sontak saja, masyarakat, mahasiswa, dan kawan-kawan intelektual mengkritisinya. Mereka mendesak agar DPR RI yang diduga jadi sumber ”kentut” itu dibubarkan saja.
Sayang, desakan itu justru direspons dengan kata-kata kasar anggota legislatif dari Partai NasDem Ahmad Sahroni. Umpatan itu pun kian makin memanaskan kegaduhan.
Di sisi lain, publik sendiri sudah jengah dengan sejumlah kebijakan yang mencekik rakyat. Seperti kenaikan pajak di beberapa sektor hingga perampasan aset tanah yang menganggur dua tahun.
Dalam suatu ruang rapat, mendadak muncul suara dan bau busuk yang langsung memenuhi ruangan. Suasana rapat yang semula serius pun menjadi gaduh gegara kentut seseorang.
Para peserta mulai berbisik mencari tahu siapa pelaku yang melepaskan kentut di tengah rapat yang serius itu. Aksi saling tuduh menuduh pun tak terelakkan.
Kegaduhan itu sama seperti yang tengah terjadi di sejumlah wilayah Nusantara belakangan ini. Bahkan, gegara ”kentut”, aksi demo yang dilakukan berujung ricuh.
Gedung-gedung kantor DPRD dibakar, rumah-rumah pejabat dijarah, dan fasilitas publik pun dirusak. Kegaduhan itu pun terus menjalar hingga ke beberapa daerah.
Mirisnya, rentetan kegaduhan itu telah menimbulkan korban jiwa. Tercatat, sepuluh orang meninggal dalam kegaduhan sejak 28 Agustus 2025 hingga awal September 2025.
Ironisnya, ada seorang tukang becak di Solo turut menjadi korban lantaran berada di lokasi kerusuhan. Ia meninggal diduga karena sesak napas akibat paparan gas air mata.
Aksi besar-besaran itu sendiri berawal dari suara ”kentut” putusan kenaikan tunjangan bagi anggota DPR RI. Kenaikan tunjangan itu bahkan direspons sejumlah anggota legislatif dengan berjoget.
Sontak saja, masyarakat, mahasiswa, dan kawan-kawan intelektual mengkritisinya. Mereka mendesak agar DPR RI yang diduga jadi sumber ”kentut” itu dibubarkan saja.
Sayang, desakan itu justru direspons dengan kata-kata kasar anggota legislatif dari Partai NasDem Ahmad Sahroni. Umpatan itu pun kian makin memanaskan kegaduhan.
Di sisi lain, publik sendiri sudah jengah dengan sejumlah kebijakan yang mencekik rakyat. Seperti kenaikan pajak di beberapa sektor hingga perampasan aset tanah yang menganggur dua tahun.
Lempar Tuduhan...
Banyak yang bilang, orang yang ”ketut” itu melemparkan tuduhan atau narasi-narasi palsu dengan memanfaatkan fenomena fear of missing out alias FOMO yang menjangkiti generasi muda saat ini.
Menurut Kemenkes, FOMO merupakan kecemasan karena takut ketinggalan aktivitas, tren, atau informasi penting yang sedang terjadi di sekitar.
Itu terlihat banyaknya anak-anak di bawah umur yang turut diamankan dalam kerusuhan itu. Dalam kericuhan di Grobogan, Jawa Tengah, Sabtu (30/8/2025) misalnya, sebanyak 96 pelajar diamankan.
Dari jumlah itu, dua orang remaja telah ditetapkan sebagai tersangka. Salah satunya karena membuat dan membawa bom molotov.
Informasi yang diterima, mereka bahkan tidak berniat demo. Pola itu sangat kentara karena begitu mereka berkumpul, kelompok itu langsung melakukan perusakan tanpa ada orasi penyampaian aspirasi layaknya demonstrasi yang dilakukan mahasiswa.
Aksi itu sendiri dilatarbelakangi dengan beredarnya flyer bertajuk ”Grobogan Memanggil” dengan titik lokasi Kantor DPRD Grobogan dan Polres Grobogan.
Namun, yang menjadi kejanggalan, dalam flyer itu tak ada kontak koordinator lapangan maupun nama kelompok mereka. Dalam flyer itu hanya disebutkan, turut mengundang mahasiswa, ojol, ultras, pelajar, dan masyarakat Grobogan.
Di Pati, seorang remaja turut menyebarkan berita bohong bernada provokasi untuk membakar rumah Kapolresta Pati. Si remaja pun langsung didatangi Polisi dan meminta maaf.
Sementara, gelombang protes yang terjadi juga sebagian besar berawal dari beredarnya Hoaks alias berita bohong. Salah satunya, video Sri Mulyani menyebut guru dan dosen beban negara.
Setelah ditelusuri dengan tools pendeteksi AI, video tersebut ternyata dibuat menggunakan teknologi Deepfake. Teknologi ini memungkinkan pengguna untuk mengubah voice dari video sesuai keinginan, termasuk menyebarkan kebohongan.
Hoaks Bertebaran...
Koalisi Cek Fakta menemukan setidaknya 20 ragam misinformasi dan disinformasi sejak rentetan aksi protes pada 25 Agustus 2025 lalu.
Informasi palsu itu sebagian besar dikaitkan dengan aksi protes dan berkembang menjadi penyebaran ketakutan seperti jangan keluar malam, pembatasan aktivitas di jalanan, penempatan penembak jitu, pembakaran bangunan, pembatasan penarikan uang di bank, penyerangan kantor polisi, penjarahan, dan lain sebagainya.
Sebaran berita palsu ini telah membuat chaos lantaran dipercaya sebagai fakta. Seperti flyer #GroboganBergerak, informasi palsu rencana membakar rumah Kapolresta Pati, hingga video deepfake Sri Mulyani yang sebut guru dan dosen sebagai beban negara.
Meski potensi chaos di Pati dapat segera dicegah, namun flyer #GroboganBergerak telah membuat kerusakan di Kantor DPRD Grobogan dan Polsek Purwodadi, Kabupaten Grobogan.
Sri Mulyani juga telah menjadi korban dari kejamnya fitnah hoaks. Di mana, rumahnya acakadut usai dijarah massa. Lukisan bunga hasil perenungannya yang sangat bernilai baginya pun diembat.
Sebaran hoaks ini pun telah membuat kerusakan nyata yang disebarkan para pelakunya.
Propaganda...
Mantan Kanselir Jerman Joseph Goebbels pernah mengatakan ”Ulangi kebohongan cukup sering dan itu menjadi kebenaran” yang menjadi hukum propaganda yang kerap dikaitkan dengan Nazi.
Ucapan itu kemudian diteliti Psikolog dari Universitas Temple Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat Dr Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino pada 1977 dengan judul illusory truth effect.
Hasilnya suatu informasi yang salah akan dianggap benar karena terus dilakukan pengulangan yang meningkatkan level validitasnya. Bahkan menjadi hal yang normal dalam penelitian selanjutnya.
Woy siapa yang kentut nih!
Bang-bang tut akar gulang-galing
Siapa yang kentut ditembak raja maling!
Musuh dalam selimut sama juga maling
Mulut bau kentut di belakang ngomong miring!
Jangan-jangan yang ”kentut” dan bikin gaduh di sejumlah wilayah Nusantara belakangan ini dilakukan raja maling itu sendiri.