Kamis, 20 November 2025

ESOK HARI, Rabu (27/11/2024) masyarakat di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota akan menentukan memilih pemimpin dalam balutan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024.

Dalam Pilkada 2024 itu, ada yang diikuti dua atau lebih kontestan. Di beberapa daerah hanya memunculkan satu peserta Pilkada 2024.

Asas langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil (Luber Jurdil) terus digelorakan setiap kali masa pemilihan umum berlangsung.

Kemudian, dalam berkontestasi, para peserta diajak ikut melaksanakannya secara aman, kondusif, serta menjaga ketertiban masyarakat.

Sejumlah tokoh terus menggaungkan dalam memilih untuk melihat rekam jejaknya. Memilih pemimpin dengan rekam jejak yang baik dan atau tidak paling sedikit jeleknya.

Para pembesar juga menyuarakan untuk menolak adanya politik uang. Muhammadiyah sendiri telah mengeluarkan fatwa haram pada politik uang.

Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) juga mendeklarasikan untuk menolak politik uang. Namun di sisi lain, ada yang membolehkan dengan catatan tetap memilih sesuai nuraninya.

Transaksi politik pun kian marak menjelang waktu pemilihan. Serangan fajar biasa mereka menyebutnya.

Terang-terangan...

Namun, kini bukan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mereka bahkan bermain secara terang-terangan dengan pendataan lebih dulu, dan perang money.

Masyarakat yang cerdas, sudah pasti akan menolak money politik. Sebab, itu akan mendatangkan keburukan.

Pertama, suara rakyat tak akan dihiraukan karena telah dibeli. Kedua, politik uang akan membuka peluang perilaku korup bagi pemimpin.

Maka dari itu, pilihlah calon pemimpin berdasarkan rekam jejaknya, visi misinya, dan bukan besaran uang yang dia berikan.

Sebagaimana Alquran Surat As Sajdah ayat 24 yang artinya:

’’Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar; dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.’’

Harus memiliki visi...

Ayat ini menunjukkan, pemimpin harus memiliki visi yang jelas tentang tujuan dan misi yang ingin dicapai sesuai dengan ajaran islam.

Untuk itu, seorang pemimpin juga harus memiliki program dan strategi yang efektif dan efisien untuk mewujudkan visi dan misinya.

Sementara, dalam Matius 23: 11, Tuhan mengatakan seseorang yang ingin menjadi pemimpin maka, ia harus menjadi pelayan.

Dalam artian, menjadi pemimpin harus siap menjadi pelayan. Pelayan siapa? Tentu pelayan rakyatnya.

Tak berhenti di sana, memilih pemimpin juga harus melihat sisi sosial yang melatarbekalangi mereka. Ada sebuah pepatah, orang-orang yang bodoh akan dipimpin juga oleh orang bodoh.

Seperti halnya karya fiksi Wuxia, Partai Pengemis yang ditulis Jin Yong, Gu Long dan Wolong Sheng. Di mana, partai pengemis juga dipimpin oleh seorang pengemis.

Sering Kali Diabaikan...

Beberapa teori sosial menyebut, hal ini sering kali diabaikan. Di mana, ada struktur sistem, jaringan sosial, dan budaya yang melatarbelakangi, bahkan bisa dikatakan melekat erat para pemimpin.

Katakanlah bila ia berada dalam lingkaran sosial yang korup, tentunya ia akan menjadi pemimpin yang korup.

Ini seperti penjelasan Talcon Persons dalam Teori Sistem Sosial miliknya. Di mana, pemimpin tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan struktur sistem di mana mereka berada.

Begitu juga Karl Marx di Teori Kritikalnya. Ia menyebut, pemimpin seringkali hasil produk dari kelas sosial yang sama dan tak lepas dari kepentingan kelompok dominan.

Sementara, Peter L Berger dalam teori konstruksi sosial bahkan menyebutkan, seringkali pemimpin dianggap pahlawan perubahan, padahal mereka telah terikat sistem yang ada.

Maka dalam ajaran Islam, Allah sudah mewanti-wanti dan memberikan kisi-kisi dalam memilih pemimpin.

Selain yang disebutkan sebelumnya, Allah memerintahkan agar memilih yang bukan dari kalangan orang zalim.

Peringatan Allah...

Bahkan Allah mengingatkan agar tidak salah dalam memimpin. Sebab, pemimpin yang zalim berpotensi menyengsarakan rakyatnya. Itu sebagaimana dalam Alquran surat Al An’am ayat 129.

’’Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.’’

Dalam Timotius 3:6, Tuhan tidak merekomendasikan orang yang baru bertobat untuk dijadikan pemimpin. Itu dikhawatirkan orang tersebut menjadi sombong dan jatuh dalam kesalahan.

Ini tentunya menjadi pekerjaan yang sulit bagi rakyat untuk memilih pemimpin. Sebab, memilih bukan sekadar cap-cip-cup coblos.

 

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dalam Tumbal: 1994 bahkan harus ’’bersemedi’’ dalam memilih pemimpin. Dalam perjalanannya, ia mengatakan, setiap pemilihan seringkali berakhir dengan sedih.

’’Semogalah kita masih sanggup (dengan iman) menangkap pelajaran dari petani anggrek: bahwa untuk bisa hidup dan bersemi, akar anggrek harus terinfeksi virus. Kalau tidak begitu ia justru akan mati’’.

Komentar

Terpopuler