KASUS yang menimpa Supriyani, guru honorer di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menjadi satu dari sekian fenomena ’’payung bobrok’’.
Dibilang payung bobrok lantaran, payung hukum yang melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya telah bobrok di era kini.
Payung hukum itu yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru. Di mana, dalam beleid itu, guru tak bisa dipidanakan karena mendisiplinkan murid atau siswanya.
Maka, memidanakan guru karena mendisiplinkan murid tentunya menjadi sebuah pelanggaran dan menyalahi aturan itu. Itu sebagaimana dalam Pasal 40 dan dipertegas di Pasal 41 beleid tersebut yakni:
Pasal 40
’’Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing’’.
Pasal 41
’’Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain’’.
Di peraturan itu juga guru diberi kewenangan untuk memberikan sanksi pada peserta didiknya. Sebagaimana bunyi Pasal 39 ayat 1 PP Nomo 74 Tahun 2008 yakni:
’’Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi pada peserta didiknya yang melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan serta peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya’’.
Hukuman Bersifat Mendidik
Kemudian dijelaskan dalam ayat dua, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, guru tak dapat dipidana saat mendispilinkan peserta didiknya. Bila aturan itu tidak “bobrok” tentunya guru tak perlu takut memberi hukuman yang mendidik pada muridnya.
Namun, kekinian banyak sekali guru yang dikriminalisasi. Sebelum kriminalisasi pada guru SD Negeri 4 Baito itu, ada juga guru di Taliwang, NTB yang dikriminalisasi lantaran menegur siswanya yang tak melaksanakan salat berjamaah.
Mungkin itu hanya sebagian dari kasus-kasus lain yang menjerat para guru gegara mendisiplinkan anak. Kerap kali, oknum yang mengkriminalisasi para guru ’’memukul’’ mereka dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Di mana dalam aturan itu menyebutkan anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, penganiayaan, penelantaran, dan diskriminasi.
Kemudian, negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup.
Pada akhirnya PP Nomor 74 Tahun 2008 pun hanya isapan jempol belaka. Payung hukum yang mestinya mampu melindungi guru, justru menjadi sebuah ’’payung bobrok’’.
Era Dulu
Padahal, di era dulu, guru selalu membawa penggaris saat mengajar. Selain untuk membuat garis dalam pengajarannya, penggaris itu juga sebagai senjata untuk mendisiplinkan siswa.
Ada juga yang membawa dhuding atau tongkat kecil yang digunakan untuk mengajarkan siswa membaca sekaligus untuk menghukum siswa yang melanggar kedisiplinan.
Tentu para orang tua muda era kini ingat dengan hal itu, dan juga merasakannya. Bahkan, orang tua zaman dulu ketika kita kena marah guru, justru bukan dibela, melainkan ikut memarahinya.
Ingat petuah Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantoro, yakni ’’Guru adalah seorang pejuang tulus tanpa tanda jasa mencerdaskan bangsa’’.
Artinya, tanpa adanya guru tak akan ada seorang professor, dokter, polisi, tentara, bahkan guru-guru yang baru.
Ki Hadjar Dewantoro juga mengingatkan soal kedisplinan. Yakni, di mana ada kemerdekaan, di situ harus ada disiplin yang kuat.
’’Sungguh disiplin itu bersifat self disiplin, yaitu kita sendiri mewajibkan dengan sekeras-kerasnya. Dan peraturan yang sedemikian itu harus ada di dalam suasana yang merdeka,’’ kata Ki Hadjar Dewantoro.
Guru yang Ditinggikan dalam Islam
Dalam jurnal dari Ahmat Miftakul Huda, Ana Maritsa, dan Difa’ul Husna berjudul Kedudukan guru dalam Perspektif Pendidikan Islam, menyebutkan sebagai berikut:
’’Kedudukan guru yaitu menyucikan, membersihkan, menyempurnakan, dan membimbing manusia supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT dalam menjalankan kehidupannya’’.
Sebab, setiap muslim memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu. Kata pertama dalam wahyu pertama sendiri adalah iqro’ yang berarti bacalah.
Artinya, perintah pertama kali dari Allah SWT pada umat manusia adalah membaca yang bisa dimaknai belajar.
Islam pun meninggikan posisi guru. Seperti dalam Al Mujadalah ayat 11.
’’Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’’.
Selanjutnya, dalam Surat Ali Imran ayat 18:
’’Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’’.
Mencegah dari yang Munkar
Masih di Ali Imran ayat 104 menyebutkan, guru itu hendaknya menyerukan kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang munkar.
’’Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung’’.
Dengan tingginya posisi guru dalam Islam dan tugasnya untuk mengajak yang makruf serta mencegah yang munkar, guru pun dituntut harus cakap. Ini sebagaimana dalam Surat Ali Imran Ayat 7.
’’Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ululalbab’’.
Selain harus cakap, guru juga dituntut untuk bijaksana. Termasuk dalam mendisiplinkan anak.
’’Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk’’.
Artinya, meski diberi kewenangan untuk mendisiplinkan, caranya pun harus bijaksana. Tak boleh dengan cara kekerasan yang berlebihan.
Dibolehkan dalam Islam
Hukuman dengan cara memukul sendiri dibolehkan dalam Islam. Hanya, hukuman memukul itu bukan untuk menyakiti, namun lebih pada mendisiplinkan dan juga mendidik.
Nabi Muhammad SAW sendiri memerintahkan untuk memukul anak-anak kita yang berbuat kemungkaran ketika sudah aqil baliq. Memukulnya pun dengan penuh kasih sayang, bukan secara kasar.
Ada sebuah pameo atau pepatah, guru adalah orang tua kedua fi’il ilmi di sekolah. Artinya, guru juga memiliki peran penting sama seperti orang tua dalam membentuk karakter, mendidik, dan memberi ilmu.