Minggu, 26 Januari 2025

BELAKANGAN pulau Jawa diterpa bencana yang nyaris tak berhenti. Sejak awal 2024, bencana banjir, longsor, bahkan gempa bumi menghampiri, khususnya di Jawa Tengah.

Banjir di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak yang menjadi sorotan publik. Sebab, dalam waktu kurang dari 40 hari, wilayah tersebut dua kali diterjang banjir.

Peristiwa pertama terjadi pada Kamis, 8 Februari 2024 dan kedua pada Ahad, 17 Maret 2024. Penyebabnya sama, yakni jebolnya tanggul di Sungai Wulan yang menjadi pembatas wilayah Kabupaten Kudus dan Kabupaten Demak.

Titik jebolan tanggul ini di Dusun Norowito, Desa Ketanggung, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak. Dua kejadian itu, titiknya hampir berdekatan.

Akibat jebolnya tanggul tersebut, lalu lintas di Jalan Pantura pun lumpuh selama banjir menggenangi wilayah tersebut. Di titik terdalam bahkan kedalamannya mencapai lebih dari 150 sentimeter.

Tak hanya itu, ribuan warga terdampak pun harus mengungsi. Ada yang mengungsi di posko pengungsian, ada pula yang memilih mengungsi di kerabatnya. Segelintir warga memilih tetap bertahan di rumahnya yang berlantai dua atau lebih.

Sejak Ahad, 24 Maret 2024 banjir sudah mulai surut. Jalan Pantura Kudus-Demak di lokasi itu pun sudah bisa dilalui, meski secara resmi baru diizinkan pada Senin (25/3/2024) sore.

Meski kini telah surut, namun sisa-sisa ganasnya bencana masih tampak terlihat. Jalan Pantura Kudus-Demak di titik banjir hancur lebur. Jalanan berlubang. Aspal mengelupas. Lumpur-lumpur dan sisa perabot rumah yang terseret banjir berserakan.

Sejumlah pengungsi telah kembali membersihkan rumahnya yang berantakan usai dihantam banjir. Mereka kembali secara bertahap.

Banjir yang menimpa wilayah Demak dan sekitarnya, yakni Kudus, Jepara, Pati, Grobogan, dan Kota Semarang itu kemudian dikait-kaitkan dengan Selat Muria. Sebab, dari potret citra satelit saat banjir, lokasi genangan nyaris mirip dengan bentuk Selat Muria.

Pertanyaan, apakah Selat Muria akan kembali pun kemudian menjadi bahan diskusi dan ramai diperbincangkan. Sejumlah platform media sosial nyaris tak berhenti membahas soal Selat Muria saat banjir kedua itu terjadi.

Dalam siaran resminya, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid menampik isu akan terbentuk kembalinya Selat Muria yang telah hilang sekitar 300 tahun yang lalu.

Menurutnya, Selat Muria yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria dahulu tidak mungkin terbentuk dalam waktu dekat. Selat Muria bisa terbentuk kembali melalui proses geologi yang dahsyat, seperti gempa bumi tektonik dengan berkekuatan besar.

Wafid mengatakan, penurunan permukaan tanah daerah pesisir Demak sekitar 5-11 sentimeter per tahun. Di bebeerapa tempat, elevasinya lebih rendah dibanding muka air, sehingga saat roba akan menjorok jauh masuk ke daratan.

Meski begitu, Selat Muria tak akan terbentuk dalam waktu dekat. Banjir yang lama surut di wilayah Demak lebih karena dipengaruhi iklim yang ekstreme.

Namun bukan tidak mungkin, Selat Muria kembali terbentuk. Seperti yang dikatakan Wafid, Selat Muria bisa terbentuk kembali melalui proses geologi yang dahsyat, seperti gempa bumi tektonik dengan berkekuatan besar.

Salah satu yang dapat memicu yakni terjadinya gempa yang mempengarhui Sesar Kendeng. Bila melihat dari peta sesar yang diterbitkan Tim Pusat Studi Gempa Nasional, Sesar Kendeng ini berada di sisi selatan Selat Muria.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Sesar Kendeng ini sempat menguncang Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada 1890. Tahun itu diduga menjadi waktu tertutupnya Selat Muria.

Menurut berbagai sumber, di era sebelum abad ke-16, Selat Muria merupakan selat sempit yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Muria. Bentangan selat ini di mulai dari daratan Kota Semarang, Demak, menuju Juwana Pati.

Sebelum abad ke-13, Selat Muria jauh lebih luas. Yakni mencakup wilayah Kabupaten Grobogan, hingga sebagian Kabupaten Blora.

Seiring dengan berbagai kejadian geologi, Selat Muria berangsur-angsur menyempit, dan menjadi dangkal. Pendangkalan itu diperkirakan terjadi pada abad 13 awal.

Pendangkalan ini terjadi akibat endapan lumpur dan sedimentasi dari aliran sungai-sungai yang bermuara di Selat Muria. Sungai-sungai itu yakni, Sungai Serang, Sungai Tuntang, Sungai Jragung, Sungai Gelis, Sungai Piji, dan Sungai Logung.

Selat Muria sendiri pernah menjadi jalur perdagangan rempak-rempah. Banyak kapal-kapal besar yang melalui jalur tersebut untuk berdagang di Semarang, Demak, Kudus, dan Juwana.

Jalur perdagangan rempah-rempah itu menghubungkan Timur Tengah dengan Maluku. Pelaut Portugis Tome Pires diduga melalui jalur tersebut saat melakukan ekspedisinya di Nusantara.

Sekitar abad ke-17 sampai abad ke-18, selat tersebut mulai tertutup dan tak lagi bisa dilalui. Meski telah tertutup, bekas Selat Muria ini tetap jalur sutra perdagangan di Jawa Tengah.

Jalur tersebut menghubungkan Kota Semarang ke Kabupaten Kudus, Pati, Jepara, dan Rembang. Tak hanya memperdagangkan rempah-rempah seperti era-era terdahulu.

Jalur tersebut menjadi akses penting perekonomian, terutama bagi warga Kudus, Pati, dan Jepara. Produk kretek dari Kudus hingga kerajinan ukir dari Jepara hanya bisa disebarkan ke seluruh penjuru Jawa bahkan dunia lewat jalur tersebut.

Sebab, pelabuhan terdekat sebagai pintu ekspor produk-produk dari Jepara, Kudus, Pati berada di Kota Semarang. Bandara terdekat untuk melancong ke penjuru dunia juga di Kota Semarang.

Bila akses itu terputus, tentunya roda perekonomian benar-benar lumpuh. Bahkan para pengusaha bisa dibikin tak berdaya.

Untuk menuju Kota Semarang, jarak tempuhnya bahkan mencapai puluhan jam. Sebab, truk-truk pengangkut barang-barang produksi bisa terjebak macet.

Padahal, bila lalulintas tak dialihkan dan jalanan lancar, jarak tempuh dari Kudus, Semarang, atau Pati ke Kota Semarang paling tidak hanya memakan waktu satu atau dua jam saja.

Dalam pembangunan ke depan, Pemerintah mestinya memerhatikan peta sejarah dan titik-titik rawan. Tujuannya tentu agar jalur sutra atau jalur ekonomi tetap terjaga. Pergerakan ekonomi pun tetap lancar.

Rencana Tol Semarang-Tuban dan Semarang-Jepara agaknya perlu dipersiapkan dengan memerhatikan potensi-potensi tersebut. Dengan menjadikannya sebagai Proyek Strategis Nasional, diharapkan dua jalan tol itu dapat terbangun di waktu dekat ini. (*)

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler