Selasa, 14 Januari 2025

Dilema Grobogan: Rendeng Ra Isa Ndodok, Ketiga Ra Isa Cewok

Zulkifli Fahmi
Selasa, 6 Februari 2024 12:49:00
Dilema Grobogan: Rendeng Ra Isa Ndodok, Ketiga Ra Isa Cewok
Zulkifli Fahmi, Editor Murianews.com

Sejumlah wilayah Kabupaten Grobogan hampir selalu dilanda bencana banjir bila memasuki musim hujan dengan intensitas tinggi. Terbaru, sebanyak 29 desa di 11 Kecamatan terendam banjir, Selasa (6/2/2024).

Bahkan, jalan utama seperti Jalan R Soeprapto yang berada di jantung kota Purwodadi terendam banjir dengan kedalaman sekitar 20-30 sentimeter.

Pun demikian dengan Bundaran Gubug yang menjadi pusat kota Kecamatan Gubug. Bundaran tersebut diketahui menjadi titik perpecahan arus lalu lintas dari Semarang-Purwodadi dan Purwodadi ke Salatiga.

Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Kota Lumbung Pertanian itu pernah mengalami banjir yang lebih besar pada 25 Desember 2007 lalu.

Banjir ini akibat luapan Sungai Glugu dan telah melumpuhkan aktivitas warga di Kota Purwodadi selama kurang lebih seminggu lamanya.

Persitiwa tersebut disebut menjadi bencana banjir yang terbesar setelah tahun 1992. Berdasarkan tesis Afi Wildani, yang kini menjadi Kepala Bappeda Grobogan pada 2009 lalu menyebutkan, banjir disebabkan bencana hidrologi dan karakteristri hidraulika.

Kabupaten Grobogan sendiri memang dilintasi sungai-sungai besar yang melintang melewati beberapa kabupaten, seperti Sungai Lusi, Sungai Serang, Sungai Tuntang, Sungai Glugu, dan Sungai Njragung.

Sungai Lusi melewati Blora dan Grobogan. Sungai Serang dari wilayah Boyolali, Grobogan, hingga Kudus. Kemudian, Sungai Tuntang dari wilayah Salatiga, Ungaran dan Sungai Njragung dari Ungaran. Namun untuk sungai terakhir, lebih banyak masuk ke wilayah Kabupaten Demak.

Bencana banjir yang melanda di Kabupaten Grobogan sering kali disebabkan luapan sungai-sungai besar itu dan anak sungainya yang melintas di sejumlah tempat yang rawan banjir.

Stigma rendeng ra isa ndodok, ketiga ra isa cewok atau yang berarti musim hujan tidak bisa jongkok, musim kemarau tidak bisa cebok pun melekat di Kabupaten Grobogan.

Sebab, siklus itu terus berputar hampir hampir setiap tahunnya. Di mana, setiap musim hujan datang, masyarakat Grobogan di wilayah rentan banjir selalu dihantui bencana banjir.

Begitu pun sebaliknya, warga di wilayah rawan kekeringan dihantui bencana kekeringan saat musim kemarau datang.

Mantan Kepala Bappeda Grobogan yang kini menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Grobogan Anang Armunanto juga pernah memberikan gagasannya terkait pengendalian bencana ini. Mulai dari pembuatan embung, rumur resapan, dan program mitigasi lainnya.

Di Kabupaten Grobogan sendiri sudah memiliki 44 embung yang tersebar di enam UPTD, yakni UPTD Gubug, Godong, Grobogan, Purwodadi, Wirosari, dan Kradenan. Embung-embung itu dibangun dari sekitar tahun 2006 sampai 2017.

Namun, embung-embung yang ada masih belum mampu menuntaskan persoalan banjir. Bencana banjir masih kerap menghantui.

Padahal, Kabupaten Grobogan menjadi salah satu penyangga pangan nasional. Pada 2022, produksi padi mencapai 787 ribu ton dengan luas lahan panen 137 ribu ha.

Kemudian, produksi jagung 835 ribu ton di lahan seluas 133 ribu ha, dan produksi kedelai mencapai 44 ribu ton dengan luas lahan 19 ribu ha.

Tingginya curah hujan pun selalu masuk pada masa tanam pertama atau MT-1 hingga waktu panen. Risiko terjadinya puso atau gagal panen pun tinggi.

Upaya pengendalian banjir dan kekeringan yang mantap pun harus segera dilakukan Pemerintah Kabupaten Grobogan. Kolaborasi dengan pemerintah provinsi dan pusat sangat diperlukan guna menjaga stabilitas pangan nasional.

Pengaktifan sumur resapan sebagaimana pernah diusulkan pun perlu dimaksimalkan. Selain itu, perlu juga edukasi masyarakat untuk membuat penampungan air hujan.

Penambahan embung dan bendungan juga perlu diupayakan guna mencegah banjir bertambah parah. Upaya ini pun bisa dimanfaatkan manakala musim kemarau datang.

Air yang tertampung bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan air bersih. Beberapa daerah sendiri sudah menerapkan optimalisasi sumur resapan dan bak penampungan air hujan untuk mengatasi banjir dan airnya dimanfaatkan saat kemarau.

Kemudian juga, penataan drainase dan pengerukan sungai yang sudah parah sedimentasinya mendesak dilakukan. Memang, pembangunannya pasti membutuhkan anggaran yang tak sedikit.

Untuk itu, perlu koordinasi dan kolaborasi lintas sektoral dari pemkab, pemprov dan pemerintah pusat guna mengurai masalah ini dengan segera. (*)

Komentar

Terpopuler