Berikan juga pemahaman bahaya berinteraksi dengan orang asing, cara mengenali upaya grooming, dan apa yang harus dilakukan jika merasa terancam. Bekali mereka dengan literasi digital yang memadai.
Selain itu orang tua juga wajib memantau aktivitas secara bijak. Bijak di sini, orang tua perlu mengetahui platform apa saja yang digunakan anak dan bagaimana cara kerjanya.
Kalau diperlukan, kita harus memantau daftar teman, pengaturan privasi, dan sesekali memeriksa riwayat percakapan (dengan tetap menghargai privasi anak sesuai usianya) bisa menjadi langkah preventif.
Kasus di Jepara ini harus menjafi pengingat pahit jika dunia maya bukanlah tempat yang sepenuhnya aman bagi anak-anak tanpa perisai pelindung.
Mengabaikan atau menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada sekolah atau pihak lain adalah sebuah kekeliruan.
Tanggung jawab utama ada pada orang tua untuk membekali, mendampingi, dan melindungi anak-anak mereka dari ancaman yang nyata di balik layar gawai.
Jangan sampai kita baru tersadar ketika tragedi serupa menimpa orang terdekat. Perlindungan anak di dunia maya adalah tugas kita bersama, dan dimulai dari rumah.(*)
KASUS predator seksual yang baru-baru ini terungkap di Jepara, menjadi peringatan keras bagi orang tua. Pasalnya, pelaku diduga memanfaatkan media sosial dan media perpesanan online yang menyasar anak di bawah umur.
Peristiwa tragis ini sekali lagi menggarisbawahi sisi gelap dari kemudahan akses informasi dan interaksi di dunia maya. Sekaligus menyoroti betapa krusialnya peran pengawasan dan pendampingan orang tua dalam melindungi anak-anak di era digital.
Media sosial dengan segala daya tariknya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Platform seperti Instagram, Telegram, TikTok, Facebook, dan lainnya menawarkan ruang untuk berekspresi, bersosialisasi, dan mencari informasi.
Namun, di balik kemilau konektivitas tersebut, tersembunyi jurang bahaya yang mengintai. Mudahnya akses antara satu sama lain untuk berinteraksi seringkali mendorong interaksi tanpa filter.
Akibatnya lahan bagi predator untuk melancarkan aksinya menjadi terbuka lebar.
Berkaca dari kasus predator seksual di Jepara, pelaku memanfaatkan grup Telegram untuk mencari mangsanya. Dari grup yang semula tak saling kenal, pelaku mulai melakukan pendekatan hingga berujung komunikasi melalui perpesanan WhatsApp.
Di situ, pelaku dapat dengan mudah mendekati anak-anak, membangun kepercayaan palsu, melakukan grooming, hingga akhirnya melakukan eksploitasi seksual, baik secara daring maupun luring.
Satu yang pasti, kasus di Jepara ini bukanlah anomali. Beberapa kasus pelecehan seksual hingga pencabulan anak di bawah umur juga terjadi dari ‘kenalan’ di media sosial.
Rasa Ingin Tahu Anak...
Anak-anak dan remaja, dengan kepolosan, rasa ingin tahu yang besar, dan kebutuhan akan penerimaan sosial, seringkali menjadi target yang rentan.
Mereka mungkin belum sepenuhnya memahami risiko di balik interaksi dengan orang asing di dunia maya atau konsekuensi dari membagikan informasi pribadi secara berlebihan.
Di sinilah peran orang tua menjadi benteng pertahanan pertama dan utama. Pengawasan orang tua tidak melulu soal pembatasan atau larangan keras.
Lebih dari itu, pengawasan adalah tentang kehadiran, pendampingan, komunikasi terbuka, dan edukasi. Orang tua perlu secara aktif terlibat dalam kehidupan digital anak-anak mereka.
Lantas apa yang bisa dilakukan?
Sebagai orang tua, kita tentu harus membangun komunikasi terbuka. Salah satu caranya dengan menjadikan percakapan tentang aktivitas online sebagai bagian dari obrolan sehari-hari.
Dengarkan pengalaman mereka, tanyakan siapa saja teman online mereka, dan diskusikan potensi risiko tanpa menghakimi. Ciptakan suasana di mana anak merasa aman untuk bercerita jika mengalami hal yang tidak nyaman atau mencurigakan.
Orang tua juga wajib memberikan edukasi secara berkelanjutan. Ajari anak tentang privasi online, pentingnya tidak membagikan informasi pribadi (nama lengkap, alamat, sekolah, nomor telepon) kepada irang asing.
Bahaya Interaksi Orang Asing di Medsos...
Berikan juga pemahaman bahaya berinteraksi dengan orang asing, cara mengenali upaya grooming, dan apa yang harus dilakukan jika merasa terancam. Bekali mereka dengan literasi digital yang memadai.
Selain itu orang tua juga wajib memantau aktivitas secara bijak. Bijak di sini, orang tua perlu mengetahui platform apa saja yang digunakan anak dan bagaimana cara kerjanya.
Kalau diperlukan, kita harus memantau daftar teman, pengaturan privasi, dan sesekali memeriksa riwayat percakapan (dengan tetap menghargai privasi anak sesuai usianya) bisa menjadi langkah preventif.
Pemanfaatan aplikasi parental control juga bisa dipertimbangkan sebagai alat bantu, bukan pengganti komunikasi.
Kasus di Jepara ini harus menjafi pengingat pahit jika dunia maya bukanlah tempat yang sepenuhnya aman bagi anak-anak tanpa perisai pelindung.
Mengabaikan atau menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada sekolah atau pihak lain adalah sebuah kekeliruan.
Tanggung jawab utama ada pada orang tua untuk membekali, mendampingi, dan melindungi anak-anak mereka dari ancaman yang nyata di balik layar gawai.
Jangan sampai kita baru tersadar ketika tragedi serupa menimpa orang terdekat. Perlindungan anak di dunia maya adalah tugas kita bersama, dan dimulai dari rumah.(*)