Walaupun persentasenya masih bisa lebih tinggi, namun karena berbagai faktor seperti kesehatan, eksternal (contohnya kondisi ekonomi) dan internal seperti perubahan sistem di tempat kerja akan mempengarui baby boomer untuk berhenti sebelum usia pensiun.
Jumlah ini mewakili tingkat keluarnya tenaga kerja rata-rata sebesar 10,1 persen di seluruh sektor utama.
Dengan kata lain, pengusaha harus mengganti lebih dari 240.000 pekerja setiap bulannya selama lima tahun ke depan karena adanya pensiun pada kelompok demografi ini (Almazora, 2024).
Sementara, tantangan di dunia kerja adalah menerima generasi penerus yakni generasi X, Y atau milenial, dan Z yang sudut pandang terkait job security (loyalitas) terhadap perusahaan sangat bertolak belakang dengan generasi boomer.
Sebaliknya, generasi milenial dan Z lebih menyukai keseimbangan kehidupan kerja atau work life balance , pertumbuhan pribadi atau pengalaman, dan fleksibilitas kerja.
DI tahun 2030 generasi baby boomer (kelahiran 1959 – 1964) 55 persennya akan berhenti bekerja dikarenakan sudah masuk di dalam usia pensiun.
Walaupun persentasenya masih bisa lebih tinggi, namun karena berbagai faktor seperti kesehatan, eksternal (contohnya kondisi ekonomi) dan internal seperti perubahan sistem di tempat kerja akan mempengarui baby boomer untuk berhenti sebelum usia pensiun.
Menurut riset Alliance for Lifetime Income’s Retirement Income Institute (2024) memperkirakan bahwa 14,8 juta warga Amerika dari kelompok generasi baby boomer akan pensiun dari pekerjaan mereka antara tahun 2024 dan 2029.
Jumlah ini mewakili tingkat keluarnya tenaga kerja rata-rata sebesar 10,1 persen di seluruh sektor utama.
Dengan kata lain, pengusaha harus mengganti lebih dari 240.000 pekerja setiap bulannya selama lima tahun ke depan karena adanya pensiun pada kelompok demografi ini (Almazora, 2024).
Sementara, tantangan di dunia kerja adalah menerima generasi penerus yakni generasi X, Y atau milenial, dan Z yang sudut pandang terkait job security (loyalitas) terhadap perusahaan sangat bertolak belakang dengan generasi boomer.
Generasi baby boomer secara luas dianggap lebih loyal terhadap pekerjaan mereka, mereka lebih memprioritaskan stabilitas jangka panjang dan komitmen terhadap perusahaan atau dengan kata lain mempunyai loyalitas tinggi.
Sebaliknya, generasi milenial dan Z lebih menyukai keseimbangan kehidupan kerja atau work life balance , pertumbuhan pribadi atau pengalaman, dan fleksibilitas kerja.
Generasi milenial cenderung lebih sering berganti pekerjaan karena mereka menginginkan pekerjaan yang bermakna dan pengembangan keterampilan. Sedangkan generasi Z memiliki masa kerja rata-rata terpendek, seringkali hanya bertahan di setiap pekerjaan selama sekitar satu tahun di tahap awal karier (Humanoo, n.d).
Perusahaan atau pengusaha akan bersusah payah dalam mempertahankan loyalitas karyawannya yang nantinya akan diisi oleh mayoritas dari generasi milenial dan Z. Di mana demografi tersebut mempunyai tingkat turnover tinggi atau dikenal dengan fenomena job hopping atau pindah-pindah tempat kerja.
Bagaimana tidak, setiap kali karyawan mengundurkan diri, HR akan mencari pengganti atau kandidat dan harus start up atau training dari awal sampai mereka mampu dan berfungsi.
Dan setelah masa kontrak selesai mereka berpotensi akan meninggalkan pekerjaan, karena esensi kerja generasi z dan milenial adalah flexibilitas, pengalaman dan pengembangan diri bukan stabilitas pekerjaan atau loyalitas.
Tidak banyak disadari bahwa dampak terbesar dari karyawan yang resign bukanlah berkurangnya suatu laba perusahaan namun, hilangnya sebuah ”pengetahuan perusahaan”.
Pada tahun 2004, sebuah studi terhadap 240 organisasi dilakukan oleh TalentKeepers, menemukan bahwa hilangnya pengetahuan telah berdampak negatif pada 78 persen organisasi.
Artinya, mempertahankan pengetahuan perusahaan sangatlah penting karena dapat menunjang kinerja karyawan, memfasilitasi penciptaan pengetahuan baru, dan membantu karyawan memecahkan masalah dengan cepat dengan memanfaatkan akumulasi pengalaman karyawan.
Pengetahuan ini dapat dibagikan kepada karyawan baru, mendukung inovasi dalam organisasi, dan berdampak positif pada hubungan dengan klien dan pelanggan.
Tetapi, ketika karyawan meninggalkan organisasi atau resign, tanpa ada penyimpanan pengetahuan yang baik maka mereka membawa serta pengetahuan perusahaan dan pengalaman kerja unik mereka.
Hal itu menciptakan kesenjangan yang dapat melemahkan kinerja dan mengikis pengetahuan organisasi secara keseluruhan.
Di negara barat khususnya Amerika dan Kanada, selain menggantikan beberapa pekerjaan yang berulang (repetitive job) dengan memanfaatkan AI atau Artificial Intelegence mereka sudah mulai meninggalkan teori atau tips dan trik untuk mempertahankan loyalitas karyawan karena banyaknya fenomena job hopping pada gen z dan milenial.
Mereka fokus pada knowledge management atau manajemen pengetahuan yakni proses proses menangkap, mendokumentasikan, mengembangkan, berbagi, dan menggunakan pengetahuan organisasi secara efektif.
Dengan menggunakan kerangka kerja Data, Information, Knowledge and Wisdom (DIKW) dapat membantu perusahaan dalam mengelola data mentah yang akan berguna pada calon karyawan di masa depan.
Bayangkan seorang tehnisi senior di perusahaan manufaktur akan pensiun. Selama bertahun-tahun, ia telah mengumpulkan data kinerja mesin (catatan suhu, catatan waktu henti, tingkat output).
Data (D) ini, ketika terstruktur, menjadi informasi (I), menunjukkan pola seperti ”Mesin D sering kepanasan setelah 500 jam kerja”. Dengan pengalamannya, ia mengubah hal ini menjadi pengetahuan (K), mengajarkan bahwa pemeliharaan preventif sebaiknya dijadwalkan pada 450 jam.
Akhirnya, dengan kebijaksanaannya (W), ia menyarankan bahwa penjadwalan pemeliharaan sebaiknya lebih awal, meskipun lebih mahal di awal, namun dapat menghindari kerusakan besar dan menjaga kinerja mesin dalam jangka panjang.
Jika perusahaan menerapkan proses DIKW ini dalam sistem yang ter integrasi dengan AI, calon karyawan baru tidak hanya akan mewarisi data mentah tetapi mereka juga akan mewarisi makna, praktik terbaik, dan wawasan strategis.
Alih-alih memulai dari awal, staf baru dapat belajar dengan cepat, memecahkan masalah lebih cepat, dan berinovasi dengan percaya diri, memastikan keberlanjutan meskipun terjadi pergantian karyawan secara konstan.
Refleksi untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia bahwa di tahun 2045 Indonesia akan mengalami bonus demografi usia produktif mencapai 70 persen dari jumlah populasi.
Yang perlu di garis bawahi ialah, generasi yang paling dominan pada periode ini adalah Generasi Z, yang diproyeksikan akan berada di puncak usia produktif dan memiliki peran besar dalam memimpin serta menggerakkan ekonomi Indonesia.
Artinya kalau perusahaan atau pengusaha Indonesia hanya fokus pada berbagai cara untuk mempertahankan loyalitas karyawan, mereka akan kelabakan. Terutama ketika sudah mengalami fenomena job hopping.
Untuk menghindari hal tersebut idealnya bisnis atau wirausahawan mulailah fokus pada pengelolan manajemen pengetahuan sedini mungkin. Dengan begutu di tahun 2045 tidak menjadi ”Indonesia Cemas”. (*)