BEBERAPA waktu lalu saya menemani rekan untuk membuat SIM A dan C anaknya yang sudah memasuki usia 17 tahun di salah satu wilayah di Jawa Tengah. Saya saat itu bertiga bersama rekan dan anaknya, sengaja harus berangkat pagi agar proses selesai tidak terlalu siang, dan juga untuk menghindari antrean yang panjang.
Seperti biasa begitu sampai, melakukan proses pendaftaran dari mengisi formulir, tes online, simulasi dan tes praktik. Setelah melalui proses tes online dan dinyatakan lulus kemudian giliran tes praktik lapangan.
Melalui tes lapangan inilah saya mulai menemukan banyak kejanggalan. Tes lapangan ini kurang lebihnya seperti ini. Peserta diminta melakukan tes dengan beberapa tahap. Di antaranya melewati rintangan berbentuk U, kemudian seperti angka 8 dan seterusnya.
Peserta diminta untuk mencoba tes lapangan sebanyak dua kali, kemudian baru akan dilakukan penilaian. Kalau lulus langsung direkomendasikan untuk proses berikutnya yakni foto dan proses scan sidik jari. Kemudian baru menunggu proses pencetakan kartu SIM, jika stok bahan material tersedia.
Untuk yang tidak lulus tes lapangan diberi kesempatan satu pekan lagi untuk datang mengikuti tes ulang. Dan peserta diberikan kesempatan satu kali lagi untuk melakukan tes praktik lapangan. Kalau lulus, peserta bisa mengikuti proses selanjutnya untuk mendapatkan SIM. Tetapi kalau tidak lulus harus mengulang lagi dari awal.
Di sinilah awal mulai kejanggalan itu terjadi, saat saya melihat tes praktik lapangan dengan model U. Banyak peserta saya lihat tidak berhasil karena lintasan yang menurut saya cukup sulit dilakukan karena sudutnya sempit. Di sela-sela pelaksanaan tes itu, saya mencoba menghampiri seseorang yang keluar dari kantor samsat dan sempat mengobrol sebentar.
Karena penasaran saya menanyakan beberapa hal. Mbak buat Sim apa? berap biayanya?. Jawabnya mbak-mbak tadi begini. “Buat Sim C mas, Rp 400 ribu tinggal foto saja tidak usah repot, lagian kalau ikut tes kemungkinan lulusnya sangat kecil,”.
Mendengar jawaban si mbak tadi, batin saya bilang manteb sekali. Padahal kalau dilihat biaya normal hanya kisaran Rp 75-100 ribu dan itu dibayardi bank. Kemudian saya bertanya lagi, sendiri atau rombongan?. Jawabnya “40 orang mas dengan temen-temen satu kantor,” katanya.
Mendengar jawaban itu saya langsung "Wow keren". Kalau normalnya Rp 100.000, tapi kalau nembak Rp 400.000. Ada sisa Rp 300 ribu. Kalau dihitung-hitung 300000x40 = 12 juta. Itu yang sekilas saya ketahui, coba yang tidak diketahui bisa jadi lebih dari itu. Ngeriii.....Berapa omzet per hari mungkin akan mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta per hari?.
Pembiaran Malpraktik Pembuatan SIM
Cerita di atas adalah sebuah cerita yang saya dasari dari sebuah kisah nyata dan saya alami sendiri. Kalau dalam penelitian akademis saya hanya melakukan wawancara tetapi tidak mendalam. Namun, dari wawancara itu saya mendapatkan informasi yang cukup untuk bisa mewakili dari aspek penelitian dengan menggunakan metode fenomenologi.
Kalau bicara mengenai apa yang salah tentu perlu ditelusuri lebih mendalam. Bisa jadi sistemnya, bisa sumber dayanya atau bisa juga yang lain. Saya juga pernah iseng-iseng mencoba tes praktik di lapangan sepeda motor. Bahwa saya sendiri menganggap sulit untuk melewati tes-tes itu, karena memang medan yang agak sulit. Diperlukan latihan berkali-kali baru bisa lolos.
- Sistem mungkin saja tidak masalah karena saya meyakini bahwa telah dilakukan kajian yang mendalam.
- Adanya pembiaran yang dilakukan bahwa praktik "main tembak" terus menjadi budaya.
- Oknum yang sengaja bermain untuk mendapatkan keuntungan personal atau kelompok
- Edukasi yang kurang pada masyarakat
- Kurangnya kontrol atau pengawasan berbagai stakeholders, termasuk dari internal