Selasa, 14 Januari 2025

(Masih) Ada Korupsi Pembuatan SIM, Sampai Kapan?

Murianews
Selasa, 10 Maret 2020 06:00:15
(Masih) Ada Korupsi Pembuatan SIM, Sampai Kapan?
Ilustrasi

BEBERAPA waktu lalu saya menemani rekan untuk membuat SIM A dan C anaknya yang sudah memasuki usia 17 tahun di salah satu wilayah di Jawa Tengah. Saya saat itu bertiga bersama rekan dan anaknya, sengaja harus berangkat pagi agar proses selesai tidak terlalu siang, dan juga untuk menghindari antrean yang panjang.

Seperti biasa begitu sampai, melakukan proses pendaftaran dari mengisi formulir, tes online, simulasi dan tes praktik. Setelah melalui proses tes online dan dinyatakan lulus kemudian giliran tes praktik lapangan.

Melalui tes lapangan inilah saya mulai menemukan banyak kejanggalan. Tes lapangan ini kurang lebihnya seperti ini. Peserta diminta melakukan tes dengan beberapa tahap. Di antaranya melewati rintangan berbentuk U, kemudian  seperti angka 8 dan seterusnya.

Peserta diminta untuk mencoba tes lapangan sebanyak dua kali, kemudian baru akan dilakukan penilaian. Kalau lulus langsung direkomendasikan untuk proses berikutnya yakni foto dan proses scan sidik jari. Kemudian baru menunggu proses pencetakan kartu SIM, jika stok bahan material tersedia.

Untuk yang tidak lulus tes lapangan diberi kesempatan satu pekan lagi untuk datang mengikuti tes ulang. Dan peserta diberikan kesempatan satu kali lagi untuk melakukan tes praktik lapangan. Kalau lulus, peserta bisa mengikuti proses selanjutnya untuk mendapatkan SIM. Tetapi kalau tidak lulus harus mengulang lagi dari awal.

Di sinilah awal mulai kejanggalan itu terjadi, saat saya melihat tes praktik lapangan dengan model U. Banyak peserta saya lihat tidak berhasil karena lintasan yang menurut saya cukup sulit dilakukan karena sudutnya sempit. Di sela-sela pelaksanaan tes itu, saya mencoba menghampiri seseorang yang keluar dari kantor samsat dan sempat mengobrol sebentar.

Karena penasaran saya menanyakan beberapa hal. Mbak buat Sim apa? berap biayanya?. Jawabnya mbak-mbak tadi begini. “Buat Sim C mas,  Rp 400 ribu tinggal foto saja tidak usah repot, lagian kalau ikut tes kemungkinan lulusnya sangat kecil,”.

Mendengar jawaban si mbak tadi, batin saya bilang manteb sekali. Padahal kalau dilihat biaya normal hanya kisaran Rp 75-100 ribu dan itu dibayardi bank. Kemudian saya bertanya lagi, sendiri atau rombongan?. Jawabnya “40 orang mas dengan temen-temen satu kantor,” katanya.

Mendengar jawaban itu saya langsung "Wow keren". Kalau normalnya Rp 100.000, tapi kalau nembak Rp 400.000. Ada sisa Rp 300 ribu. Kalau dihitung-hitung 300000x40 = 12 juta. Itu yang sekilas saya ketahui, coba yang  tidak diketahui bisa jadi lebih dari itu. Ngeriii.....Berapa omzet per hari mungkin akan mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta per hari?.

 

Pembiaran Malpraktik Pembuatan SIM

Cerita di atas adalah sebuah cerita yang saya dasari dari sebuah kisah nyata dan saya alami sendiri. Kalau dalam penelitian akademis saya hanya melakukan wawancara tetapi tidak mendalam. Namun, dari wawancara itu saya mendapatkan informasi yang cukup untuk bisa mewakili dari aspek penelitian dengan menggunakan metode fenomenologi.

Kalau bicara mengenai apa yang salah tentu perlu ditelusuri lebih mendalam. Bisa jadi sistemnya, bisa sumber dayanya atau bisa juga yang lain. Saya juga pernah iseng-iseng mencoba tes praktik di lapangan sepeda motor. Bahwa saya sendiri menganggap sulit untuk melewati tes-tes itu, karena memang medan yang agak sulit. Diperlukan latihan berkali-kali baru bisa lolos.

Beberapa rintangan memang tidak mudah dilakukan. Rintangan itu kalau menurut saya lebih seperti freestyle dan saya meyakini medan seperti dalam tes praktik itu, tidak akan ditemui di jalan umum.Kalau saya amati dari peristiwa itu, ada beberapa hal yang menjadi catatan dan menjadi refleksi pihak-pihak terkait :
  1. Sistem mungkin saja tidak masalah karena saya meyakini bahwa telah dilakukan kajian yang mendalam.
  2. Adanya pembiaran yang dilakukan bahwa praktik "main tembak" terus menjadi budaya.
  3. Oknum yang sengaja bermain untuk mendapatkan keuntungan personal atau kelompok
  4. Edukasi yang kurang pada masyarakat
  5. Kurangnya kontrol atau pengawasan berbagai stakeholders, termasuk dari internal
Ini mungkin menjadi pemandangan yang bisa jadi sudah lama terjadi. Fenomena ini mungkin tidak hanya terjadi sekali dua atau kali. Mungkin bisa jadi ratusan hingga ribuan kali.Praktik-praktik ini tentu akan terus subur jika tidak ada upaya-upaya yang dilakukan secara baik. Di lokasi juga sudah ada imbauan bahkan tulisan “Hindari mengurus SIM melalui calo”. Tetapi selagi masih ada ruang untuk mendapatkan kemudahan dalam pembuatan SIM itu, serasa mustahil akan mendapatkan hasil optimal.Banyak hal yang selalu menjadi perhatian kita. Oknum petugas juga harus ditindak agar dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Masyarakat juga tidak kalah pentingnya untuk tidak membuat gampang, ada proses yang harus dilalui. Kedua aspek itu tentu menjadi hal utama dalam memicu terjadinya praktik korupsi pembuatan SIM. Semua pihak juga harus memiliki andil dan peduli, dan tidak bersikap cuek bahkan apriori tak mau pusing dan repot.Pertanyaannya adalah siapa yang akan peduli?. Mengapa harus repot-repot “ngurusin” hal seperti begini?. Sempat ada rekan saya bertanya, tidak usah pusing-pusing seperti kurang kerjaan saja.Jawaban saya sederhana, kalau semua orang tidak peduli hal-hal seperti itu, lantas siapa yang akan peduli?. Sampai kapan harus diam?.Sama saja kita membiarkan persoalan seperti ini. Di mana letak nurani kita untuk mengubah budaya ini menjadi lebih baik. Setidaknya ada pesan yang dibangun dari tulisan ini. Bisa saja sebagai pengingat untuk berbuat kebaikan selagi ada kemauan, kesempatan, dan ada waktu.Melakukan kebaikan ada banyak caranya. Selagi masih ada napas, melalui tulisan ini adalah ruang untuk melakukan sekelumit ikhtiar ke jalan yang benar. Amar makruf nahi munkar...Salam kebaikan. (*) *) Penulis adalah Pegiat Antikorupsi, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Baca Juga

Komentar

Terpopuler