Ia tidak hanya membawa rekam jejak yang jelas, tetapi juga gaya komunikasi yang lugas, berani dan tanpa basa-basi meski agak sedikit slengekan.
Sebelum menjadi nakhoda Kementerian Keuangan, Purbaya adalah sosok yang memiliki pengalaman luas, baik di sektor publik maupun swasta. Lulusan Teknik Elektro ITB yang kemudian mendalami ekonomi di Purdue University ini, pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Di sana, ia disebut mampu menjaga stabilitas sistem keuangan di masa-masa sulit. Kariernya yang beragam, dari Kantor Staf Presiden hingga sektor swasta, memberinya pemahaman yang komprehensif tentang dinamika ekonomi dan birokrasi.
Langkah ini bukan sekadar kebijakan moneter, tetapi juga sindiran telak bagi mereka yang bekecimpung di sana.
Ia secara terbuka mengkritik para direktur bank yang dinilainya "malas" dan enggan berpikir, karena lebih suka menyimpan dana di bank sentral ketimbang menyalurkannya ke sektor riil.
Sikapnya yang terang-terangan ini, termasuk saat menyinggung soal pemberantasan rokok ilegal sebelum menentukan arah kebijakan cukai rokok, menunjukkan adanya niat untuk membenahi sistem yang ia anggap bermasalah.
Di tengah berbagai sorotan terhadap menteri di Kabinet Merah Putih, sosok Purbaya Yudhi Sadewa muncul sebagai anomali yang bisa dibilang menyegarkan. Dengan gaya blak-blakan dan julukan "koboi" yang ia sematkan sendiri, Purbaya seolah menjadi oase di tengah keraguan publik.
Ia tidak hanya membawa rekam jejak yang jelas, tetapi juga gaya komunikasi yang lugas, berani dan tanpa basa-basi meski agak sedikit slengekan.
Sebelum menjadi nakhoda Kementerian Keuangan, Purbaya adalah sosok yang memiliki pengalaman luas, baik di sektor publik maupun swasta. Lulusan Teknik Elektro ITB yang kemudian mendalami ekonomi di Purdue University ini, pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Di sana, ia disebut mampu menjaga stabilitas sistem keuangan di masa-masa sulit. Kariernya yang beragam, dari Kantor Staf Presiden hingga sektor swasta, memberinya pemahaman yang komprehensif tentang dinamika ekonomi dan birokrasi.
Sebagai Menteri Keuangan, Purbaya tidak membuang waktu. Kebijakan awalnya langsung menarik perhatian: menginjeksi dana sebesar Rp 200 triliun ke lima bank BUMN (HIMBARA).
Langkah ini bukan sekadar kebijakan moneter, tetapi juga sindiran telak bagi mereka yang bekecimpung di sana.
Ia secara terbuka mengkritik para direktur bank yang dinilainya "malas" dan enggan berpikir, karena lebih suka menyimpan dana di bank sentral ketimbang menyalurkannya ke sektor riil.
Sikapnya yang terang-terangan ini, termasuk saat menyinggung soal pemberantasan rokok ilegal sebelum menentukan arah kebijakan cukai rokok, menunjukkan adanya niat untuk membenahi sistem yang ia anggap bermasalah.
Tak ada lagi permainan...
Ia seolah ingin berkata: "Tidak ada lagi permainan." Cara bicaranya yang langsung ke inti masalah, tanpa jargon politis yang bertele-tele, membuat masyarakat merasa ada harapan baru.
Meski demikian, terlepas dari gaya koboi Purbaya yang patut diapresiasi, ia harus berhati-hati. Keterbukaan dan kritik tajam memang penting, namun stabilitas birokrasi dan pasar juga menjadi pertimbangan.
Tantangan terbesarnya adalah menerjemahkan kata-kata berani menjadi kebijakan yang efektif dan berkelanjutan.
Purbaya harus memastikan dana Rp 200 triliun itu benar-benar tersalurkan ke sektor produktif dan tidak berakhir menjadi kredit macet.
Ia juga perlu membangun komunikasi yang lebih strategis dengan pihak-pihak terkait, termasuk para direktur bank BUMN yang ia kritik. Dialog yang konstruktif akan lebih efektif daripada sekadar teguran.
Pada akhirnya, Purbaya bisa jadi merupakan cermin dari kerinduan masyarakat akan pemimpin yang jujur dan apa adanya.
Kini, publik menanti apakah sang "koboi" ini benar-benar bisa menunggangi kudanya ke arah yang benar dan membawa perbaikan nyata, atau hanya sekadar koboi yang berteriak lantang di tengah padang pasir.