Insiden yang melibatkan suporter Persib Bandung dan PSIM Yogyakarta ini seolah menjadi pengingat pahit jika masalah klasik suporter masih jauh dari kata selesai. Bahkan setelah para rival sepakat untuk berdamai, nyatanya hal ini masih saja terjadi.
Kericuhan ini pun seolah menampar kebijakan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang melarang suporter tim tamu untuk melakukan away.
Secara teori, kebijakan ini bertujuan mencegah bentrokan. Kebijakan yang baik, apalagi setelah tragedi Kanjuruhan. Namun, pada kenyataannya, larangan ini dilihat kasat mata pun tidak efektif. Suporter tetap nekat datang ke kandang lawan.
Suporter rela datang tanpa menggunakan atribut klub, untuk mendukung tim kesayangannya.
Para pendukung dan penegak hukum juga seolah memaklumi logika bercelah ini. Kalau datang mengenakan atribut tim kebanggaannya, itu namanya suporter. Kalau tidak? Walau itu dari daerah tim asal, ya penonton biasa.
Hal ini menciptakan situasi yang jauh lebih berbahaya. Suporter yang datang secara "sembunyi-sembunyi" menjadi rentan dan mudah terprovokasi. Gesekan kecil di luar stadion bisa dengan cepat memicu keributan besar.
BRI Super League musim 2025/2026 baru saja dimulai. Namun insiden kericuhan suporter sudah terjadi saja. Insiden yang terjadi di Yogyakarta pada Minggu (24/8/2025) kembali mencoreng wajah sepak bola nasional.
Insiden yang melibatkan suporter Persib Bandung dan PSIM Yogyakarta ini seolah menjadi pengingat pahit jika masalah klasik suporter masih jauh dari kata selesai. Bahkan setelah para rival sepakat untuk berdamai, nyatanya hal ini masih saja terjadi.
Kericuhan ini pun seolah menampar kebijakan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang melarang suporter tim tamu untuk melakukan away.
Secara teori, kebijakan ini bertujuan mencegah bentrokan. Kebijakan yang baik, apalagi setelah tragedi Kanjuruhan. Namun, pada kenyataannya, larangan ini dilihat kasat mata pun tidak efektif. Suporter tetap nekat datang ke kandang lawan.
Suporter rela datang tanpa menggunakan atribut klub, untuk mendukung tim kesayangannya.
Para pendukung dan penegak hukum juga seolah memaklumi logika bercelah ini. Kalau datang mengenakan atribut tim kebanggaannya, itu namanya suporter. Kalau tidak? Walau itu dari daerah tim asal, ya penonton biasa.
Hal ini menciptakan situasi yang jauh lebih berbahaya. Suporter yang datang secara "sembunyi-sembunyi" menjadi rentan dan mudah terprovokasi. Gesekan kecil di luar stadion bisa dengan cepat memicu keributan besar.
Jangan lupakan Kanjuruhan...
PSSI perlu menyadari jika larangan saja tidak cukup. Mereka harus mencari solusi lain yang lebih relevan dan tidak merugikan. Baik untuk suporter, juga untuk manajemen tim dan panitia pelaksana.
Pecinta sepak bola tanah air juga tidak boleh lupa tragedi Kanjuruhan di Malang yang menewaskan ratusan jiwa. Yang hingga kini, kejelasan dan penegakan hukum terhadap kasus tersebut masih dipertanyakan.
Tragedi itu seharusnya menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi aparat dan federasi, tetapi juga bagi seluruh suporter.
Sudah saatnya PSSI bertindak lebih tegas dan proaktif. Kebijakan pelarangan suporter tamu harus dievaluasi total.
Solusi yang lebih bijak seperti pengawalan ketat, koordinasi antar kelompok suporter, atau bahkan penyediaan zona aman khusus bagi suporter tamu perlu dipertimbangkan.
Di sisi lain, suporter juga harus lebih dewasa dan mengutamakan sportivitas. Rivalitas di dalam lapangan, bukan di jalanan.
Tanpa kedewasaan suporter, sepak bola Indonesia akan terus berputar pada lingkaran setan kekerasan yang tidak ada habisnya.