Rabu, 19 November 2025

Siapa bilang jadi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) itu gampang? Siapa bilang, jadi petugas KPPS itu tinggal lihat kertas coblosan, corat-coret di rekapan lalu pulang selamat dengan gajian di tangan?

Menjadi seorang petugas KPPS itu layaknya menjalankan sebuah pekerjaan yang ekstrem. Berangkat pagi-pulang pagi, kerja lagi kalau tetiba ada saksi protes karena rekapannya tak sesuai ekspektasi. Kerja lagi, ribut lagi, sakit lagi.

Di media sosial sebelum Pemilu 2024 dilangsungkan, petugas KPPS disanjung bak pegawai negeri. Canda sana, canda sini, semua berkata KPPS kini hidupnya terjamin dan kerjanya lebih manusiawi.

Memang hanya parodi, namun cukup menutup tragedi Pemilu 2019 lalu. Tahun di mana semua tragedi bermuara. Ketika pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pemilu dilaksanakan serentak untuk pertama kalinya.

Data resmi KPU kala itu mencatat ada sebanyak 894 petugas KPPS yang meregang nyawa. KPU bilang penyebabnya sama, yakni kelelahan karena menjalankan pekerjaan ekstrem ini.

Kurang ekstrem apalagi?

Pemilu tahun 2024 ini pun demikian. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan per 19 Februari 2024 kemarin, sudah ada 90 lebih petugas KPPS yang meninggal dunia

Belum dengan adanya ribuan petugas KPPS yang jatuh sakit usai menjalankan tugas ekstremnya. Kementerian bilang saat ini untuk petugas KPPS yang jatuh sakit ada sebanyak 4.567 petugas. 11-12 seperti Pemilu 2019 yang mencapai 5.175 petugas.

Puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang harus terkena imbas dari sistem dan regulasi yang melahirkan pekerjaan ekstrem ini. Honor Rp 1,2 juta yang dibangga-banggakan di awal kini tak ada ajinya lagi. Mungkin, dalam diri KPPS saat ini, mereka hanya ingin sehat bugar kembali.

Mereka yang selamat dari pekerjaan ekstrem ini juga banyak yang mengaku kapok. Mereka enggan cawe-cawe lagi dengan segala bab-bab penyelenggaraan Pemilu.

Kalau sudah begini, bukankah sudah waktunya KPU untuk membenahi sistem demokrasi dengan modal triliunan ini? Kami masih percaya jika mereka yang berada di balik meja juga memikirkan nasib ujung tombak mereka.

KPPS dibekali dengan vitamin juga dijamin kesehatan dan keselamatan kerjanya dengan asuransi-asuransi pemerintah. Namun itu bukanlah sebuah solusi memutus rantai korban pekerjaan ekstrem ini.

Dengan modal Rp 71,3 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, KPU seharusnya bisa berbuat banyak untuk merombak sistem kerja KPPS. Atau setidaknya membuat kebijakan dan program yang sedikit lebih manusiawi.

Dari segi jumlah korban, turun drastis memang. Namun kalau masih ada korban jiwa, apa bedanya? Apakah harus mengucapkan Hamdallah karena jumlah petugas KPPS yang meninggal lebih sedikit dibanding Pemilu sebelumnya? Tentu tidak, karena itu adalah sebuah nyawa manusia.

KPU sepertinya butuh evaluasi total soal sistem Pemilu serentak. Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum harus segera diperbaiki untuk menghilangkan dampak dariĀ extream job ini.

Legislatif maupun eksekutif harus ikut cawe-cawe merumuskannya, karena berkaitan dengan rakyat dan konstituennya. KPU bisa saja mengembalikan sistem pemilu terpisah seperti penyelenggaraan Pemilu di bawah tahun 2019. Atau bisa juga menyusun skema Pemilu baru.

Jika di Indonesia ada tujuh pemilihan, yakni Pemilihan Presiden-Wakil Presiden, Pemilihan DPD RI, Pemilihan DPR-RI, Pemilihan DPRD Provinsi, Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Kepala Daerah, maka penyelenggaraanya bisa dibagi-bagi.

Pemilihan Pilpres dengan DPD dan DPR RI, selanjutnya Pemilihan DPRD Provinsi dengan DPRD Kota dan yang terakhir Pemilihan Gubernur dan Kepala Daerah.

Atau, jika tidak mau membutuhkan waktu yang lama, Pemerintah dan KPU wajib membuat sistem yang super canggih untuk memanajemen sistem pemilu di Indonesia.

Penghematan anggaran bukanlah sebuah alasan. Nyatanya juga sama saja, triliunan duit negara habis untuk penyelenggaran demokrasi ini. Alih-alih menghemat anggaran pelaksanaan, malah yang ada lebih boncos karena nyawa manusia jadi mahar penggantinya.(*)

Komentar

Terpopuler