Minggu, 3 Desember 2023

Pendidikan Sebagai Gerbang Toleransi

Murianews
Sabtu, 14 Januari 2023 08:47:09
ILUSTRASI
[caption id="attachment_182320" align="alignleft" width="150"] Hamam Fitriana *)[/caption]

KASUS viral warga dilarang menjalankan ritus Natal di Cilebut Bogor (25/12/2022) mencederai KBB (Kerukunan Beragama dan Berkeyakinan) dalam bernegara. Padahal konstitusi dalam bernegara secara eksplisit menjamin hak-hak tiap warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Pelanggaran yang acap kali terjadi pada hari perayaan bagi warga minoritas di Indonesia. Para pengamat HAM, hukum, dan kemanusiaan jauh-jauh hari sudah mengkode para pemangku kekuasaan untuk melakukan tindakan preventif dan tegas terhadap segala entitas pelanggaran yang diskriminatif pada warga minoritas yang menjalankan ritus agama dan keyakinan di hari-hari sakral mereka.

Spektrum narasi beragama dan berkeyakinan bagi masyarakat minoritas yang terasa sikular ini, masih menjadi perbincangan hangat di pelbagai belahan dunia. Isu mengenai beragama dan berkeyakinan di Indonesia sangatlah sensitif dibicarakan dari pada isu etnis, budaya, bahasa, atau warna kulit yang relatif lebih bisa diterima. Sehingga pemangku kekuasaan perlu hadir untuk melindungi, menghormati dan memfasilitasi hak-hak warga negara.

Pada dasarnya, melalui pendekatan politis dengan melakukan meditasi konflik dan pidana bagi pelanggar konstitusi acapkali dirasa usai. Tapi preseden buruk ihwal KBB di negeri ini tak kunjung usai dan bahkan meningkat di tahun-tahun tertentu.

Infrensi dari kacamata penulis, pendekatan politis hanyalah entitas panyelesaian parsial dan masih membutuhkan altefnatif-alternatif jawaban liyan, salah satunya dengan pendekatan pendidikan.

Naik Level

Narasi menghidupkan toleransi dengan pendekatan pendidikan memang sudah tidak asing, terutama bagi pegiat pendidikan. Adanya kurikulum Merdeka, tentunya memberikan secercah harap terhadap pengelolaan keberagaman peserta didik.

Keberagaman atau kebhinekaan sangat kaya akan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas. Kedua nilai luhur tersebut, secara historis telah melahirkan Pancasila yang menjadi dasar filosofis pendidikan di Indonesia.

Pancasila inilah yang kemudian menjadi landasan terciptanya profil pelajar pancasila pada Kurikulum Merdeka. Ada enam dimensi profil pelajar pancasila. Pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Kedua, berkhebinikaan global. Ketiga, gotong royong. Keempat, Mandiri. Kelima, Bernalar kritis. Keenam, Kreatif. Keenam dimensi tersebut diharapkan akan memberikan ruang pada peserta didik untuk mengelola kebhinikaan khas Indonesia yang toleran.

Kebhinekaan merupakan kekuatan bangsa ini yang perlu dijadikan rumah bersama. Menjaga dan merawat kebhinekaan merupakan entitas rasa syukur kita pada Yang Maha Esa. Agar hal tersebut lestari, maka infestasi pada ranah pendidikan perlu diperhatikan. Artinya adanya urgensi pendidikan sebagai gerbang pertama untuk mencegah tindakan-tindakan yang mencidrai kebhinikaan.

Pendidikan yang seharusnya menjadi rumah toleransi dalam menjaga kebhinikaan kadang tercederai oleh orang yang seharusnya mengajarakan dan mencontohkan sikap toleran.

Seperti kasus di SD Negeri 2 Jakarta (April 2022) yang pengurus sekolah mewajibkan peserta didiknya memakai busana muslim padahal ada siswa yang beragama non-Islam. Pada Juli 2022 di SD Negeri Cilangkap Jakarta Timur, terdapat non-Islam yang dipaksa mengikuti kegiatan Islam seperti menyapa, pengajian di musala dan berdoa saat pulang. Fakta adanya kasus yang mendiskriminasikan agama lain yang dilakukan oleh pendidik tentunya tidak boleh terulang di kemudian hari.

Urgensi pemberian bekal pengetahuan dan pemahaman di tataran pendidik ihwal toleransi dan menghidupkannya di lingkungan sekolah. Secara ekslusif pendidik juga secara intens wajib membekali pesrta didik untuk berlaku toleran terhadap yang lain.

Pendidik sebagai ujung tombak pendidikan sekiranya juga paham betul indikasi-indikasi perilaku yang mengarah pada intoleransi di lingkungan sekolah. Perilaku perundungan, seksis, body shaming acapkali terjadi di dunia.  Perilaku negatif tersebut acapkali terjadi karena ada perbedaan antarmurid yang tentunya hal ini akan berujung pada perilaku intoleran.

Jika peserta didik pada tataran toleransi saja tidak bisa, maka mereka akan jatuh pada perilaku intolerans. Padahal toleransi adalah anak tangga pertama untuk mencapai inklusifitas, sedangkan intoleransi sebagai anak tengga pertama terjadinya terorisme. Dari perspektif ilmu sosial, toleransi merupakan nilai level terendah dalam kebhinikaan. Pada level ini, peserta didik hanya menerima keragaman secara pasif sehingga masih rawan konflik.

Agar konflik tidak terjadi, peserta didik harus diberi bekal pada level selanjutnya yakni mutual understanding. Artinya murid tidak hanya menghargai dan mengizinkan akan keragaman tapi juga berusaha secara aktif saling memahami dengan mencari persamaan-persamaan pada perbedaan, sehingga selanjutnya nanti peserta didik diharapkan dapat bersama-sama untuk berkarya, berinovasi dan memberikan makna pada kehidupan. Pada kerjasama ini dikenal sebagai prokreasi. Pada level tertinggi inilah (prokreasi) seharusnya sudah menjadi habit di keseharian peserta didik.

Peserta didik perlu sekiranya tidak berhenti pada level toleransi tapi perlu naik lavel tertinggi, prokreasi. Agar fenomena konflik karena keragaman yang selalu menguras keringat dan waktu dalam hidup bernegara tidak terus terulang. Dengan begitu, kita akan sibuk dengan hal-hal produktif yang akan membawa kemajuan bangsa Indonesia. (*)

 

*Mahasiswa PPL PPG Prajabatan UNNES

Komentar