Menanyakan Keberadaan Madrasah Bagi Difabel

Murianews
Selasa, 15 September 2020 14:34:20


[caption id="attachment_189443" align="alignleft" width="150"]
Moh Rosyid *)[/caption]
DATA Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikmas, Paud, dan Dikdasmen) Kemendikbud RI tahun 2019, ada 1,6 juta anak berkebutuhan khusus (difabel/cacat) yang terdata (diduga banyak yang belum terdata).
Jumlah tersebut baru 247.691 anak yang disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan/atau sekolah inklusi (anak cacat yang sekolah di sekolah nonSLB). Secara nasional ada 2.254 SLB dan 29.315 sekolah inklusi, dengan jumlah siswa difabel 142.760 siswa.
Tapi, masih ada 60 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Dari jumlah itu, 41 di antaranya atau sekitar 60,29 persen di daerah terpencil.
Fakta yang harus dipahami, anak difabel tidak sekolah karena rendahnya ekonomi orang tuanya yang membutuhkan dana lain misal antaran pergi-pulang ke sekolah karena keberadaan SLB tidak selalu di dekat rumahnya. Antaran tersebut meski usia anak sudah dewasa secara nominal.
Ada pula akibat orangtua malu memiliki anak difabel sehingga 'dikarantina'. Padahal, peran utama SLB bagi anak difabel adalah media bersosialisasi, menumbuhkan sikap percaya diri, dan meningkatkan potensi diri. Jumlah SLB kini identik dengan lembaga negeri. Dan sekolah, maksudnya peran lembaga swasta dan madrasah masih nihil karena secara komersial tidak profit.
Di mana Madrasah Bagi Difabel?
Data di atas dikelola oleh Kemendikbud RI, bagaimana dengan data di Kementerian Agama RI yang juga melayani pendidikan madrasah?.
Pertanyaan lain, mengapa keberadaan Madrasah Luar Biasa (MLB) menjadi hal langka, baik yang dikelola Kementerian Agama dan swasta ?.
Pertama, kesadaran untuk memuliakan yang lemah, dloif, dan tak berdaya (anak difabel) perlu ditingkatkan dengan dalih sesama makhluk Tuhan diberi hak yang sama.
Kedua, selama ini hanya fokus pada pihak yang jumlahnya besar (anak nondifabel) sehingga perlu alih paradigma bahwa yang difabel dengan jumlah sedikit pun berhak dilayani hak dasarnya di bidang pendidikan. Agama (apa pun) mengajarkan untuk menghormati difabel.
Bila madrasah untuk anak difabel belum ada, maka rendahnya kepedulian pemerintah pada difabel menjadi fakta yang tak terbantahkan, meski menggunakan nama Kementrian Agama.
Padahal, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 (1) menyebutkan jika pemerintah dan pemda wajib memberikan layanan dan kemudahan, menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa diskriminasi.
Semoga menyongsong tahun anggaran 2021, diprogramkan peduli pada anak difabel di bidang pendidikan formal dengan bendera madrasah. Nuwun. (*)
*) Penulis dosen IAIN Kudus

DATA Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikmas, Paud, dan Dikdasmen) Kemendikbud RI tahun 2019, ada 1,6 juta anak berkebutuhan khusus (difabel/cacat) yang terdata (diduga banyak yang belum terdata).
Jumlah tersebut baru 247.691 anak yang disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan/atau sekolah inklusi (anak cacat yang sekolah di sekolah nonSLB). Secara nasional ada 2.254 SLB dan 29.315 sekolah inklusi, dengan jumlah siswa difabel 142.760 siswa.
Tapi, masih ada 60 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Dari jumlah itu, 41 di antaranya atau sekitar 60,29 persen di daerah terpencil.
Fakta yang harus dipahami, anak difabel tidak sekolah karena rendahnya ekonomi orang tuanya yang membutuhkan dana lain misal antaran pergi-pulang ke sekolah karena keberadaan SLB tidak selalu di dekat rumahnya. Antaran tersebut meski usia anak sudah dewasa secara nominal.
Ada pula akibat orangtua malu memiliki anak difabel sehingga 'dikarantina'. Padahal, peran utama SLB bagi anak difabel adalah media bersosialisasi, menumbuhkan sikap percaya diri, dan meningkatkan potensi diri. Jumlah SLB kini identik dengan lembaga negeri. Dan sekolah, maksudnya peran lembaga swasta dan madrasah masih nihil karena secara komersial tidak profit.
Di mana Madrasah Bagi Difabel?
Data di atas dikelola oleh Kemendikbud RI, bagaimana dengan data di Kementerian Agama RI yang juga melayani pendidikan madrasah?.
Pertanyaan lain, mengapa keberadaan Madrasah Luar Biasa (MLB) menjadi hal langka, baik yang dikelola Kementerian Agama dan swasta ?.
Pertama, kesadaran untuk memuliakan yang lemah, dloif, dan tak berdaya (anak difabel) perlu ditingkatkan dengan dalih sesama makhluk Tuhan diberi hak yang sama.
Kedua, selama ini hanya fokus pada pihak yang jumlahnya besar (anak nondifabel) sehingga perlu alih paradigma bahwa yang difabel dengan jumlah sedikit pun berhak dilayani hak dasarnya di bidang pendidikan. Agama (apa pun) mengajarkan untuk menghormati difabel.
Bila madrasah untuk anak difabel belum ada, maka rendahnya kepedulian pemerintah pada difabel menjadi fakta yang tak terbantahkan, meski menggunakan nama Kementrian Agama.
Padahal, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 (1) menyebutkan jika pemerintah dan pemda wajib memberikan layanan dan kemudahan, menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa diskriminasi.
Semoga menyongsong tahun anggaran 2021, diprogramkan peduli pada anak difabel di bidang pendidikan formal dengan bendera madrasah. Nuwun. (*)
*) Penulis dosen IAIN Kudus