Kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi sekadar kasus individual, tapi ini menjadi ancaman kebebasan pers yang sistemik pada kerja-kerja jurnalistik.
Upaya teror dan menghambat kebebasan pers ini bahkan sangat sering menimpa pada media-media online.
Beberapa media telah mengalami serangan DDoS ini. Beberapa bulan lalu ketika Murianews.com menggelar polling online terkait Pilkada 2024 di wilayah Muria Raya, serangan DDoS juga menghantam.
Apa tujuan serangan ini, masyarakat sudah bisa menyimpulkan. Menghalang-halangi kebebasan pers.
Upaya-upaya untuk memberangus kebebasan pers ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Jangan sampai kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan teror terhadap media hilang begitu saja.
Jika sampai itu terjadi pelaku teror akan merasa aman, sehingga kasus serupa akan terus berulang di kemudian hari dan membahayakan kebebasan pers, dan kebebasan masyarakat dalam mendapatkan informasi. (*)
AKSI teror, apapun bentuknya dan siapapun sasarannya tidak bisa dibenarkan. Teror adalah aksi pengecut yang patut dikutuk.
Peristiwa teror yang menimpa Kantor Redaksi Tempo menunjukkan jika masih banyak pihak yang belum dewasa dalam menyikapi kritik dan pemberitaan media.
Indeks Keselamatan Jurnalis pada 2024 menurut Yayasan TIFA memang menunjukkan skor yang naik.
Skornya berada di angka 60,5 atau masuk kategori ”agak terlindungi”. Skor ini naik 0,7 poin dibandingkan tahun 2023.
Meski skor Indeks Keselamatan Jurnalis meningkat, hasil riset itu menyebut jika mayoritas jurnalis justru merasa cemas terhadap kebebasan pers.
Riset yang digarap bersama lembaga survei Populix, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG) ini mencatat peningkatan ancaman terhadap jurnalis, termasuk intimidasi, serangan fisik, dan bahkan doxing.
Hal ini pun terlihat dari aksi teror yang melanda insan pers, hingga institusi pers seperti yang dialami Tempo. Dalam satu pekan kantor media massa itu dikirim dua bangkai binatang.
Yang pertama kepala babi yang telinganya terpotong. Selang dua hari kemudian, enam bangkai tikus tanpa kepala dikirim sebagai teror.
Kekerasan terhadap jurnalis...
Kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi sekadar kasus individual, tapi ini menjadi ancaman kebebasan pers yang sistemik pada kerja-kerja jurnalistik.
Upaya teror dan menghambat kebebasan pers ini bahkan sangat sering menimpa pada media-media online.
Serangan DDoS (Distributed Denial of Service) menjadi ancaman digital yang nyata. Yang semakin membayangi kebebasan pers, terutama terhadap media yang kritis.
Beberapa media telah mengalami serangan DDoS ini. Beberapa bulan lalu ketika Murianews.com menggelar polling online terkait Pilkada 2024 di wilayah Muria Raya, serangan DDoS juga menghantam.
Apa tujuan serangan ini, masyarakat sudah bisa menyimpulkan. Menghalang-halangi kebebasan pers.
Upaya-upaya untuk memberangus kebebasan pers ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Di dalam kasus Tempo, Dewan Pers dan Komite Keselamatan Jurnalis telah mengeluarkan desakan agar peristiwa ini segera diusut tuntas. Dan memang seharusnya pihak aparat tidak boleh tutup mata.
Jangan sampai kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan teror terhadap media hilang begitu saja.
Jika sampai itu terjadi pelaku teror akan merasa aman, sehingga kasus serupa akan terus berulang di kemudian hari dan membahayakan kebebasan pers, dan kebebasan masyarakat dalam mendapatkan informasi. (*)