Batal Beli Kucing dalam Karung
Ali Muntoha
Senin, 19 Juni 2023 06:00:40
BELI kucing secara langsung saja, bisa jadi dapatnya kucing penyakitan. Apalagi kalau beli kucing dalam karung, bisa-bisa dapatnya rabies.
Ini celetukan seorang kawan. Usai menyaksikan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) melalui ponselnya, Kamis (15/6/2023) tempo hari. Ia mengaku cukup lega, tak jadi ”beli kucing dalam karung” pada pemilu mendatang.
Dalam sidang itu, hakim Konstitusi memang memutuskan menolak gugatan sistem pemilu proporsional terbuka. Putusan MK ini seolah menjadi klimaks hiruk pikuk keributan, kegaduhan, dan kekhawatiran pemilu akan dikembalikan ke sistem tertutup. Hanya coblos gambar parpol.
Pihak-pihak yang pro dengan sistem pemilu tertutup selama ini beralasan jika pemilu proporsional terbuka menjadi pemicu maraknya kasus korupsi dan politik uang.
Ealah...namanya kucing. Tak perlu dibuka atau ditutup, asal mencium bau amis syahwat ”nyolongnya" pun akan membabi-buta.
Entah pemilu dilakukan secara tertutup atau terbuka, jika jiwa ”nyolong" ini masih ada maka praktik-praktik korupsi tetap saja ada.
Tak bisa dijamin, praktik politik uang akan sirna ketika pemilu dikembalikan menjadi proporsional tertutup. Justru potensi penyebaran ”uang nakal" itu akan semakin berputar pada komunitas-komunitas tertentu.
Maka benar ketika Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menyebut sistem pemilu apapun punya potensi terjadi politik uang.
”Berkenaan dengan dalil
a quo Mahkamah berpendapat pilihan terhadap sistem pemilihan umum apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang (money politics)," ujar Saldi dalam sidang putusan MK, Kamis lalu.Yang paling penting menurut Saldi adalah mitigasi praktik politik uang dalam pemilu. Parpol dan caleg harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi. Dan bahkan harus sama sekali tidak terjebak dalam politik uang dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.Penegakan hukum juga harus tegas. Biar ada efek jera. Tidak hanya pada pemberi, tapi juga penerima. Tak boleh pandang bulu.Hakim Konstitusi Arief Hidayat memang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut. Namun ia tetap menganggap sistem pemilu proporsional tertutup bukan solusi tepat, karena berpotensi membeli kucing dalam karung.”Mengusung sistem pemilu proporsional tertutup seperti yang dimintakan pemohon bukanlah solusi yang tepat karena berpotensi membeli kucing dalam karung dan hanya memindahkan perilaku politik transaksional antara calon anggota legislatif," ujarnya.Ia pun mengusulkan agar sistem pemilu digelar dengan proprosional terbuka namun terbatas dan dilaksanakan pada Pemilu 2029 mendatang.Memang, biaya pelaksaan pemilu akan bisa ditekan jika pemilu dilaksanakan dengan sistem porposional tertutup. Namun tetap saja tak menjamin jika pemilu tertutup juga bisa menutup peluang politik uang.Jika yang dikhawatirkan adalah para wakil rakyat hasil pemilu terbuka ini merupakan orang karbitan, tak berkualitas, tukang tidur dan lainnya. Ini seharusnya bisa selesai di tingkat partai. Saat penjaringan caleg dimulai. Atau bahkan jauh-jauh sebelumnya.Jika partai politik melakukan fungsinya sebagai lembaga pendidikan politik yang baik, tentu masalah-masalah di atas bisa diminimalisir. Apalagi...mereka dapat dana dari pemerintah untuk ini. (*)
[caption id="attachment_110938" align="alignleft" width="150"]

Ali Muntoha
[email protected][/caption]
BELI kucing secara langsung saja, bisa jadi dapatnya kucing penyakitan. Apalagi kalau beli kucing dalam karung, bisa-bisa dapatnya rabies.
Ini celetukan seorang kawan. Usai menyaksikan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) melalui ponselnya, Kamis (15/6/2023) tempo hari. Ia mengaku cukup lega, tak jadi ”beli kucing dalam karung” pada pemilu mendatang.
Dalam sidang itu, hakim Konstitusi memang memutuskan menolak gugatan sistem pemilu proporsional terbuka. Putusan MK ini seolah menjadi klimaks hiruk pikuk keributan, kegaduhan, dan kekhawatiran pemilu akan dikembalikan ke sistem tertutup. Hanya coblos gambar parpol.
Pihak-pihak yang pro dengan sistem pemilu tertutup selama ini beralasan jika pemilu proporsional terbuka menjadi pemicu maraknya kasus korupsi dan politik uang.
Ealah...namanya kucing. Tak perlu dibuka atau ditutup, asal mencium bau amis syahwat ”nyolongnya" pun akan membabi-buta.
Entah pemilu dilakukan secara tertutup atau terbuka, jika jiwa ”nyolong" ini masih ada maka praktik-praktik korupsi tetap saja ada.
Tak bisa dijamin, praktik politik uang akan sirna ketika pemilu dikembalikan menjadi proporsional tertutup. Justru potensi penyebaran ”uang nakal" itu akan semakin berputar pada komunitas-komunitas tertentu.
Maka benar ketika Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menyebut sistem pemilu apapun punya potensi terjadi politik uang.
”Berkenaan dengan dalil
a quo Mahkamah berpendapat pilihan terhadap sistem pemilihan umum apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang (money politics)," ujar Saldi dalam sidang putusan MK, Kamis lalu.
Yang paling penting menurut Saldi adalah mitigasi praktik politik uang dalam pemilu. Parpol dan caleg harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi. Dan bahkan harus sama sekali tidak terjebak dalam politik uang dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Penegakan hukum juga harus tegas. Biar ada efek jera. Tidak hanya pada pemberi, tapi juga penerima. Tak boleh pandang bulu.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat memang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut. Namun ia tetap menganggap sistem pemilu proporsional tertutup bukan solusi tepat, karena berpotensi membeli kucing dalam karung.
”Mengusung sistem pemilu proporsional tertutup seperti yang dimintakan pemohon bukanlah solusi yang tepat karena berpotensi membeli kucing dalam karung dan hanya memindahkan perilaku politik transaksional antara calon anggota legislatif," ujarnya.
Ia pun mengusulkan agar sistem pemilu digelar dengan proprosional terbuka namun terbatas dan dilaksanakan pada Pemilu 2029 mendatang.
Memang, biaya pelaksaan pemilu akan bisa ditekan jika pemilu dilaksanakan dengan sistem porposional tertutup. Namun tetap saja tak menjamin jika pemilu tertutup juga bisa menutup peluang politik uang.
Jika yang dikhawatirkan adalah para wakil rakyat hasil pemilu terbuka ini merupakan orang karbitan, tak berkualitas, tukang tidur dan lainnya. Ini seharusnya bisa selesai di tingkat partai. Saat penjaringan caleg dimulai. Atau bahkan jauh-jauh sebelumnya.
Jika partai politik melakukan fungsinya sebagai lembaga pendidikan politik yang baik, tentu masalah-masalah di atas bisa diminimalisir. Apalagi...mereka dapat dana dari pemerintah untuk ini. (*)