DANDANGAN tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Tradisi yang satu ini selalu dinantikan oleh warga Kabupaten Kudus dan sekitarnya.
Berdasarkan sejarahnya, Dandangan ini memang sudah ada sejak zaman Sunan Kudus, Syech Ja’far Shodiq. Saat itu, Dandangan dijadikan penanda datangnya bulan Ramadan atau Puasa.
Para santri yang enggan terlewatkan salat tarawih dan puasa di hari pertama memilih meluangkan waktu untuk berkumpul di depan Masjid Menara (Masjid Al Aqsha). Mereka menunggu pengumuman datangnya bulan puasa dari Sunan Kudus.
Kala itu, Sunan Kudus memiliki perhitungan untuk menentukan awal Ramadan. Sebagai santri, mereka yang datang pun sami’na waatho’na terhadap guru dan panutan mereka sambil belajar penentuan awal Ramadan.
Setelah didapatkan, awal 1 Ramadan diumumkan dengan pemukulan bedug Menara Kudus yang bunyinya dang dang dang. Nah, dari sini lah nama Dandangan tercetus.
Nama Dandangan ini mulai dikenal masyarakat luas setelah santri dari berbagai pelosok negeri melanjutkan tradisi berkumpul tersebut. Bahkan, tradisi ini diikuti masyarakat umum hingga membuat nama Dandangan makin mengakar di kalangan umum.
Hasilnya, setiap menjelang 1 Ramadan, kawasan Menara Kudus selalu dipenuhi dengan orang.
Konon katanya, keramaian ini membuat orang-orang Kudus mencoba peruntungan. Mereka pun mencoba berdagang yang dimulai dari minuman dan makanan. Ternyata, dagangannya laris.
Peluang dagang itupun makin bertambah Ketika melihat orang yang berkumpul mengajak anak istri. Di sinilah tercetus ide untuk berjualan mainan atau dolanan. Hal ini terlihat dari mainan kereweng yang selalu ada saat Dandangan.
Faktor ini lah yang diduga mencetuskan persepsi warga Kudus itu orangnya bagus, suka ngaji, dan berdagang. Atau Gusjigang.
Meski sudah puluhan bahkan ratusan tahun berlalu, tradisi Dandangan ini masih ada hingga sekarang. Dari tahun ke tahun Dandangan selalu berusaha dibuat semakin baik. Khususnya dalam hal perdagangannya.
Entah dimulai dari kapan, pedagang ini sudah diatur masanya. Biasanya, mereka mulai ditata di tempat strategis yang dimulai dari 10 hari sebelum hari H (awal Ramadan). Apiknya, jumlah pedagang Dandangan ini juga mengakomodir pedagang dari luar daerah hingga dikenal sebagai pasar Dandangan.
Dari sini terlihat jelas Dandangan merupakan tradisi yang tak bisa ditinggalkan. Hubungannya bukan terkait hukum bid’ah, makruh, atau bahkan haram.
Kebanyakan orang yang tidak tahu sejarahnya, menilai Dandangan adalah salah satu tradisi untuk memanjakan diri dengan berfoya-foya sebelum Ramadan tiba. Apalagi, ada pasar Dandangan yang serupa dengan pasar malam.
Barang dagangan yang dijual pun beragam. Banyak permainan dan orang yang datang juga tidak hanya umat islam. Dari sini, orang yang tak tahu asal usul Dandangan menilai Dandangan itu bid’ah dan haram.
Terlepas dari hukum sepihak tersebut, diakui atau tidak Dandangan ini membuka peluang usaha masyarakat sekitar. Pedagang bisa mendapat income dari mencoba peruntungan pengunjung Dandangan.
Pekerjaan rumah atu PR-nya adalah menata sedemikian rupa pedagang supaya bisa dinikmati pengunjung. Selain itu juga tidak membuat pengguna jalan merugi.
Hal itu tak bisa dilakukan sepihak. Butuh sponsor dari pihak swasta lebih banyak supaya Dandangan makin dilirik banyak investor dan bisa membuat Dandangan sebagai investasi ekonomi menjanjikan yang datang setahun sekali.
Selain itu, peran pemerintah dan stakeholder Pemkab Kudus juga diharap bisa lebih maksimal, kompak, dan menjaga komitmen. Dengan begitu Dandangan bisa diteruskan sebagai tradisi yang kita wariskan untuk anak cucu.
Nah, yuk kita ke Dandangan...(*)