Beralih Fungsi, RTH di Kudus Jadi Jujugan Muda-mudi Memadu Kasih
Supriyadi
Senin, 10 April 2017 11:52:38
BARU-BARU ini masyarakat Kabupaten Kudus kembali disuguhkan dengan berita yang tak sedap. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yakni Balai Jagong yang berada di kompleks pusat olahraga (sebelah selatan Stadion Wergu Kudus) menjadi jujugan muda-mudi bermesraan.
Ironisnya, muda-mudi yang bermesraan itu tak hanya satu. Jumlahnya ada banyak dan tersebar di beberapa titik. Mereka seolah-olah sudah terbiasa dan tak lagi memiliki urat malu dengan mengumbar kemesraan di tempat umum. Baik itu siang hari ataupun malam hari.
Pihak dinas bukannya tak tahu masalah tersebut. Kabid Olahraga pada Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kudus Harjuno bahkan sudah sering kali mendapatkan laporan akan penyalahgunaan Balai Jagong.
Hanya saja, ia tak bisa melakukan tindakan banyak. Pemantuan dan pengawasan penyalahgunaan RTH tak bisa dilakukan sendirian. Ia pun butuh bantuan dari berbagai pihak, temasuk warga setempat.
Di sisi lain, penyalahgunaan RTH di Kudus ternyata bukan pertama kali. Di 2016 lalu, sejumlah taman termasuk Taman Ganesha yang berada di Desa Purwosari juga menjadi jujugan pelajar untuk membolos, mabuk-mabukan, hingga jadi tempat pacaran.
Kala itu, sejumlah masyarakat pun melakukan aduan. Akhirnya pihak Satpol PP melakukan razia dan penertiban. Hal itu bahkan sudah dilakukan berkali-kali (
Taman Jadi Tempat Bolos dan Mabuk, Satpol PP Kudus Rutinkan Razia di Taman Kota)
Meski begitu, petugas dan pelajar malah kucing-kucingan. Mereka saling memantau. Jika petugas lengah, mereka kembali memanfaatkan taman untuk melakukan hal-hal negatif.
Melihat hal itu, petugas pun tak bisa disalahkan. Pihak pengelola taman juga harus melakukan evaluasi. Diakui atau tidak, kebanyakan taman ataupun RTH yang jadi jujugan untuk melakukan tindakan amoral juga tak lepas dari minimnya penerangan.
Kondisi taman yang gelap membuat muda-mudi merasa mendapatkan lampu hijau. Meski niatan bermesraan ataupun mabuk-mabukan minim, namun kondisi itu membuat mereka berani. Apalagi, banyaknya taman yang ada di Kudus seolah-olah memberikan banyak pilihan.
Dilihat dari sini, sudah saatnya konsep taman sebagai RTH diperjelas. Tak boleh lagi ada taman dengan nuansa lampu redup (remang-remang). Selain itu, pihak pengelola harus bekerjasama dengan dinas dan pemerintah desa terkait untuk menambah petugas, minimal petugas parkir.Dengan taman yang terang dan petugas parkir yang berjaga, sudah pasti muda-mudi tak berani macam-macam.Peran Serta Keluarga dan Masyarakat Dibutuhkan.Meski begitu, menseterilkan RTH dari penyalahgunaan muda-mudi tidak semudah membalikkan tangan. Peran serta keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan.Kedua orangtua juga harus memperhatikan gerak-gerik sang anak. Puberitas yang sedang dialami anak juga harus diarahkan secara benar. Jika sedang jalan-jalan bersama lawan jenis, pihak keluarga juga harus melakukan pemantauan.Pemantauan ini tak harus ikut ke mana sang anak pergi. Tapi lebih ditekankan pada berani bercerita tentang apa yang dilakukan selama pergi. Dari situ, orangtua harus bisa menjadi teman. Hal ini penting dilakukan supaya sang anak tidak keluar dari koridor yang ditentukan.Selain itu, para orang tua juga harus tahu siapa saja teman bergaul sang anak. Dengan begitu, kedekatan bisa dijalankan.Selain keluarga, masyarakat juga memiliki peran penting. Terutama dalam pengawasan keberadaan RTH. Diakui atau tidak, pemerintah memang sedang gencar membangun taman, namun perawatan dan pengawasannya sangat lemah.Di sini, masyarakat harus tanggap untuk saling menjaga kondisi dan suasana di lapangan. Jika dibutuhkan, pihak desa melalui karang taruna bisa mengajukan kerjasama dalam hal pengawasan. Misalkan saja melalui parkir, keamanan, hingga kebersihan.Melalui kerjasama yang bagus, alasan klasik yang selalu dipakai dinas (terbatasnya SDM) bisa teratasi. Hanya saja, kerjasama harus diatur dengan jelas. Bisa jadi, hasil parker dimasukkan semua ke desa ataupun dibagi berdasarkan persentase yang saling menguntungkan.Hasil dari pembagian tersebut bisa digunakan untuk menggaji petugas. Sisanya dimasukkan ke kas sebagai tambahan PAD. Dengan begitu, masyarakat terlibat secara langsung dan pemerintah bisa menjaga citra RTH yang ada. (*)
[caption id="attachment_111829" align="alignleft" width="150"]
Supriyadi [email protected][/caption]
BARU-BARU ini masyarakat Kabupaten Kudus kembali disuguhkan dengan berita yang tak sedap. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yakni Balai Jagong yang berada di kompleks pusat olahraga (sebelah selatan Stadion Wergu Kudus) menjadi jujugan muda-mudi bermesraan.
Ironisnya, muda-mudi yang bermesraan itu tak hanya satu. Jumlahnya ada banyak dan tersebar di beberapa titik. Mereka seolah-olah sudah terbiasa dan tak lagi memiliki urat malu dengan mengumbar kemesraan di tempat umum. Baik itu siang hari ataupun malam hari.
Pihak dinas bukannya tak tahu masalah tersebut. Kabid Olahraga pada Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kudus Harjuno bahkan sudah sering kali mendapatkan laporan akan penyalahgunaan Balai Jagong.
Hanya saja, ia tak bisa melakukan tindakan banyak. Pemantuan dan pengawasan penyalahgunaan RTH tak bisa dilakukan sendirian. Ia pun butuh bantuan dari berbagai pihak, temasuk warga setempat.
Di sisi lain, penyalahgunaan RTH di Kudus ternyata bukan pertama kali. Di 2016 lalu, sejumlah taman termasuk Taman Ganesha yang berada di Desa Purwosari juga menjadi jujugan pelajar untuk membolos, mabuk-mabukan, hingga jadi tempat pacaran.
Kala itu, sejumlah masyarakat pun melakukan aduan. Akhirnya pihak Satpol PP melakukan razia dan penertiban. Hal itu bahkan sudah dilakukan berkali-kali (
Taman Jadi Tempat Bolos dan Mabuk, Satpol PP Kudus Rutinkan Razia di Taman Kota)
Meski begitu, petugas dan pelajar malah kucing-kucingan. Mereka saling memantau. Jika petugas lengah, mereka kembali memanfaatkan taman untuk melakukan hal-hal negatif.
Melihat hal itu, petugas pun tak bisa disalahkan. Pihak pengelola taman juga harus melakukan evaluasi. Diakui atau tidak, kebanyakan taman ataupun RTH yang jadi jujugan untuk melakukan tindakan amoral juga tak lepas dari minimnya penerangan.
Kondisi taman yang gelap membuat muda-mudi merasa mendapatkan lampu hijau. Meski niatan bermesraan ataupun mabuk-mabukan minim, namun kondisi itu membuat mereka berani. Apalagi, banyaknya taman yang ada di Kudus seolah-olah memberikan banyak pilihan.
Dilihat dari sini, sudah saatnya konsep taman sebagai RTH diperjelas. Tak boleh lagi ada taman dengan nuansa lampu redup (remang-remang). Selain itu, pihak pengelola harus bekerjasama dengan dinas dan pemerintah desa terkait untuk menambah petugas, minimal petugas parkir.
Dengan taman yang terang dan petugas parkir yang berjaga, sudah pasti muda-mudi tak berani macam-macam.
Peran Serta Keluarga dan Masyarakat Dibutuhkan.
Meski begitu, menseterilkan RTH dari penyalahgunaan muda-mudi tidak semudah membalikkan tangan. Peran serta keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan.
Kedua orangtua juga harus memperhatikan gerak-gerik sang anak. Puberitas yang sedang dialami anak juga harus diarahkan secara benar. Jika sedang jalan-jalan bersama lawan jenis, pihak keluarga juga harus melakukan pemantauan.
Pemantauan ini tak harus ikut ke mana sang anak pergi. Tapi lebih ditekankan pada berani bercerita tentang apa yang dilakukan selama pergi. Dari situ, orangtua harus bisa menjadi teman. Hal ini penting dilakukan supaya sang anak tidak keluar dari koridor yang ditentukan.
Selain itu, para orang tua juga harus tahu siapa saja teman bergaul sang anak. Dengan begitu, kedekatan bisa dijalankan.
Selain keluarga, masyarakat juga memiliki peran penting. Terutama dalam pengawasan keberadaan RTH. Diakui atau tidak, pemerintah memang sedang gencar membangun taman, namun perawatan dan pengawasannya sangat lemah.
Di sini, masyarakat harus tanggap untuk saling menjaga kondisi dan suasana di lapangan. Jika dibutuhkan, pihak desa melalui karang taruna bisa mengajukan kerjasama dalam hal pengawasan. Misalkan saja melalui parkir, keamanan, hingga kebersihan.
Melalui kerjasama yang bagus, alasan klasik yang selalu dipakai dinas (terbatasnya SDM) bisa teratasi. Hanya saja, kerjasama harus diatur dengan jelas. Bisa jadi, hasil parker dimasukkan semua ke desa ataupun dibagi berdasarkan persentase yang saling menguntungkan.
Hasil dari pembagian tersebut bisa digunakan untuk menggaji petugas. Sisanya dimasukkan ke kas sebagai tambahan PAD. Dengan begitu, masyarakat terlibat secara langsung dan pemerintah bisa menjaga citra RTH yang ada. (*)