Minggu, 26 Januari 2025


KASUS kematian pertama akibat virus corona tercatat di Cina pada 11 Januari 2020. Kini, virus itu telah menjadi pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease 2019), melanda hampir seluruh negara di dunia. Jutaan manusia terjangkit. Ratusan ribu mati. Seiring itu, dampak negatifnya menghantam seluruh tatanan kehidupan.

Bukan cuma negara dan peradaban, bahkan agama, yang selalu menyediakan diri untuk menjawab semua pertanyaan eksistensial manusia, dibuatnya gagap dan terbata-bata.

Pemimpin agama yang satu memandang penyebab Covid-19 itu Ilahi. Wabah virus itu adalah hukuman Allah atas dosa manusia. Dengan Covid-19, Allah mau membersihkan dunia dari kaum yang fasik. Maka, tanggapan yang tepat adalah bertobat dari segala kefasikan dan mengharapkan rahmat ilahi.

Atau, bagi yang menganggap dirinya benar dan bersih, menilai para korban Covid-19 sebagai orang fasik yang layak dihukum, seraya meyakini bahwa dirinya, karena benar dan bersih, pasti luputdari bencana. Entah apa penjelasannya jika ia sendiri akhirnya menjadi korban.

Sedangkan pemimpin agama yang lain memandang penyebab Covid-19 itu alami. Wabah virus itu disebabkan oleh ulah manusia dan keniscayaan hukum alam. Transmisi penyakit yang bersumber dari hewan atau zoonosis, termasuk Covid-19, terjadi karena faktor ulah manusia, yang mengeksploitasi hutan dan menghancurkan habitat pelbagai satwa liar yang koheren dengan virus.

Di sisi lain, keniscayaan hukum alam bekerja. Alam senantiasa berjuang untuk mencapai keseimbangan baru. Maka, tanggapan yang tepat adalah di satu sisi meminimalkan dampak negatifnya, dan di sisi lain mengurangi atau menghilangkan penyebabnya.

Mana yang benar, penyebab Covid-19 itu ilahi atau alami?

 

Alami

Kisah suci penciptaan menegaskan dua sisi hubungan antara manusia dan alam.

Pertama, kesalingbergantungan manusia dengan alam. Sebagaimana flaura (Kej 2:9) dan fauna (ay. 19), tumbuhan dan hewan, manusia diciptakan dari tanah (Kej 1:9, 19; 2:7). Namun, lebih dari itu, manusia harus “mengusahakan tanah” (Kej 3:23). Dan akhirnya manusia harus kembali ke tanah (ay. 19). Hubungan lipat tiga ini menegaskan kesalingbergantungan manusia dengan alam. Maka, jika manusia merusak alam, itu berarti ia merugikan dirinya sendiri.

Kedua, kepemimpinan manusia atas alam. Tentang rancang bangun Allah atas manusia, kisah suci menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya dan memberikan amanat kepadanya untuk berkuasa atas segala ciptaan lainnya (Kej 1:27-28). Artinya, di antara semua ciptaan, manusia mewakili Allah berkuasa atas segala ciptaan lainnya.

Sampai di sini, hal itu dinilai “sungguh amat baik” (ay. 31a). Artinya, bukan cuma segalanya indah dan menyenangkan, tapi terutama berfungsi sebagaimana mestinya. Setiap ciptaan memiliki fungsinya sendiri, sesuai fitrahnya. Ciptaan yang satu bermanfaat bagi ciptaan yang lain.

Keadaan itu niscaya terjadi sejauh manusia berkuasa atas segala ciptaan lainnya sebagai wakil Allah. Berkuasa bukan untuk menjarah dan merusak mereka, melainkan untuk merawat dan meruwat, sehingga seluruh ciptaan menjadi sangat bermanfaat, sesuai kehendak sang Pencipta.

Karena itu, hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari satu mata uang yang mesti dijalani secara seimbang. Kesalingbergantungannya dengan alam dan kepemimpinannya atas alam.

Namun, kita semua tahu, alih-alih mewakili Allah, manusia seringkali memilih untuk menggantikan Allah, berkuasa atas segala ciptaan lainnya menurut kehendak dan kepentingannya sendiri. Alhasil, alih-alih merawat dan meruwat alam, manusia menjarah dan merusak mereka.

Mewabahnya virus corona di antara manusia membuktikan bahwa habitat atau lingkungan hidup dari satwa-satwa liar telah rusak, bahkan hilang, sehingga terjadilah spill-over atau bangkitnya virus menular ke manusia. Selama satwa liar hidup di habitatnya, interaksi ke manusia rendah sehingga virus, bakteri, dan mikroba berkutat di situ.
Saat manusia mengeksploitasi hutan dan interaksi manusia dengan satwa liar meningkat, potensi transmisi kian besar. Beberapa penyakit seperti SARS dan MERS tak langsung menular dari kelelawar ke manusia, tetapi melalui perantara, seperti SARS melalui musang dan MERS melalui unta. Dalam kasus Covid-19, diyakini bahwa trenggiling membawa virus dari kelelawar.Jadi, apakah penyebab Covid-19 itu alami?. Ya! IlahiMenurut sebuah ayat suci, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm 8:28).Termasuk ke dalam “segala sesuatu” adalah segala macam dan bentuk penderitaan, baik akibat langsung dari ulah manusia maupun tidak. Tak terkecuali pandemi Covid-19 dengan segala dampak negatifnya. Dengan kata lain, ia beraspek ilahi. Allah menetapkan atau mengizinkan virus itu melanda kehidupan umat manusia. Di dalamnya terkandung agenda atau maksud-Nya yang suci. Allah berdaulat atasnya dan bekerja melaluinya demi kebaikan para saleh-Nya.Jadi, apakah penyebab Covid-19 itu Ilahi? Ya! Alami sekaligus IlahiPenyebab Covid-19 itu alami sekaligus Ilahi. Keduanya tidak perlu berlawanan.Karena ulah manusia, yang memilih berkuasa atas alam bukan sebagai wakil Allah, tapi sesuai keinginan dan kepentingannya sendiri, alam, alih-alih dirawat dan diruwat, justru dijarah dan dirusak. Akibatnya, bukan cuma satwa-satwa liar kehilangan dan keluar dari habitat mereka, berinteraksi dengan manusia, tapi juga pelbagai virus, bakteri, jamur, dan parasit lainnya berpotensi melanda kehidupan manusia. Mewabahnya Covid-19 di antara manusia adalah tandanya. Prinsip tabur-tuai berlaku di sini.Kenyataan ini tidak berlawanan dengan pokok bahwa penyebab Covid-19 itu ilahi. Bahwa Allah sendiri yang menetapkan dan mengizinkan Covid-19 dengan segala dampak negatifnya melanda kehidupan manusia. Di dalamnya berlakunya prinsip tabur-tuai yang ditetapkan Allah. Mereka harus menanggung akibat dari semua kejahatan mereka.Jika demikian, maka tanggapan yang tepat terhadap realitas Covid-19 dengan segala dampak negatifnya adalah mengakui dan menyesali segala dosa dan kesalahan, bertekad untuk tidak lagi melakukannya, menyerahkan diri kepada Tuhan untuk beroleh rahmat pembaruan-Nya, serta bertekad untuk tidak lagi menjarah dan merusak alam, sebaliknya merawat dan meruwatnya.Segenap komponen bangsa ini harus bahu-membahu menekan alih fungsi lahan, melindungi hutan tersisa, merestorasi hutan yang rusak, serta memulai transisi ketergantungan pada energi fosil. Pandemi Covid-19 harus dipandang sebagai momentum pemihakan pada lingkungan. Pandemi ini menjadi refleksi pentingnya perlindungan hutan yang menjadi habitat satwa dan tumbuhan untuk memitigasi zoonosis.Seiring itu, kita juga harus bahu-membahu melayani dan meringankan beban kehidupan dari mereka yang paling terdampak Covid-19. Sekecil dan sesederhana apa pun yang kita lakukan, jika itu yang terbaik yang dapat kita lakukan dan dengan segenap hati, itu akan menjadi wujud nyata kehadiran dan karya pemeliharaan Alah atas para saleh-Nya di tengah pandemi Covid-19. *) Penulis adalah Rohaniawan, Pendeta GKMI Kudus

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler