Minggu, 26 Januari 2025


SEBELUM bulan Ramadan kita menapaki bulan Rajab disunahkan berpuasa untuk tangga berlatih puasa pada Ramadan. Sebagian memaknai meruahnya pahala ibadah puasa Rajab dengan sudut pandang kuantitatif, yakni pahala yang berlipat ganda.

Puasa Rajab sehari pahalanya selaksa puasa setahun, puasa tujuh hari mendapat kompensasi tidak masuk neraka, puasa delapan hari dibukakan delapan pintu surga, puasa sepuluh hari segala permohonannya dikabulkan Tuhan.

Bagi yang mengingatkan pihak lain agar puasa Rajab, kompensasinya laksana beribadah 80 tahun. Stimulan tersebut bisa dipahami, tapi perlu evaluasi bahwa esensi ibadah adalah ikhlas (hanya mengharap rida Allah, tak ingin dipuja sesama), melaksanakan dengan benar secara Fikih, berperilaku baik (menjauhkan sifat egois, tak merasa paling benar), santun, dan taat pemerintah.

Bila semua terlaksana dengan baik, menjadi diri yang nuraninya siap memasuki Ramadan dengan tulus, diiringi doa sebagaimana doa Nabi SAW: Allahumma Baarik lanaa fi rajaba, wa syakbana, wa ballighna Ramadan (berilah kemampuan padaku Ya Tuhan di bulan Rajab dan Syakban, dan panjangkanlah umurku agar mampu beribadah di bulan Ramadan).

Bila doa dikabulkan Yang Kuasa karena keikhlasannya maka tradisi ibadah Ramadan bagi sebagian muslim perlu evaluasi.

(1) ‘Mengharuskan’ pihak lain menghormati pelaku puasa dengan menutup warung makan selama siangnya Ramadan. Lantas siapa yang menghidupi keluarga si warung?. Perlu jalan tengah, mengais nafkah (buka warung makan di siang hari tapi) tak sevulgar di luar Ramadan.

(2) Penggunaan pengeras suara yang terngiang luas (a) tadarus (membaca al-Quran) yang terlalu euforia, usai salat Subuh hingga matahari ‘bekerja’, sore hari menjelang berbuka, dan seusai salat tarawih hingga malam berlarut, (b) ber-tarkhim dimulai dini hari membangunkan orang yang akan sahur.

Padahal, media membangunkan sahur multimodel dan lebih praktis (tanpa brisik-brisik tetangga). Lantas, kapan warga (terutama yang dekat titik suara) istirahat nyenyak?. Tidak semua orang yang mendengar akan nyaman karena suara ‘ibadah’ yang ‘dipaksakan’.
Tadarus atau tarkhim tak harus berpengeras suara yang rentan menjauhkan sifat ikhlas, tapi ingin dipuja (dianggap ahli ibadah/baca Quran).Ketidakikhlasan inilah parasit ibadah, yang menghanguskan pahala. Hal yang lebih penting memahami dan mengamalkan isi bacaan al-Quran. Dalih syiar dengan pengeras suara yang over sudah kedaluwarsa. Esensi syiar Islam tak sama dengan kebisingan, tapi melaksanakan ajaran Islam dengan kesantunan.(3) Jangan pendendam. Lapar sehari dibalas berbuka hingga perut buncit, pelaku boros, (4) berzakat fitrahlah pada fakir miskin durasinya sejak 1 Ramadan hingga akhir Ramadan, tak hanya akhir Ramadan, dan tak diharuskan diserahkan pada panitia zakat (‘amil).Lebih baik pada pihak yang berhak (mustahik) secara langsung. Lagi pula, jika ’amil zakat fitrah mapan ekonominya, tak berhak menerima zakat fitrah.Kepedulian si mampu pada si papa adalah perilaku orang yang beribadah Ramadan dengan sejati, hindarilah pamer (ingin diketahui ibadah kita oleh pihak siapa pun).Musuh utama orang beribadah adalah riya, ingin dipuja sesama, tidak ikhlas. Dewasa memahami perasaan orang lain, peka, dan peduli sesama adalah esensi mensyiarkan Ramadan. Marhaban ya Ramadan. (*) *) Penulis adalah dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler