Erupsi gunung berapi bukan pula sebuah kejutan. Indonesia berada di jalur cincin api, di mana aktivitas vulkanik adalah sebuah keniscayaan. Yang kerap mengejutkan justru adalah betapa kita selalu terlambat bersiap.
Kita sering menyebut bencana sebagai ”musibah”, seolah ia hadir tanpa tanda dan tak bisa dicegah. Padahal, alam sebenarnya selalu memberi peringatan.
Sampai di sini, kita harus menyadari bahwa masalahnya bukan pada alam, tetapi pada sejauh mana kita sebagai manusia mampu memahami dan mengantisipasi sinyal-sinyal dari alam itu sendiri.
Sebagai masyarakat yang bernegara, pemerintah tentu memegang peran penting untuk memetakan wilayah rawan, penyediaan jalur evakuasi, pembangunan sistem peringatan dini kepada masyarakat.
Kemudian yang tidak boleh dilupakan adalah memberikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat. Bahkan seyogyanya ini harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditunda. Tidak hanya berhenti di pemerintah, masyarakat pun memiliki tanggung jawab yang sama besar.
Kita perlu membangun budaya siaga bencana, bukan sekadar pengetahuan sesaat, tetapi kesadaran kolektif yang melekat dalam perilaku sehari-hari.
Bahkan kalau boleh menyarankan, di sekolah, pendidikan kebencanaan harus menjadi kurikulum wajib. Di desa-desa, simulasi evakuasi harus digelar rutin. Di kota, tata ruang harus diatur berdasarkan pola keseimbangan alam, bukan semata kepentingan ekonomi.
INDONESIA kembali diuji. Serangkaian bencana alam yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir, menggugah kesadaran nurani kita bahwa negeri ini tidak hanya menampakkan keindahan alamnya, tetapi juga menyimpan potensi ancaman yang setiap saat bisa saja terjadi.
Bencana alam tanah longsor yang terjadi di Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada masih menyisakan duka mendalam. Sebanyak 23 orang dilaporkan hilang tertimbun material. Dari jumlah itu, 20 orang berhasil ditemukan, namun dalam kondisi sudah tidak bernyawa.
Belum selesai duka di Cilacap, di Banjarnegara juga terjadi tragedi yang sama, yakni tanah longsor di di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (19/11/2025).
Dalam peristiwa di Banjarnegara ini, berdasarkan laporan BPBD setempat hingga Kamis (20/11/2025) pukul 20.23 WIB, terdapat 25 orang yang hilang, tiga orang ditemukan meninggal dunia.
Tidak berhenti sampai di situ, saudara kita yang berada di Lumajang, Jawa Timur juga harus merasakan duka lantaran Gunung Semeru kembali meletus cukup dahsyat. Bahkan setidaknya sekitar 300 orang yang berada di lereng Semeru, kini sudah diungsikan.
Aktivitas masyarakat setempat juga terganggu lantaran terjadi hujan abu vulkanik yang membahayakan pernapasan.
Dari berbagai peristiwa bencana alam ini, pertanyaan yang perlu kita utarakan adalah sudahkah kita benar-benar siap membersamai alam?
Harus kita sadari bahwa longsor tidak hadir tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari curah hujan ekstrem, struktur tanah yang labil, dan sering kali ulah manusia yang terlalu berani menggerus bukit.
Erupsi gunung berapi bukan pula sebuah kejutan. Indonesia berada di jalur cincin api, di mana aktivitas vulkanik adalah sebuah keniscayaan. Yang kerap mengejutkan justru adalah betapa kita selalu terlambat bersiap.
Kita sering menyebut bencana sebagai ”musibah”, seolah ia hadir tanpa tanda dan tak bisa dicegah. Padahal, alam sebenarnya selalu memberi peringatan.
Sampai di sini, kita harus menyadari bahwa masalahnya bukan pada alam, tetapi pada sejauh mana kita sebagai manusia mampu memahami dan mengantisipasi sinyal-sinyal dari alam itu sendiri.
Sebagai masyarakat yang bernegara, pemerintah tentu memegang peran penting untuk memetakan wilayah rawan, penyediaan jalur evakuasi, pembangunan sistem peringatan dini kepada masyarakat.
Kemudian yang tidak boleh dilupakan adalah memberikan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat. Bahkan seyogyanya ini harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditunda. Tidak hanya berhenti di pemerintah, masyarakat pun memiliki tanggung jawab yang sama besar.
Kita perlu membangun budaya siaga bencana, bukan sekadar pengetahuan sesaat, tetapi kesadaran kolektif yang melekat dalam perilaku sehari-hari.
Bahkan kalau boleh menyarankan, di sekolah, pendidikan kebencanaan harus menjadi kurikulum wajib. Di desa-desa, simulasi evakuasi harus digelar rutin. Di kota, tata ruang harus diatur berdasarkan pola keseimbangan alam, bukan semata kepentingan ekonomi.