BENCANA banjir yang melanda wilayah Kabupaten Grobogan sejak akhir pekan kemarin, membuat banyak orang terkaget-kaget. Bagaimana tidak, hujan baru turun sebentar saja, 16 desa di tiga kecamatan di kabupaten itu tergenang banjir, bahkan hingga saat ini banjir belum juga surut. Hujan yang terus turun, masih menjadi ancaman banjir yang lebih besar.
Ratusan kepala keluarga (KK) harus mengungsi, kehilangan harta benda, dan harus pontang-panting menyelamatkan diri. Ribuan hektare sawah yang menjadi gantungan hidup warga, porak poranda tak bersisa disapu air bah. Padahal beberapa tanaman petani belum sempat dipanen.
Banjir yang datang secara tiba-tiba ini juga seolah menjadi tanda kegetiran dan keraguan, apakah manusia-manusia yang hidup di Grobogan itu bakal bisa terbebas dari banjir. Bagimana tidak, bencana banjir yang menjadi bencana rutin tahunan ini seolah tanpa ada penanganan serius.
Meski setiap tahun Grobogan selalu dilanda banjir, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk penanganan bencana ini hanya seolah sekadarnya saja. Pemerintah baru gagap ketika banjir sudah datang. Seluruh unsur dikerahkan, para pejabat berdatangan meninjau, menjenguk dan menenangkan para korban banjir. Tapi kemana mereka sebelum banjir datang?
Padahal bencana banjir datang bukan tanpa sebab. Banjir yang melanda wilayah Grobogan, dan meluas hingga beberapa desa di Kabupaten Demak, disebabkan jebolnya tanggul-tanggul sungai yang ada di kabupaten tersebut. Ini harusnya sudah bisa dideteksi dan diperkirakan sebelumnya.
Tanggul-tanggul yang jebol ini, saat sebelum banjir datang merupakan tanggul yang sudah kritis, yang sudah seharusnya dilakukan perbaikan jauh-jauh hari sebelum musim hujan datang.
Di sepanjang Sungai Tuntang saja setidaknya ada tiga tanggul sungai yang jebol, yakni di Desa Ngroto, Desa Papanrejo, dan di Desa Kemiri. Belum lagi tanggul Sungai Renggong dan Sungai Kliteh yang jebol, juga memperparah banjir di daerah ini. Sepekan sebelumnya, tanggul Sungai Renggong sudah jebol, dan menggenangi ratusan hektare sawah. Belum sempat ada perbaikan banjir kembali menghantam.
Setelah adanya tanggul yang jebol ini, sebenarnya pemerintah kabupaten setempat mulai bertindak. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bahkan ikut menerjunkan personelnya untuk melakukan pemantauan dan monitoring tanggul-tanggul sungai di Grobogan yang rawan jebol. Namun upaya ini sebenarnya sangat terlambat, karena seharusnya monitoring ini sudah harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum musim hujan datang.Setelah didata tanggul mana yang rawan pun, urusannya tak langsung selesai. Apalagi birokrasi di Indonesia itu terkenal cukup ribet. Ketika ditemukan ada tanggul yang bermasalah, pemerintah setempat tak bisa langsung melakukan penanganan. Bukan hanya karena masalah dana, tapi mereka tak punya kewenangan. Penanganan sungai-sungai itu berada di wilayah Pemprov Jateng, yakni melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juwana. Sehingga sudah bisa dibayangkan sendiri apa yang terjadi.Bencana keburu datang sebelum perbaikan sempat dilakukan. Kini ribuan orang di Grobogan yang akhirnya terkena dampak. Ribuan siswa tak bisa belajar, karena jalan-jalan tertutup banjir, bahkan gedung-gedung sekolah juga terendam. Di saat ini seperti ini memang langkah yang dilakukan pemerintah sudah tepat, yakni mengutamakan keselamatan rakyatnya dahulu, dengan melakukan evakuasi, mendirikan pos-pos pengungsian dan dapur umum.Namun setelah bencana ini dampak yang lebih panjang lagi juga tengah menunggu. Warga yang kehilangan harta benda, area persawahan yang hancur ditelan banjir, dan lainnya. Warga harus memulai dari awal lagi, untuk membangun kehidupannya. Bantuan dari pemerintah tak akan cukup untuk membuat warganya kembali seperti kehidupan semula lagi.Sudah seharusnya, segala macam bencana yang datang menjadi pelajaran serius bagi pemerintah untuk melakukan penanganan ke depan. Jangan jadikan bencana sebagai sebuah kejadian rutin, dan melakukan pembiaran saja dengan menyiapkan langkah yang seadanya. Karena di Jawa Tengah ini merupakan gudangnya bencana alam, mulai dari banjir, longsor, puting beliung dan lainnya.Sumber-sumber yang menjadi kerawanan bencana harus terus mendapat pengawasan serius. Jangan lagi muncul kejadian seperti ini lagi, banjir datang disaat penataan dan perbaikan tanggul baru akan dilakukan. Selain itu, yang paling penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.Peran serta masyarakat ini sangat penting. Karena diakui atau tidak, munculnya bencana ini juga karena keserakahan dan keteledoran warga yang melakukan perusakan terhadap alam. Hutan-hutan sebagai pelindung dari bencana sudah gundul, wilayah-wilayah resapan air sudah beralih fungsi jadi perumahan dan gedung-gedung. Ini harus sudah diakhiri, karena jika terus berlanjut, maka kelak yang akan kita wariskan kepada anak cucu bukanlah alam yang indah melainkan hanyalah bencana yang datang bertubi-tubi. (*)
[caption id="attachment_97274" align="alignleft" width="150"]
Ali Muntoha [email protected][/caption]
BENCANA banjir yang melanda wilayah Kabupaten Grobogan sejak akhir pekan kemarin, membuat banyak orang terkaget-kaget. Bagaimana tidak, hujan baru turun sebentar saja, 16 desa di tiga kecamatan di kabupaten itu tergenang banjir, bahkan hingga saat ini banjir belum juga surut. Hujan yang terus turun, masih menjadi ancaman banjir yang lebih besar.
Ratusan kepala keluarga (KK) harus mengungsi, kehilangan harta benda, dan harus pontang-panting menyelamatkan diri. Ribuan hektare sawah yang menjadi gantungan hidup warga, porak poranda tak bersisa disapu air bah. Padahal beberapa tanaman petani belum sempat dipanen.
Banjir yang datang secara tiba-tiba ini juga seolah menjadi tanda kegetiran dan keraguan, apakah manusia-manusia yang hidup di Grobogan itu bakal bisa terbebas dari banjir. Bagimana tidak, bencana banjir yang menjadi bencana rutin tahunan ini seolah tanpa ada penanganan serius.
Meski setiap tahun Grobogan selalu dilanda banjir, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk penanganan bencana ini hanya seolah sekadarnya saja. Pemerintah baru gagap ketika banjir sudah datang. Seluruh unsur dikerahkan, para pejabat berdatangan meninjau, menjenguk dan menenangkan para korban banjir. Tapi kemana mereka sebelum banjir datang?
Padahal bencana banjir datang bukan tanpa sebab. Banjir yang melanda wilayah Grobogan, dan meluas hingga beberapa desa di Kabupaten Demak, disebabkan jebolnya tanggul-tanggul sungai yang ada di kabupaten tersebut. Ini harusnya sudah bisa dideteksi dan diperkirakan sebelumnya.
Tanggul-tanggul yang jebol ini, saat sebelum banjir datang merupakan tanggul yang sudah kritis, yang sudah seharusnya dilakukan perbaikan jauh-jauh hari sebelum musim hujan datang.
Di sepanjang Sungai Tuntang saja setidaknya ada tiga tanggul sungai yang jebol, yakni di Desa Ngroto, Desa Papanrejo, dan di Desa Kemiri. Belum lagi tanggul Sungai Renggong dan Sungai Kliteh yang jebol, juga memperparah banjir di daerah ini. Sepekan sebelumnya, tanggul Sungai Renggong sudah jebol, dan menggenangi ratusan hektare sawah. Belum sempat ada perbaikan banjir kembali menghantam.
Setelah adanya tanggul yang jebol ini, sebenarnya pemerintah kabupaten setempat mulai bertindak. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bahkan ikut menerjunkan personelnya untuk melakukan pemantauan dan monitoring tanggul-tanggul sungai di Grobogan yang rawan jebol. Namun upaya ini sebenarnya sangat terlambat, karena seharusnya monitoring ini sudah harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum musim hujan datang.
Setelah didata tanggul mana yang rawan pun, urusannya tak langsung selesai. Apalagi birokrasi di Indonesia itu terkenal cukup ribet. Ketika ditemukan ada tanggul yang bermasalah, pemerintah setempat tak bisa langsung melakukan penanganan. Bukan hanya karena masalah dana, tapi mereka tak punya kewenangan. Penanganan sungai-sungai itu berada di wilayah Pemprov Jateng, yakni melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juwana. Sehingga sudah bisa dibayangkan sendiri apa yang terjadi.
Bencana keburu datang sebelum perbaikan sempat dilakukan. Kini ribuan orang di Grobogan yang akhirnya terkena dampak. Ribuan siswa tak bisa belajar, karena jalan-jalan tertutup banjir, bahkan gedung-gedung sekolah juga terendam. Di saat ini seperti ini memang langkah yang dilakukan pemerintah sudah tepat, yakni mengutamakan keselamatan rakyatnya dahulu, dengan melakukan evakuasi, mendirikan pos-pos pengungsian dan dapur umum.
Namun setelah bencana ini dampak yang lebih panjang lagi juga tengah menunggu. Warga yang kehilangan harta benda, area persawahan yang hancur ditelan banjir, dan lainnya. Warga harus memulai dari awal lagi, untuk membangun kehidupannya. Bantuan dari pemerintah tak akan cukup untuk membuat warganya kembali seperti kehidupan semula lagi.
Sudah seharusnya, segala macam bencana yang datang menjadi pelajaran serius bagi pemerintah untuk melakukan penanganan ke depan. Jangan jadikan bencana sebagai sebuah kejadian rutin, dan melakukan pembiaran saja dengan menyiapkan langkah yang seadanya. Karena di Jawa Tengah ini merupakan gudangnya bencana alam, mulai dari banjir, longsor, puting beliung dan lainnya.
Sumber-sumber yang menjadi kerawanan bencana harus terus mendapat pengawasan serius. Jangan lagi muncul kejadian seperti ini lagi, banjir datang disaat penataan dan perbaikan tanggul baru akan dilakukan. Selain itu, yang paling penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Peran serta masyarakat ini sangat penting. Karena diakui atau tidak, munculnya bencana ini juga karena keserakahan dan keteledoran warga yang melakukan perusakan terhadap alam. Hutan-hutan sebagai pelindung dari bencana sudah gundul, wilayah-wilayah resapan air sudah beralih fungsi jadi perumahan dan gedung-gedung. Ini harus sudah diakhiri, karena jika terus berlanjut, maka kelak yang akan kita wariskan kepada anak cucu bukanlah alam yang indah melainkan hanyalah bencana yang datang bertubi-tubi. (*)