BARANGKALI ketika mendengar kata buto, imajinasi kita akan langsung menangkap bayangan sosok raksasa mengerikan, tinggi besar dengan kepalan tangan sebesar kelapa. Bahkan sebagian orang Jawa akan langsung merujuk sosok Dewata Cengkar, sang raksasa pemakan daging manusia ketika mendengar istilah buto.
Memang tak salah, buto atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditulis "buta" memang digunakan untuk menyebut sesosok raksasa, makhluk buas dari mitologi klasik. Di Jawa banyak cerita-cerita atau mitos tentang kisah buto ini. Di kawasan Sangiran dulu muncul istilah balung buto (tulang raksasa) ada juga raja buto yang muncul dari Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.
Balung buto ini menjadi terkenal karena diyakini mempunyai daya linuwih. Bisa jadi jimat, dan bisa mengobati segala macam penyakit, maka tak heran dukun tempo dulu banyak yang mengklaim mempunyai balung buto ini. Kepercayaan ini melekat di hati masyarakat Sangiran dan daerah-daerah lain sejak sebelum tahun 1930-an.
Balung buto ini adalah sebuah fosil dari makhluk purba yang sangat banyak ditemukan di kawasan Sangiran, Pati Ayam (Kudus), termasuk juga di Desa Banjarejo. Fosil-fosil dari makhluk purba ini yang menjadi sumber imajinasi terciptanya makhluk-makhluk mitologi seperti buto.
Dikisahkan, dulu kala pernah terjadi perang besar antara kesatria yang bernama Raden Bandung melawan kelompok raksasa yang dipimpin Raja Tegopati, di kawasan perbukitan Sangiran. Pertempuran berlangsung sangat sengit hingga banyak raksasa yang gugur dan terkubur di bukit.
Tulang belulang raksasa yang terkubur di perbukitan kawasan Sangiran itu yang kemudian menjadi fosil. Ini yang menjadi keperceyaan warga sekitar tentang ditemukannya fosil-fosil yang memiliki ukuran besar yang banyak bermunculan di lereng-lereng perbukitan Sangiran, hingga dinamakan balung buto (Sulistyanto: 2003). Belakangan diketahui jika fosil-fosil tersebut merupakan tulang belulang manusia purba dan tulang hewan-hewan purba lain.
Sebenarnya kepercayaan seperti ini tak hanya muncul di Jawa. Keyakinan adanya perang raksasa juga muncul di mitos-mitos Yunani klasik. Fosil-fosil hewan purba raksasa, seperti tulang Nichoria, menjadi sumber inspirasi dan imajinasi bagi berkembangnya mitos tentang makhluk raksasa tersebut.
Orang Yunani kuno diperkirakan menemukan fosil tulang tersebut dalam tambang batu bara muda di sebuah daerah yang dikenal dengan nama "cekungan Megalopolis", yang dalam kajian prasejarah dikenal sebagai “medan pertempuran para raksasa”. Banyaknya fosil tulang raksasa di tempat itu memunculkan mitos tetang terbunuhnya seluruh tentara raksasa oleh hantaman petir Dewa Zeus, salah satu dewa utama dalam mitologi Yunani klasik (Mayor, 2000).
Keyakinan tentang balung buto ini sedikit-demi sedikit terkikis setelah kehadiran para peneliti asing di Sangiran. Sejak tahun 1930-1940, balung buto mulai disebut sebagai nama fosil. Ini merupakan dampak kedatangan peneliti von Koenigswald, di kawasan Sangiran. Ia membawa perubahan persepsi masyarakat bahwa balung buto itu adalah fosil yang merupakan sisa-sisa kehidupan pada masa lampau. Saat itu fosil menjadi barang yang diburu dan dijualbelikan secara ilegal.
Tak beda dengan di Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan. Dulu saat masyarakat di desa ini masih buta tentang benda-benda arkeologi, fosil-fosil makhluk purba juga dijual bebas. Padahal di daerah itu, bisa ditemukan banyak sekali fosil mulai dari gajah purba atau stegodon, fosil kerang, kepala kerbau purba dan lainnya.
Bahkan bukti-bukti prasejarah di desa ini jauh lebih istimewa, termasuk masalah mitosnya. Jika di Sangiran hanya terkenal dengan adanya balung buto, di desa ini justru lebih ekstrim lagi. Desa ini diyakini sebagai pusat Kerajaan Medang Kawulan yang dipimpin raja buto pemakan manusia, Prabu Dewata Cengkar.
Pusat kerajaan diperkirakan berada di Dukuh Medang, di desa ini. Nama dukuh itu yang mempunyai nama dari kata pertama kerajaan Prabu Dewata Cengkar, yang menjadi salah satu alasannya. Namun, ada alasan-alasan lain yang tak kalah kuat, hingga membuat keyakinan warga tentang kerajaan Prabu Dewata Cengkar itu tak bekurang sedikitpun hingga saat ini.