TERBITNYA Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai penegas bahwa penggunaan pengeras suara dari tempat tersebut memerlukan evaluasi.
Jauh sebelumnya telah terbit SE Nomor Kep/D/101/1978 diperkuat dengan diterbitkannya SE Nomor B.3940.D.J.III/HK.007/08/2018 perihal pelaksanaan instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978.
Pengulangan SE sebagai penegas bahwa sebagian muslim perlu diingatkan agar menaati aturan. Bila dipotret rangkaian penggunaan
speaker di sebagian masjid, musala atau majelis taklim yang suaranya ke luar (selain azan yang dimaklumi publik bila suaranya tidak menghentak) sangat banyak.
Terutama saat Ramadan: (1)
qiroah menjelang buka puasa/akan tiba waktu salat magrib, (2) pujian, (3)
murotal atau
qiroah menjelang waktu isak, (4) pujian, (5) bacaan imam salat tarawih, (6) tadarus al-Quran, (7) tarkhim, masa sahur, (8) qiroah menjelang waktu subuh, (9) pujian, (10) ada yang tadarus lagi seusai jamaah subuh, (11) malam 1 Syawal baca takbir hingga waktu super malam.
Selain bulan
Ramadan, ada pula yang (12) membaca tahlil berjemaah seusai jemaah magrib pada malam Jumat, (13) pembacaan
siroh nabawiyah beserta syairnya bersumber dari Kitab
adz-Dzibai karya Imam al-Barzanji (berjanjen) malam Senin atau malam Jumat seusai magrib/isya, (14) ada juga mengaji al-Quran dan kitab salaf ala bandongan/sorogan seusai maghrib/subuh, (15) ada pula kirim doa arwah pada Jumat pagi hingga menjelang zuhur, (16) hal yang naïf yakni undangan acara RT.
Ke-16 kasuistis ada di sebagian wilayah saja tergantung kemampuan tokoh lokal mendewasakan jemaah atau tokohnya sendiri yang belum dewasa hingga diikuti jemaahnya.
Pertanyaannya, mengapa menggunakan
speaker suaranya ke luar (selain azan)? Agar terpublikasikan? Apakah setiap ritual harus dipublikasikan?
Bila harus, perlu diingat keikhlasan hamba beribadah penghambaannya diukur bila semakin jauh dari publikasi, apalagi tradisi tersebut bertahun-tahun, tidak perlu iklanisasi pada jemaah. Tradisi
gemledek perlu dievaluasi bahwa bersesama di tengah masyarakat membutuhkan kenyamanan, utamanya yang dekat dengan sumber suara.
Kenyamanan tercipta bila (selain azan) memanfaatkan
speaker suara ke dalam saja, tidak ke luar lebih santun dan
jumawa sebagai abdi yang beribadah.
Perlunya pendefinisian ulang tentang syiar yakni mengajak kebaikan dan berperilaku sesuai syariat, hukum negara, dan norma sosial yang tidak mengganggu sesama apa pun dalihnya.
Perlu Pembelajaran Perlunya melihat Islam di Kampung Santri Kauman Jekulo,
Kudus yang tumbuh berkat upaya Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan dikembangkan pendakwah dari Djenu Tuban Jawa Timur, Abdul Jalil (panglima Perang Raden Fatah, Sultan/Raja Kesultanan Bintoro Demak) menetap di Kampung Pagudjangan (nama pra-Jekulo) bersama Abdul Qohar, keduanya dimakamkan di sebelah/sekawasan dengan Masjid Baitussalam.Tahun 1890 masjid direnovasi dilanjutkan 1916-1917 dimotori Kiai Sanusi. Tahun 1930/1931 penambahan bangunan serambi masjid, pada 14 Dzulhijjah 1388 H/3 Maret 1969 M-14 Dzulhijjah 1389 H/20 Februari 1970 M masjid diperbesar seperti kini.Hal yang beda sering diklaim
nyeleneh meski faktanya perlu dijadikan rujukan. Masjid Baitussalam memiliki perbedaan dengan masjid lain, yakni
speaker suaranya ke luar hanya untuk khutbah Jumat dan
Idain dan azan pun tidak dilagukan. Setelah azan tidak ada pujian, hanya salat
qabliyah lalu salat jemaah untuk lima waktu.Masjid nahdliyin ini hanya difungsikan untuk jemaah salat dan mengaji. Hiruk pikuk
speaker tidak terjadi di masjid ini karena menaati
dawuh sesepuh yang memahami bahwa tetangga sekitar masjid perlu istirahat dan ibadah/mengaji/berjanjen tidak perlu suara
speaker ke luar.Kesadaran warga Kauman Jekulo sebagai mutiara yang perlu ditiru oleh muslim di mana berada agar kenyamanan bersesama tidak terganggu suara
speaker yang tidak perlu.
Nuwun. (*)
*) Dosen IAIN Kudus
[caption id="attachment_274842" align="alignleft" width="150"]

Moh Rosyid *)[/caption]
TERBITNYA Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai penegas bahwa penggunaan pengeras suara dari tempat tersebut memerlukan evaluasi.
Jauh sebelumnya telah terbit SE Nomor Kep/D/101/1978 diperkuat dengan diterbitkannya SE Nomor B.3940.D.J.III/HK.007/08/2018 perihal pelaksanaan instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978.
Pengulangan SE sebagai penegas bahwa sebagian muslim perlu diingatkan agar menaati aturan. Bila dipotret rangkaian penggunaan
speaker di sebagian masjid, musala atau majelis taklim yang suaranya ke luar (selain azan yang dimaklumi publik bila suaranya tidak menghentak) sangat banyak.
Terutama saat Ramadan: (1)
qiroah menjelang buka puasa/akan tiba waktu salat magrib, (2) pujian, (3)
murotal atau
qiroah menjelang waktu isak, (4) pujian, (5) bacaan imam salat tarawih, (6) tadarus al-Quran, (7) tarkhim, masa sahur, (8) qiroah menjelang waktu subuh, (9) pujian, (10) ada yang tadarus lagi seusai jamaah subuh, (11) malam 1 Syawal baca takbir hingga waktu super malam.
Selain bulan
Ramadan, ada pula yang (12) membaca tahlil berjemaah seusai jemaah magrib pada malam Jumat, (13) pembacaan
siroh nabawiyah beserta syairnya bersumber dari Kitab
adz-Dzibai karya Imam al-Barzanji (berjanjen) malam Senin atau malam Jumat seusai magrib/isya, (14) ada juga mengaji al-Quran dan kitab salaf ala bandongan/sorogan seusai maghrib/subuh, (15) ada pula kirim doa arwah pada Jumat pagi hingga menjelang zuhur, (16) hal yang naïf yakni undangan acara RT.
Ke-16 kasuistis ada di sebagian wilayah saja tergantung kemampuan tokoh lokal mendewasakan jemaah atau tokohnya sendiri yang belum dewasa hingga diikuti jemaahnya.
Pertanyaannya, mengapa menggunakan
speaker suaranya ke luar (selain azan)? Agar terpublikasikan? Apakah setiap ritual harus dipublikasikan?
Bila harus, perlu diingat keikhlasan hamba beribadah penghambaannya diukur bila semakin jauh dari publikasi, apalagi tradisi tersebut bertahun-tahun, tidak perlu iklanisasi pada jemaah. Tradisi
gemledek perlu dievaluasi bahwa bersesama di tengah masyarakat membutuhkan kenyamanan, utamanya yang dekat dengan sumber suara.
Kenyamanan tercipta bila (selain azan) memanfaatkan
speaker suara ke dalam saja, tidak ke luar lebih santun dan
jumawa sebagai abdi yang beribadah.
Perlunya pendefinisian ulang tentang syiar yakni mengajak kebaikan dan berperilaku sesuai syariat, hukum negara, dan norma sosial yang tidak mengganggu sesama apa pun dalihnya.
Perlu Pembelajaran
Perlunya melihat Islam di Kampung Santri Kauman Jekulo,
Kudus yang tumbuh berkat upaya Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan dikembangkan pendakwah dari Djenu Tuban Jawa Timur, Abdul Jalil (panglima Perang Raden Fatah, Sultan/Raja Kesultanan Bintoro Demak) menetap di Kampung Pagudjangan (nama pra-Jekulo) bersama Abdul Qohar, keduanya dimakamkan di sebelah/sekawasan dengan Masjid Baitussalam.
Tahun 1890 masjid direnovasi dilanjutkan 1916-1917 dimotori Kiai Sanusi. Tahun 1930/1931 penambahan bangunan serambi masjid, pada 14 Dzulhijjah 1388 H/3 Maret 1969 M-14 Dzulhijjah 1389 H/20 Februari 1970 M masjid diperbesar seperti kini.
Hal yang beda sering diklaim
nyeleneh meski faktanya perlu dijadikan rujukan. Masjid Baitussalam memiliki perbedaan dengan masjid lain, yakni
speaker suaranya ke luar hanya untuk khutbah Jumat dan
Idain dan azan pun tidak dilagukan. Setelah azan tidak ada pujian, hanya salat
qabliyah lalu salat jemaah untuk lima waktu.
Masjid nahdliyin ini hanya difungsikan untuk jemaah salat dan mengaji. Hiruk pikuk
speaker tidak terjadi di masjid ini karena menaati
dawuh sesepuh yang memahami bahwa tetangga sekitar masjid perlu istirahat dan ibadah/mengaji/berjanjen tidak perlu suara
speaker ke luar.
Kesadaran warga Kauman Jekulo sebagai mutiara yang perlu ditiru oleh muslim di mana berada agar kenyamanan bersesama tidak terganggu suara
speaker yang tidak perlu.
Nuwun. (*)
*) Dosen IAIN Kudus