AWAL tahun 2025 menjadi awal tahun yang penuh dengan duka bagi Provinsi Jawa Tengah (Jateng). Bencana demi bencana datang bersamaan, mulai dari longsor hingga banjir.
Ironisnya jumlah korban dari bencana tersebut encapai puluhan orang. Salah satu yang paling parah adalah bencana longsor di Kabupaten Pekalongan.
Longsor yang terjadi Senin (20/1/2025) itu menimpa 27 orang. Hingga Jumat (24/1/2025) pagi, warga yang ditemukan dengan keadaan meninggal dunia sudah 22 orang. Sedangkan empat orang lagi masih pencarian.
Tak hanya itu, beberapa kabupaten di Jateng juga terendam banjir. Total sudah ada 12 daerah yang terjadi banjir parah.
Ke-12 daerah tersebut yakni, Kabupaten Kudus, Grobogan, Demak, Kendal, Banjarnegara, Sragen, Solo, Brebes, Pemalang, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, hingga Pekalongan.
Akibatnya, ada ribuan rumah yang terendam dari banjir tersebut. Bahkan di beberapa daerah, banjir ini juga memakan korban. Salah satunya di Sragen yang merenggut nyawa bocah 9 tahun.
Banyaknya korban ini bukan berarti tidak diantisipasi sebelumnya. Pemprov Jateng sebelumnya bahkan sudah melakukan mitigasi bencana.
Tujuannya untuk memetakan daerah rawan dan menyiapkan sekema saat bencana datang.
Rekayasa cuaca...
Langkah ini tak dilakukan tanpa dasar. Di akhir 2024, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mengungkap adanya cuaca ekstrem yang akan melanda Jateng hingga awal 2025.
Hal itu membuat Pemprov Jateng langsung bergerak lebih cepat. Mitigasi bencana dan rekayasa cuaca sudah dilakukan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BMKG.
Pemprov Jateng juga menjalin komunikasi dengan 35 kabupaten/kota untuk terus memantau kondisi wilayah di daerah masing-masing.
Hasilnya, di awal cuaca ekstrem pada bulan Januari saat daerah lain mulai digegerkan dengan banjir dan longsor, Jateng masih aman.
Akan tetapi, tak ada yang bisa melawan alam. Di akhir Januari, semua berubah. Mulai dari longsor, banjir bandang, hingga luapan Sungai besar mulai terjadi.
Paling parah (berdasarkan jumlah korban) adalah longsor Pekalongan. Dari pemberitaan lokasi longsor itu sebenarnya jauh dari tebing. Akan tetapi saat bencana datang wilayah tersebut sedang hujan deras.
Hujan itupun membuat banjir bandang dan menimpa bebatuan besar hingga menimbun beberapa rumah termasuk sekdes dan pendeta.
Sedangkan banjir, kebanyakan hampir merata. Di Demak, Kendal, Grobogan rata-rata dikarenakan jebolnya tanggul.
Butuh penanganan serius...
Lantas apa yang harus dilakukan?
Berkaca dari tahun-tahun, persoalan di atas memang dikaitkan dengan intensitas hujan dan tanggul. Intensitas hujan ini tentu berkaitan erat dengan tumbuhan, utamanya hutan gundul hingga membuat banjir bandang.
Dari sini semua pihak harusnya perlu melihat lebih jeli keberadaan hutan. Tak hanya pemerintah melainkan masyarakat juga.
Pelarangan penebangan pohon di hutan dan reboisasai menjadi salah satu cara ihtiar yang harus dilakukan dari sekarang. Selain itu, juga menjaga lingkungannya.
Menjaga ini tidak bisa diartikan sempit. Menanam pohon lantas ditinggal. Itu yang biasa terjadi.
Harusnya, pemeliharaan lingkungan adalah menjaga wilayah sesuai fungsinya. Artinya, selesai menanam pohon, warga juga perlu merawat, menjaga, dan memperhatikan aliran air.
Sebagaian besar masyarakat yang tinggal didekat hutan tentu sudah paham betul dengan ini. Termasuk menjaga aliran air hingga ke sungai.
Akan tetapi hal ini tak bisa instan. Butuh waktu yang panjang untuk melakukannya.
Kemudian terkait banjir, pemerintah disini memang sudah bekerja keras. Pendangkalan sendimentasi yang selalu menjadi pekerjaan rumah sudah sering jadi pembahasan.
Pendangkalan sungai...
Pedangkalan sungai ini salah satu solusi efektif memang dengan mengeruk. Hanya saja, diakui atau tidak untuk mengeruk sungai dibutuhkan biaya tak sedikit.
Bahkan, jika daerah mengandalkan APBD hal itu tentu tak cukup. Pemerintah daerah pun akhirnya meminta bantuan pusat, mulai dari kementerian atau badan di bawahnya.
Nah dari sini, harusnya peran masyarakat dibutuhkan. Peran ini bukan berarti gotong royong mengeruk sungai yang dangkal (meski itu bisa dilakukan).
Peran masyarakat di sini yang paling penting adalah tidak membuang sampah di sungai. Percaya atau tidak sampah yang dibuang ke sungai akan menghambat aliran air.
Saat hujan datang, aliran sungai yang terhambat tentu membuat air limpas ke daratan. Hal ini lah yang membuat daerah yang harusnya jarang kebanjiran justru terendam air.
Tak hanya itu, sampah yang mengendap juga memperparah tanggul. Akibatnya, tanggul tak kuat menahan debit air yang terpaksa berhenti karena sampah.
Saat tanggul tak kuat, ending-nya jebol hingga membuat banyak warga kebanjiran.
Nah dari gambaran ini, tentu bencana bisa dicegah dengan kesadaran sejak dini. Kesadaran sekecil apapun tentang lingkungan akan menyelamatkan banyak nyawa.
Memang benar, bencana tak bisa ditolak, tapi bencana bisa dicegak. Yuk mulai sekarang kita sadar lingkungan. (*)