Minggu, 26 Januari 2025

KASUS demam berdarah dengue (DBD) sejauh ini masih jadi momok. Hampir tiap tahun kasus DBD selalu muncul di berbagai daerah.

Pada tahun 2024 ini, boleh dibilang terjadi ledakan kasus DBD. Bahkan, di beberapa daerah ada yang sampai menetapkan kejadian luar biasa (KLB) atau status tanggap darurat.

Kondisi ini dilakukan bukan tanpa alasan. Yang utama tentu saja adalah banyaknya orang yang terkena DBD. Bahkan, dalam waktu singkat terjadi lonjakan kasus yang sangat signifikan.

Meledaknya kasus DBD mengakibatkan penuhnya fasilitas kesehatan. Tak hanya rumah sakit saja, namun tempat rawat inap di puskesmas dan klinik kesehatan juga kewalahan menerima pasien DBD.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. DBD ini tak boleh dianggap remeh karena dapat mengancam jiwa.

Negara beriklim tropis dan subtropis berisiko tinggi terhadap penularan virus tersebut. Hal ini dikaitkan dengan kenaikan temperatur yang tinggi dan perubahan musim hujan dan kemarau disinyalir menjadi faktor resiko penularan virus dengue.

Kasus DBD di Indonesia tergolong sangat tinggi dan angkanya terus meningkat tiap tahun. Di mana, pada tahun 2021 sebanyak 73.518 kasus DBD dengan angka kematian 705 orang. Tahun 2022 sebanyak 131.265 kasus dengan angka kematian 1.183 orang.

Lantas, tidak adakah upaya dari pemerintah untuk meredam DBD? Sejauh ini sudah banyak upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Seperti sosialisasi pencegahan, dan pemahaman soal DBD hingga cara pengobatannya.

Upaya pemberantasan sarang nyamuk juga dilakukan, melalui foogging atau pengasapan. Kemudian, ada juga petugas Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yang bertugas memantau jentik nyamuk yang ada di sekeliling tempat tinggal warga.

Jumantik juga berperan mengedukasi masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan untuk memutus mata rantai hidup jentik nyamuk DBD.

Kesadaran pribadi terhadap pentingnya menjaga kesehatan, termasuk meningkatkan daya tahan tubuh, mencuci tangan, dan menjaga kebersihan lingkungan, adalah langkah-langkah preventif yang dapat diambil tiap individu. Sementara pemerintah bisa menguatkan fasilitas kesehatan tingkat pertama, contohnya pengamatan dan respons cepat terhadap setiap temuan kasus DBD.

Pencegahan DBD merupakan tanggungjawab bersama seluruh masyarakat dan pemerintah. Dengan menjalankan mekanisme pencegahan yang terstruktur, kita berharap kesehatan masyarakat secara keseluruhan dapat terlindungi.

Meski demikian, sejauh ini masih banyak masyarakat yang abai untuk bersama-sama melakukan upaya pencegahan. Padahal, caranya juga cukup mudah dengan melakukan gerakan 3M, yakni menguras air di penampungan, menutup rapat tempat penampungan air, dan mengubur atau memanfaatkan kembali barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.

Penyakit demam berdarah disebabkan virus dengue yang ditularkan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua nyamuk itu menggigit pada pagi hari sampai sore menjelang petang. Gejala umumnya timbul empat hingga tujuh hari sejak gigitan nyamuk, dan dapat berlangsung selama 10 hari.

Hingga kini, penyakit DBD ini belum ditemukan vaksinnya. Upaya yang dilakukan lebih ditekankan pada pencegahan dan pemberantasan nyamuk dewasa supaya tidak berkembang biak dengan leluasa.

Banyak pihak berharap agar vaksin DBD ini segera ditemukan. Adanya vaksin dinilai lebih memaksimalkan penanganan DBD ini.

Mereka mengaca pada penanganan Covid-19. Di mana, wabah Covid-19 yang melanda seluruh dunia selama beberapa tahun bisa diredakan dengan dukungan vaksin.

Lantas, sudah perlukah vaksin DBD ini? Bisa jadi, keberadaan vaksin ini memang sangat perlu mengingat kasus DBD terus muncul dari tahun ke tahun. Apalagi, korban jiwa akibat DBD juga tidak sedikit jumlahnya.

Semoga, segera ditemukan vaksinnya dan kasus DBD dapat ditekan semaksimalnya. (*)

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler