Ada ratusan anak yang telah dikirimkan ke sana. Pengiriman anak bermasalah itu dinilainya sebagai solusi mengatasi kenalakan anak dan remaja.
Kebijakan Dedi Mulyadi pun menuai pro-kontra. Bahkan, ia dilaporkan ke Komnas HAM hingga ke kepolisian.
Namun, Dedi Mulyadi tetap kukuh pada kebijakannya itu. Kebijakan itu sendiri juga diapresiasi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi alias Kak Seto.
Bahkan, Kak Seto pun terjun langsung ke lokasi untuk mengecek kondisi anak-anak. Ia pun memastikan pelaksanaan pendidikan karakter di sana tetap menghormati dan melindungi hak anak.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai juga mendukung kebijakan itu. Ia pun berharap pendidikan di barak militer itu bisa diterapkan di seluruh Indonesia jika terbukti berhasil di Jawa Barat (Jabar).
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita mengurai ada yang menjadi penyebab kenakalan atau perilaku menyimpang anak remaja.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mulai mengirimkan anak-anak bermasalah ke barak TNI di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (10/5/2025).
Ada ratusan anak yang telah dikirimkan ke sana. Pengiriman anak bermasalah itu dinilainya sebagai solusi mengatasi kenalakan anak dan remaja.
Kebijakan Dedi Mulyadi pun menuai pro-kontra. Bahkan, ia dilaporkan ke Komnas HAM hingga ke kepolisian.
Namun, Dedi Mulyadi tetap kukuh pada kebijakannya itu. Kebijakan itu sendiri juga diapresiasi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi alias Kak Seto.
Bahkan, Kak Seto pun terjun langsung ke lokasi untuk mengecek kondisi anak-anak. Ia pun memastikan pelaksanaan pendidikan karakter di sana tetap menghormati dan melindungi hak anak.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai juga mendukung kebijakan itu. Ia pun berharap pendidikan di barak militer itu bisa diterapkan di seluruh Indonesia jika terbukti berhasil di Jawa Barat (Jabar).
Namun, sudah tepatkah mengirimkan anak-anak bermasalah ke barak TNI?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita mengurai ada yang menjadi penyebab kenakalan atau perilaku menyimpang anak remaja.
Jangan-jangan...
Jangan-jangan, para orang tua sendiri lah yang membuat mereka bermasalah. Itu secara eksplisit dijelaskan dalam Bukhari dalam hadis riwayatnya.
Di mana, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci. Kedua orang tuanyalah yang anaknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Psikolog UMK, Dr Trubus Raharjo menyebutkan, salah satu penyebabnya yakni ketiadaan sosok ayah dalam kehidupan seorang anak.
Ia mengatakan, kehadiran ayah sangat penting. Peranannya tak hanya pada tumbuh kembang anak, namun juga membentuk karakter anak.
Keluarga memang menjadi tempat pertama dan utama bagi anak. Di mana, ayah dan ibu memiliki peranan penting meski, berbeda satu sama lainnya.
’’Kalau salah satu tidak ada, akan ada ketimpangan,’’ ujarnya, usai seminar parenting di Aula Gedung PPNI Kabupaten Kudus, Minggu (10/11/2024)
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN Wihaji menyebut, sekitar 80 persen anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa peran aktif ayah alias fatherless.
Stigma masyarakat, sosok ayah hanyalah sebagai figur pencari nafkah. Tugasnya pun dianggap sudah cukup dengan hanya menyediakan nafkah secara ekonomi.
Pergi Pagi Pulang Pagi...
Tak jarang melihat sosok ayah yang akhirnya pergi pagi pulang pagi hanya untuk mengais rezeki. Kondisi itu pun membuat ayah kehilangan banyak momen dalam proses tumbuh kembang anak.
”Ayah hanya hadir ketika bayar SPP, bayar uang saku, uang kos, di luar itu tidak ada,” kata Wihaji.
Dalam islam sendiri, orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam mendidik anak. Itu sebagaimana dalam Alqur’an Surat At Tahrim ayat 6.
”Wahai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Surat At-Tahrim ayat 6).
Tanpa disadari, para orang tua sendiri telah terjerat dalam sistem kapitalisme. Mereka hanya disibukkan mengejar materi.
Fenomena sekarang, ayah dan ibu sudah disibukkan dengan bekerja. Anak-anak mereka pun dititipkan ke kakek-neneknya, bahkan penitipan anak.
Saat anak-anak pulang sekolah sendiri, sekitar 14.00 WIB, mereka tak mendapati orang tuanya di rumah. Sebab, para orang tua baru pulang sekitar pukul 16.00 WIB.
Parahnya, ketika sudah berada di rumah bersama, mereka justru disibukkan dengan handphone. Dalih mereka yakni mencari hiburan untuk melepas penat dari pekerjaan mereka.
Akibatnya...
Akibatnya, interaksi pada anak pun sangat-sangat minim. Bahkan, waktu untuk sekadar membelai rambut anak-anak mereka pun lebih sedikit ketimbang men-scroll handphone mereka.
Kesibukan dalam bekerja sendiri tak lepas dari kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Di mana harga-harga kebutuhan selalu meningkat setiap tahunnya.
Padahal, nafkah untuk anak-anak tak sekadar menyekolahkan mereka, memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara materinya saja.
Mereka juga butuh nafkah batin, yakni kebutuhan akan kasih sayang seperti pelukan dan belaian atau sekadar berdialog ringan.
Selain itu, cepatnya transisi teknologi, tak sedikit membuat para orang tua gagap. Mereka bahkan kalah dari anak-anaknya.
Urusan keluarga, pekerjaan, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan memberatkan mereka untuk beradaptasi dengan gadget. Teknologi AI misalnya, masih banyak orang tua yang gagap.
Tak hanya itu, orang tua yang jauh dari ilmu-ilmu parenting makin memperparah keadaan. Sementara anak remaja, akhirnya tak menjadikan rumahnya sebagai tempatnya untuk pulang.
Mereka pun memilih pulang ke lingkungannya, jalanan yang liar. Tak jarang, mereka akhirnya mengalami salah pergaulan, seperti terlibat tawuran, balapan liar, hingga tindak kriminal.
Tawuran...
Paling hangat yakni terjadinya tawuran antarpelajar SMK di Pati, Jumat (9/5/2025). Dalam insiden itu, satu orang mengalami luka berat.
Kembali ke kebijakan Dedi Mulyadi yang mengirimkan anak bermasalah ke barak TNI. Kebijakan itu pun banyak diragukan masyarakat.
Tak sedikit yang menilai, bukan ranahnya TNI menangani anak-anak yang bermasalah. Tugas mereka memang berperang, namun bukan untuk memerangi anak-anak yang bermasalah.
Di Jepang, mengatasi anak-anak bermasalah dilakukan dengan pendekatan holistik yang melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Mereka menekankan pada disiplin, namun juga memberikan perhatian pada kebutuhan emosional dan psikologis anak, serta mendukung mereka dalam menghadapi tantangan.
Budaya disiplin itu tak lepas dari prinsip 5S, yakni Seiri (ringkas), Seiton (rapi), Seiso (bersih), Seiketsu (rawat) dan Shitseku (rajin).
Salah satu cara Jepang mendidik kedisiplinan pada anak yakni dengan mengajarkan mereka untuk membantu membersihkan lingkungan sekolah.
Guru atau wali kelas umumnya membagi dalam sebuah kelompok yang bersama-sama bertugas piket membersihkan kelas. Jadwal piket itu akan dirotasi setiap pekannya.
Diadopsi...
Cara ini pernah diadopsi di Indonesia. Kini? Mungkin masih ada, hanya tak lagi seperti dulu karena sekolah telah menyediakan petugas kebersihan.
Berbicara tepat atau tidaknya kebijakan mengirim anak bermasalah ke barak TNI, agaknya perlu ada pelibatan beberapa pihak, mulai dari sekolah, psikolog, hingga orang tua.
Sebab, anak merupakan aset yang sangat berharga bagi keluarga, lingkungan masyarakat, hingga negara. Di tangan mereka lah, estafet kehidupan akan berlanjut.
Langkah Dedi layak diapresiasi, kendati bukan absolut sebuah kebenaran. Karena ketika yang lain hanya mencemooh, ia sudah mengupayakannya.
Yang terpenting, pelajaran anak-anak tersebut jangan sampai tinggal kelas, mengingat pendidikan di barak TNI itu rencananya berlangsung enam bulan. (*)