Anugerah itu disebut Hasan Chabibie yang saat itu menjabat Pj Bupati Kudus menyebut itu sebagai bukti keseriusan Pemkab dalam memelihara, mengelola, dan mengembangkan potensi kebudayaan di Kudus.
Penghargaan ini cukup menyita perhatian. Terutama di kalangan pelaku seni. Ini jika melihat dari dinamika kegiatan berkesenian di kabupaten berjuluk Kota Kretek ini.
Melihat dinamika kesenian dalam beberapa tahun terakhir ini, rasa-rasanya, kurang pas bila Kudus menerima anugerah tersebut. Sebab banyak indikator yang menandakan kesenian di Kudus dari tahun ke tahun hanya jalan di tempat, atau terancam raib.
Indikator ini, di antaranya, makin minimnya pertunjukan seni tradisi di daerah ini. Bahkan, ada dua kesenian tradisional (konon) khas Kudus yang semakin tidak jelas juntrungannya. Satu sudah punah (kentrung golek), satunya tinggal menunggu kepunahannya (wayang klitik).
Sebelum menguliti persoalan itu, perlu diketahui ada beragam seni di dunia, bahkan pegiatnya banyak juga di Kudus. Tidak dipungkiri seni teater bisa dikatakan cukup eksis, kendati tak sedikit komunitasnya masih remang-remang.
Di sisi lain, fasilitas gedung kesenian di Kudus yang sudah cukup lama tak memiliki gedung yang benar-benar murni untuk apresiasi seni dan budaya. Sehingga dalam pementasannya memanfaatkan gedung gedung yang notabene peruntukannya tidak untuk kesenian.
PEMERINTAH Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menerima Piala Emas Anugerah Kebudayaan Indonesia Kategori Pemerintah Daerah tingkat kabupaten, Rabu (18/12/2024) lalu.
Anugerah itu disebut Hasan Chabibie yang saat itu menjabat Pj Bupati Kudus menyebut itu sebagai bukti keseriusan Pemkab dalam memelihara, mengelola, dan mengembangkan potensi kebudayaan di Kudus.
Penghargaan ini cukup menyita perhatian. Terutama di kalangan pelaku seni. Ini jika melihat dari dinamika kegiatan berkesenian di kabupaten berjuluk Kota Kretek ini.
Melihat dinamika kesenian dalam beberapa tahun terakhir ini, rasa-rasanya, kurang pas bila Kudus menerima anugerah tersebut. Sebab banyak indikator yang menandakan kesenian di Kudus dari tahun ke tahun hanya jalan di tempat, atau terancam raib.
Indikator ini, di antaranya, makin minimnya pertunjukan seni tradisi di daerah ini. Bahkan, ada dua kesenian tradisional (konon) khas Kudus yang semakin tidak jelas juntrungannya. Satu sudah punah (kentrung golek), satunya tinggal menunggu kepunahannya (wayang klitik).
Sebelum menguliti persoalan itu, perlu diketahui ada beragam seni di dunia, bahkan pegiatnya banyak juga di Kudus. Tidak dipungkiri seni teater bisa dikatakan cukup eksis, kendati tak sedikit komunitasnya masih remang-remang.
Di sisi lain, fasilitas gedung kesenian di Kudus yang sudah cukup lama tak memiliki gedung yang benar-benar murni untuk apresiasi seni dan budaya. Sehingga dalam pementasannya memanfaatkan gedung gedung yang notabene peruntukannya tidak untuk kesenian.
The New Indian Express menyebut seni teater sebagai induk dari semua pertunjukan seni. Presiden RI ke-5 Abdurrahman Wahid juga pernah mengatakan teater atau drama sama sekali tidak mengajarkan kepura-puraan, tapi justru mengajak mempelajari perilaku manusia.
Selain Teater...
Selain teater, ada seni musik, rupa, tari, wayang, serta kesenian lainnya. Namun, Kudus juga belum memiliki gedung yang murni untuk ruang apresiasi berkesenian dan kebudayaan itu.
Dulu ada Gedung Ngasirah di Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Gedung itu mulanya menjadi markas angkatan darat milik Batalion 408 dan 409 di masa kemerdekaan.
Oleh Pemkab Kudus lokasi itu kemudian dipermak menjadi Gedung Wanita yang diberi nama Gedung Ngasirah pada 1983. Mulanya, bangunan itu diperuntukkan untuk meningkatkan peran wanita sebagai gedung pertemuan sekaligus mengenang sejarah di Kudus.
Di era kejayaannya, Gedung Ngasirah kerap juga digunakan panggung apresiasi seni dan budaya. Di era 90an, banyak panggung seni tersaji, salah satunya seni musik.
Beberapa festival musik hampir tak pernah absen setiap tahunnya. Namun, lambat laun gedung itu menjadi tak terawat dan sempat menjadi tempat penyimpanan arsip sebelum akhirnya dirobohkan di era Bupati Musthofa jelang akhir kepemimpinannya.
Kemudian, ada juga Gedoeng Rakjat yang kini menjadi Taman Bojana, kawasan Simpang Tujuh Kudus. Bangunan itu juga menjadi tempat pertunjukan seni wayang orang dan ketoprak.
Gedung itu dibangun pada 1953, namun kemudian berubah menjadi gedung Bioskop Ramayana Teather. Lokasi ini juga sempat ditempati STIE Kudus (cikal bakal Universitas Muria Kudus). Namun, pada 1990an, Bioskop Ramayana tutup dan bangkrut seiring redupnya industri film nasional.
Kemudian, ada Gedung Pemuda di Jalan Ahmad Yani yang sebelumnya merupakan bangunan milik Warga Negara China. Saat era Orde Lama bangunan tersebut bernama Sasono Langen Suka yang berarti tempat untuk Bersuka Ria.
Dirobohkan...
Paska peralihan ke Orde Baru, bangunan itu kemudian direbut Kelompok Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kelompok Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) untuk selanjutnya menjadi milik negara.
Setelah menjadi milik negara kemudian namanya menjadi Gedung Pemuda. Pemerhati dan pelaku sejarah Kudus, Eddy Yusuf menuturkan, Gedung Pemuda juga sempat dikelola KNPI.
Namun, di era reformasi bangunan tersebut sempat digunakan untuk Kantor KPU untuk Pemilu 1999 namun kemudian justru dilego Bupati Kudus ketika itu, Sudarsono. Eddy pun saat itu tak mengetahui alasan penjualan bangunan bersejarah itu.
Gedung Pemuda sendiri pernah digunakan Parade Teater, lomba baca puisi dan apresiasi seni lainnnya. Sayang, setelah tak lagi di tangan pemerintah, bangunan itu sudah dirobohkan dan menjadi satu bagian dari Ruko Ahmad Yani atau Ruko Gang 4 Kudus.
Kemudian ada Sanggar Merah Putih tempat khusus di lokasi parkir Menara Kudus untuk apresiasi seni lukis. Lokasi ini juga sempat menjadi tempat pameran seni lukis.
Sayang lokasinya yang sempit sangat tidak representatif, bahkan kuncinya saat itu disebut dibawa oleh seseorang yang dipercaya namun kini telah meninggal. Bangunan itu pun akhirnya digusur menjadi area parkir ojek wisata Menara Kudus.
Setelah bangunan-bangunan itu tiada, kini mana lagi tempat apresiasi seni dan budaya yang benar-benar murni untuk para seniman mengekspresikan diri?
Sebenarnya masih ada Aula Muhammadiyah yang masih berdiri. Gedung di SMP Muhammadiyah 1 Kudus itu pernah digunakan Teater Jas Merah.
Fasilitas Berkesenian...
Kelompok Teater dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kudus itu dua kali pentas di sana, yakni pada 2023 dan 2024. Namun selebihnya, digunakan untuk acara internal Muhammadiyah Kudus dan disewakan.
Ada juga Auditorium Universitas Muria Kudus yang masih kerap digunakan pentas teater. Terakhir Teater Akar pentas di sana, Sabtu (18/1/2025.
Tapi, tetap saja itu bukan gedung yang murni untuk apresiasi seni, melainkan fasilitas gedung serba guna milik kampus. Selain dari internal, untuk meminjamnya pun harus sewa.
Sementara, untuk seni musik, sesekali digelar di GOR Tennis Indoor, Wergu Wetan. Namun, bangunan itu sedianya bukan murni untuk pertunjukan seni, melainkan gelangang olahraga.
Proses peminjamannya pun harus izin ke Dinas Pemuda dan Olahraga yang berwenang mengelola bangunan tersebut.
Kampung Budaya Piji juga kerap menggelar agenda kesenian dan kebudayaan. Ada pendapa yang bisa digunakan pertunjukkan.
Namun, untuk pentas seni teater yang membutuhkan ruang tertutup dengan ruang yang representatif sangat tidak mendukung.
Sedianya, dalam Dialog Kebudayaan di Taman Krida pada 20 Desember 2024 sempat mencuat pertanyaan terkait fasilitas untuk berkesenian dari para pelaku kesenian dan kebudayaan.
Mereka Gelisah...
Mereka gelisah tak ada lagi tempat yang benar-benar representatif untuk menunjang kemajuan kesenian dan kebudayaan di Kabupaten Kudus.
Namun, saat itu, pertanyaan tersebut kemudian dibantah seorang penulis yang hadir di agenda itu dengan menyebut sebelumnya ada Sanggar Merah Putih yang kemudian ditinggal hingga mangkrak dan akhirnya dibongkar.
Selain persoalan gedung ada juga kesenian tradisional khas yang sudah punah dan terancam punah. Kesenian tradisional khas Kudus yang sudah punah yakni Wayang Golek kentrung.
Dalam penelitian alumni ISI Yogyakarta Dian Puspita Sari disebutkan, wayang golek kentrung atau teater rakyat kentrung golek mrisip pertunjukan yang berbentuk teater rakyat yang terdapat unsur drama musik, sastra lisan dan pedalangan.
Seni kentrung yang berkembang di Indonesia merupakan pertunjukan seni tutur yang diiringi rebana dan kendang, namun di Kudus lebih hidup karena dipadukan wayang golek sebagai pelaku cerita.
Instrumennya sangat sederhana, serta penggunaan bahasa ungkap yang tidak hanya menggunakan dialog antar tokoh namun dalang juga menyuguhkan shalawat nabi, pariken-pariken dan tembang-tembang.
Pada 2010 lalu, hanya tersisa dua dalang Wayang Golek Kentrung di Kudus. Kini? Tak terdengar lagi kabarnya.
Ada juga Wayang Klitik. Satu-satunya dalang Wayang Klitik, Sutikno asal Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan.
Sepi Tanggapan...
Namun, sepinya tanggapan membuat Wayang Klitik tak lagi membumi di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sutikno sendiri sudah mencoba mengikuti perkembangan zaman yang ada, tapi tetap saja usahanya tak memuaskan.
Melihat kenyataan itu, Sutikno bahkan terpaksa mengarahkan anaknya lebih belajar ke Wayang Kulit yang lebih dikenal. Wayang Klitik pun terancam punah dengan sendirinya.
Padahal, kesenian tradisional khas Kudus itu, baik Wayang Golek Kentrung dan Wayang Klitik memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
Dan adakah yang pernah mendengar Seni Srandul dan Tayub Bocah Angon yang pada 1960an sempat populer di Colo dan sekitarnya?
Jadi Piala Emas Anugerah Kebudayaan itu pantaskah dibanggakan atau harus jadi sebuah perenungan bersama? Para pelaku, penikmat, pecinta kesenian dan kebudayaan asli, pastinya akan merintih serta menjerit dalam batinnya. (*)