Video-video menggambarkan pelajar yang tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana berseliweran.
Salah satu di antaranya, sebuah pertanyaan untuk menyebutkan ibu kota Jawa Tengah. Para siswa yang disodori pertanyaan itu pun tak bisa menjawabnya.
Sebagaimana diketahui, ibu kota Jawa Tengah yakni Kota Semarang. Namun, pertanyaan sederhana itu tak bisa dijawab.
Unggahan itu kemudian dikait-kaitkan dengan hasil Merdeka Belajar. Banyak warganet yang kemudian menyebut, kurikulum tersebut telah gagal.
Beberapa unggahan lainnya bahkan membandingkan pengelolaan pendidikan di Indonesia dengan negara lain.
Ada juga yang menyebut bila sejumlah negara tak lagi mau menerima lulusan SMA di Indonesia untuk berkuliah di kampus negara mereka.
Fenomena ini tentunya menjadi perenungan bersama. Siapa yang salah?
BANYAK unggahan di sejumlah platform media sosial yang menyinggung bahkan mengkritisi kurikulum Merdeka Belajar.
Video-video menggambarkan pelajar yang tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana berseliweran.
Salah satu di antaranya, sebuah pertanyaan untuk menyebutkan ibu kota Jawa Tengah. Para siswa yang disodori pertanyaan itu pun tak bisa menjawabnya.
Sebagaimana diketahui, ibu kota Jawa Tengah yakni Kota Semarang. Namun, pertanyaan sederhana itu tak bisa dijawab.
Unggahan itu kemudian dikait-kaitkan dengan hasil Merdeka Belajar. Banyak warganet yang kemudian menyebut, kurikulum tersebut telah gagal.
Beberapa unggahan lainnya bahkan membandingkan pengelolaan pendidikan di Indonesia dengan negara lain.
Ada juga yang menyebut bila sejumlah negara tak lagi mau menerima lulusan SMA di Indonesia untuk berkuliah di kampus negara mereka.
Fenomena ini tentunya menjadi perenungan bersama. Siapa yang salah?
Pemerintah yang kerap gonta-ganti kurikulum? Guru kah yang tak berkompten? Atau balik lagi ke diri pribadi masing-masing, yakni orang tua para siswa itu sendiri.
Untuk diketahui, Kurikulum Merdeka Belajar ini disiapkan sejak 2020 dan kemudian diterapkan serta dievaluasi bertahap sejak 2021.
Kurikulum ini berfokus pada pengembangan soft skill dan karakter, fokus pada materi esensial, serta pembelajaran yang fleksibel.
Dengan pokok pembelajaran itu, siswa diharap bisa mengembangkan dirinya sesuai minat atau bidang yang diinginkan. Tak ada lagi kotak dan sekat yang menghambat mereka.
Siswa yang ingin menjadi seorang chef misalnya, ia tentu ingin mempelajari tentang tata boga.
Namun tak cukup itu, mereka juga tetap harus mempelajari tentang matematika, biologi, kimia, bahkan sosiologi hingga bahasa asing untuk menunjang kemampuannya menjadi seorang chef.
Matematika penting dipelajari bagi seorang chef karena berkaitan perhitungan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam memasak.
Biologi dan kimia, untuk mengenal bahan-bahan dan reaksi-reaksi kimiawinya agar masakannya untuk dikonsumsi.
Sosiologi untuk mengetahui strata sosial bahkan karakter setiap masakan di suatu daerah dan bahasa asing, tentu agar bahan-bahan yang dibeli tidak keliru karena menggunakan bahasa asing.
Nah, dengan flesibilitas dalam pembelajaran membuka ruang bagi siswa untuk mengembangkan minatnya.
Konsep ini sebenarnya mendekati teori pendidikan yang cetuskan filsuf asal Brasil, Paulo Freire dalam bukunya ’’Pendidikan Kaum Tertindas’’.
Di mana, para siswa yang menjadi objek pendidikan diajak terus menerus berpikir kritis untuk menggali potensi dan minatnya. Posisi guru dan murid pun sama-sama menjadi subjek sekaligus objek.
Dengan begitu ruang dialog terbuka dan hakekat pendidikan yang sesungguhnya menuntut penemuan secara terus menerus akan terwujud. Guru dan murid sekaligus menjadi murid dan guru.
Ide kurikulum Merdeka Belajar juga digagas Ivan Illich yang juga terinspirasi pemikiran Paulo Freire. Dalam bukunya Bebas Dari Sekolah, filsuf asal Austria sadar betul sekolah merupakan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan.
Sayangnya, banyak orang-orang yang gagal bersekolah dan kemudian memunculkan stiqma bahwa pendidikan itu sangat mahal, tertutup, dan sulit dilaksanakan.
Ia pun mengkritik sistem kewajiban 12 tahun sekolah yang dilakukan Amerika dan barat. Situasi ini yang kemudian mengecilkan hati orang miskin dan melumpuhkan semangat mereka untuk menguasai pengetahuan sendiri.
Sehingga, sekolah diibaratkan layaknya jalan tol. Siapa yang mampu bayar, mereka lah yang bisa menikmatinya, tapi tidak bagi yang tak mampu.
Sama seperti Paulo Freire, kebebasan belajar dan berfikir. Kebebasan itu pun dapat menimbulkan daya kreatifitas anak.
Dalam agama Islam sendiri, mendorong pembelajaran dengan membuka ruang dialog. Ini diterangkan dalam Alquran An-Nahl Ayat 125.
Meski begitu, dalam proses pembelajaran itu harus menghargai perbedaan pendapat dan mengajarkan cara berkomunikasi yang efektif dan penuh rasa hormat.
Tak hanya itu, dalam Islam, tugas mendidik bukan lah sepenuhnya menjadi ranah pendidik atau guru. Orang tua justru memiliki peranan yang sangat besar dalam mendidik anaknya.
Dalam Alqur’an Surat At Tahrim ayat 6 menyiratkan tanggung jawab besar orang tua dalam mendidik, membimbing, dan mengasuh anak.
’’Wahai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’’ (Surat At-Tahrim ayat 6).
Bukhari dalam hadis riwayatnya juga menjelaskan, bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci. Kedua orang tuanyalah yang anaknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Imam Al Ghazali juga mengingatkan, orang tua tak hanya bertanggung jawab pada pengasuhan anak saja. Namun juga memikul tanggung jawab pendidikan karakter anak mereka.
’’Jika orang tua membiasakan dan mengajarkan kebaikan, maka anak akan tumbuh dalam kebaikan dan bahagialah orang tuanya di dunia dan akhirat. Ia pun akan mendapat pahala dari amal saleh yang dilakukan anaknya (tanpa mengurangi hak pahala anak).
Demikian juga berlaku bagi setiap guru dan pendidik. Jika ia membiasakan keburukan dan membiarkan anaknya seperti membiarkan binatang ternak, maka ia akan celaka dan binasa. Sementara dosanya juga ditanggung pengasuh dan walinya,’’ (Imam Al-Ghazali).
Bila orang tua abai, akhirnya lingkunganlah yang mencetak anak-anak kita. Ya, bila lingkungan yang melingkari anak-anak kita baik. Bagaimana bila tidak?
Setega itukah orang tua ’’melepasliarkan’’ anak-anak mereka. Ketika terjerumus dalam kesesatan, mereka justru menyalahkan guru anak-anak mereka dan sekolah.
Dan begitu tegakah orang tua seakan ’’wajib’’ membebankan anak-anak mereka menjadi seperti apa yang menjadi keinginannya. Membelenggu kreativitasnya, imajinya, dan cita-citanya.
Ingatlah syair Kahlil Gibran, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Benar mereka terlahir dari darah dan dagingmu, tapi anakmu bukanlah dirimu.
’’Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan’’. (*)