Sengketa Pilpres 2024 Usai, Saatnya Kembali Mempererat Persatuan
Zulkifli Fahmi
Senin, 22 April 2024 17:49:00
Mahkamah Konstitusi, MK telah menyelesaikan proses panjang sengketa Pilpres 2024. MK memutuskan menolak seluruh permohonan para pemohon Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden 2024.
Dengan keputusan itu, maka hasil Pilpres 2024 telah sah, yakni menetapkan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI terpilih dan Gibran Rakabuming Raka jadi Wakil Presiden terpilih.
Kini pasangan Prabowo-Gibran tinggal menunggu hari pelantikan mereka. Rencananya, pelantikan dilakukan pada Oktober 2024 mendatang.
Hal-hal yang telah ditudingkan para pemohon, semuanya telah ditolak Hakim. Seperti tudingan cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi), bansos jor-joran untuk pemenangan Pilpres 2024, serta tudingan tak netralnya KPU-Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Dalil-dalil yang disampaikan para pemohon itu tidak cukup bukti meskipun para pemohon telah menghadirkan saksi dan saksi ahli serta barang buktinya. Akibatnya dalil itu pun tidak beralasan menurut hukum.
Keputusan MK ini sendiri sudah menjadi prediksi para pakar hukum tata negara serta perludem. Di mana salah satu prediksinya, MK tak akan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.
Sengketa Pilpres 2024 pun telah berakhir setelah bola panasnya dipadamkan di Gedung MK. Meski tak seluruh hakim konstitusi sepakat untuk menolaknya gugatan. Namun, mayoritas hakim konstitusi sepakat menolak seluruh permohonan dari pemohon.
Kini, hasil Pilpres 2024 telah sah. Masyarakat pun mau tidak mau harus menghormati keputusan tersebut. Baik dari pemilih Pasangan Capres-Cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Berbeda pilihan adalah bentuk dari demokrasi. Kedewasaan berdemokrasi telah ditunjukkan Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud dengan mengajukan permohonan gugatan ke MK agar konstitusi lah yang menilainya.
Meski riak-riak kecurigaan, dan pemikiran negatif tetap muncul. Namun semua itu tetap harus dilepaskan.
Lupakan fanatisme. Karena sikap fanatik merupakan sifat yang muncul dari sebuah kebodohan. Begitulah sang Pencerah KH Ahmad Dahlan membimbing para muridnya.
Dengan melepaskan fanatisme, artinya kita harus cerdas dalam memilih maupun merelakan kekalahan. Salah satunya yakni, dengan terus memberikan kritik-kritik yang membangun agar negeri ini selaras dengan apa yang dicita-citakan para pendirinya, para pejuang kemerdekaan.
Jangan sampai ada perpecahan. Jangan mau diadu domba.
Seorang khatib dalam khotbah salat Jumat (19/4/2024) lalu di sebuah masjid di Kabupaten Kudus, mengingatkan bahwa sifat umat Islam bukanlah mereka yang suka saling menghujat, mengghibah, atau menjelek-jelekkan, meski pun kejelekan itu fakta adanya.
Bahkan, pahala ratusan salat atau amalan lainnya bisa terkotori dan hilang hanya karena kebiasaan kita membicarakan keburukan orang lain, meskipun orang tersebut benar-benar buruk sifatnya. Umat Islam haruslah dapat menutup mulutnya dan tak membicarakannya, karena itu bisa jadi sebuah aib.
Tugas umat Islam adalah mengingatkannya dengan cara yang haq. Selama mereka tidak menzalimi umat Islam, menzalimi lingkungan, dan menzalimi persatuan bangsa, maka sepatutnya kita mendoakan kebaikan bagi mereka.
Maka dari itu, saatnya kita kembali mempererat persatuan, menjalin persaudaraan, merajut kebhinekaan. Jangan ada lagi saling ejek, menjatuhkan, apalagi fitnah.
Tahan mulut untuk tak membicarakan keburukan. Tahan jemari agar tak menuliskan kata-kata yang tak pantas dan berujung perpecahan. Mumpung masih bulan Syawal, tidak ada salahnya kita saling bermaaf-maafan pada kubu-kubu sebelah dan saling mendoakan untuk kebaikan masing-masing.
Semoga Allah, Tuhan Semesta Alam senantiasa merahmati Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. (*)