Minggu, 26 Januari 2025

PENTINGNYA kemandirian pangan kembali ditegaskan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat meresmikan pabrik amonium nitrat PT Kaltim Amonium Nitrat di Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur, Kamis (29/2/2024).

Di kesempatan itu Jokowi banyak negara mengalami yang namanya krisis pangan. Negara-negara itu pun mulai menerapkan kebijakan pembatasan bahkan penghentian ekspor bahan pangan, utamanya gandum dan beras.

Indonesia yang biasa mengimpor dari 22 negara penghasil beras pun harus mencari-cari. Terutama mencari negara yang mengalami surplus beras, seperti Thailand dan Vietnam.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian menyebut Thailand masih perkasa dan surplus beras karena kebutuhan pangan mereka lebih sedikit dengan Indonesia.

Menurut Data Moneter Internasional (IMF) populasi Negeri Gajah Putih itu sekitar 70,27 juta jiwa. Sedangkan Indonesia sekitar 270 juta jiwa. Sangat jomplang bila dibandingkan.

Dengan kondisi jumlah populasi yang sedikit, kebutuhan konsumsi beras di sana hanya 11 juta ton per tahun. Sementara di Indonesia, sekitar 30,8 juta ton per tahun.

Melihat data itu, sebenarnya Indonesia masih surplus tipis. Sebab, menurut data BPS, pada 2023 luas panen padi di Indonesia diperkirakan sebesar 10,20 juta hektare dengan produksi padi sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG) bila dikonversi ke beras diperkirakan sebesar 30,90 juta ton.

Upaya kemandirian pangan sendiri bukan barang baru di Indonesia. Bahkan, sudah digembor-gemborkan sejak Presiden pertama RI, Ir Soekarno dengan slogan berdikarinya alias, berdiri di atas kaki sendiri.

Sebagai negeri agraris, Indonesia berhasil dikenal menjadi negara pengimpor beras terbesar pada 1966. Selain itu, Indonesia juga mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri melalui swasembada beras pada 1984.

Bila menilik sejarahnya, Thailand dan Vietnam yang kini jadi raja ASEAN di sektor pertanian dulunya justru merguru dengan Indonesia.

Pengamat pertanian Bustanul Arifin dalam dialog pertanian di Gedung BRI Sudirman, Jakarta pada 2013 lalu, Thailand dan Vietnam mengirimkan perwakilannya untuk berguru dengan Indonesia. Mereka datang sejak 1974-an. Tak hanya dua negara itu, Bangladesh juga ikut belajar dengan Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan tentu, kenapa pertanian mereka kini perkasa dan meninggalkan Indonesia? Bustanum Arifin pun menyebut manajemen penyaluran beras yang menjadi persoalan utamanya.

Kini, diketahui manajemen penyaluran atau rantai niaga beras cukup panjang. Gabah hasil panen petani dibeli tengkulak, kemudian dari tengkulak dibeli produsen untuk dikonversi menjadi beras, setelah itu barulah sampai ke pasar. Panjangnya rantai niaga itu bahkan sampai memunculkan istilah beras kesel.

Di samping manajemen penyaluran beras, persoalan lainnya yakni letak lahan pertanian Indonesia yang beragam. Sebagai negara kepulauan dengan ragam geografis pulaunya, tentu beragam pula persoalannya.

Di daerah pegunungan, dihantui dengan longsor, di dataran rendah diancam banjir. Terbaru, dua wilayah penghasil beras di Jawa Tengah, Grobogan dan Demak dihantam banjir besar.

Catatan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi Jateng, total sawah yang terendam banjir di Grobogan dan Demak mencapai 8.841 hektare. Rinciannya, 5.401 hektare di Grobogan dan seluas 3.422 hektare di Demak.

Dari jumlah itu, sawah yang mengalami puso di Grobogan seluas 440 hektare, sedang di Demak mencapai 1.975 hektare.

Belum lagi masalah di wilayah perkotaan, yang sudah makin sempit lahan pertaniannya karena percepatan pembangunan yang dilakukan pemerintah mapun pengembang.

Kemandirian pangan pun menjadi tantangan ke depan bagi Indonesia. Belum lagi, salah satu paslon dalam Pilpres 2024 memprogramkan makan siang gratis bila terpilih untuk memimpin Indonesia.

Kebutuhan pangan untuk memenuhi program itu pun diperkirakan akan bertambah. Tak hanya pada komoditas beras, tapi juga sayur mayur, perikanan, peternakan ayam potong dan sapi potong, hingga peternakan ayam petelor serta sapi perah.

Pemerintah mestinya mulai memikirkan langkah-langkah strategis dengan melibatkan banyak pihak. Apalagi Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau dengan total luas daratan mencapai 1,91 juta km persegi. Sementara luas perairannya, mencapai 6,32 juta km persegi.

Potensi sebesar itu tentunya bisa mengalahkan Thailand dan Vietnam. Namun, dalam menciptakan sebuah kebijakan pangan, kajian yang matang dan jangan asal serampang sana sini menjadi harapan bersama.

Kebijakan food estate yang menjadi upaya pemerintah dalam mendongkrak hasil pangan juga perlu ditinjau kembali. Jangan sampai ironi singkong berbuah jagung kembali terjadi. Kajian-kajian dengan melibatkan masyarakat adat, ahli, dan petani sangat diperlukan.

Selain itu, dorong pula upaya pertanian modern yang tak hanya berhenti pada alat-alat pertaniannya. Namun, juga metode penanaman modern yang bisa diterapkan tanpa batas ruang perlu digerakkan masif.

Misalkan menggiatkan pertanian hidroponik, aquaponik, maupun vertikultur di lahan-lahan sempit. Gerakkan pula masyarakat untuk melakukan kemandirian pangan di lahannya sendiri dengan metode-metode modern itu. Ajak pula kalangan muda untuk terlibat dalam menggiatkan pertanian-pertanian tersebut.

Dan yang tak kalah penting adalah, kemandirian pangan dalam produksi pupuk. Perlu juga langkah-langkah pemerintah untuk mencegah terjadinya residu kimia akibat pupuk unorganik yang justru dapat mengancam.

Pengelolaan sampah menjadi pupuk maupun pestisida organik perlu digalakkan pemerintah agar lahan pertanian tetap asri dan dapat tetap ditanam serta produk pertanian yang dihasilkan aman bagi masyarakat. Maksimalkan seluruh potensi yang ada.(*)

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler