AWAN gelap masih menyelimuti sepak bola Indonesia. Tragedi demi tragedi kembali terjadi dalam iklim sepak bola di Indonesia.
Terbaru, aksi pelemparan batu ke bus Persis Solo, Sabtu (28/1/2023) petang. Meski tak ada korban jiwa, peristiwa itu telah merusak semangat sepak bola damai yang digaungkan.
Bagaimana tidak, akibat ulah oknum suporter goblok (maaf), carut marut sepak bola makin ketara. Fans klub yang tak terkontrol ini buah tak adanya kedewasaan.
Abduh Lestahulu dalam InstaStory nya pun sempat mengumpat rusaknya sepak bola Indonesia. Liga Rusak, Wasit Rusak, Suporter Rusak. Meski belakangan instastorynya itu dihapus, namun sempat terekam oleh beberapa awak media.
Ungkapan ’’Liga Rusak, Wasit Rusak, Suporter Rusak’’ agaknya memang saling berkaitan. Di mana, pengelola liga hanya mengedepankan keuntungan, kualitas wasit kurang mantap, dan akibatnya suporter terpancing emosinya.
Jika pengelola liga hanya mengedepankan keuntungan, baik dari bagi hasil penyiaran maupun pendapatan tiket, tentunya hal-hal yang berisiko pun terabaikan.
Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 menjadi bukti nyata. Di mana, pihak kepolisian sempat mengusulkan agar laga digelar siang atau sore hari untuk mencegah hal yang tak diinginkan.
Usulan itu pun tak digubris pihak liga dan tetap ngotot menggelar laga Arema Malang vs Persebaya Surabaya malam hari. Benar saja, usai laga derbi Jawa Timur itu, suporter tak terkontrol hingga 135 orang tewas dan 583 luka-luka.
Keputusan PSSI menghentikan Liga 2 dan Liga 3 juga membuahkan protes yang masif. Para suporter klub di liga itu pun disebut melakukan beragam aksi sebagai bentuk protes.Arema pun jadi korbannya. Bus pemain mereka dilempari usai bermain melawan PSS Sleman di Yogyakarta. Aksi itu disebut sebagai bentuk protes pada PT LIB yang tidak menghukum Arema.Arema telah dicap tak punya hati pada para korban tragedi Kanjuruhan dengan tetap melanjutkan keikutsertaannya dikompetisi. PT LIB juga dicap tak tegas karena tak memberi hukuman secara tegas pada Arema.Kemudian, saat kualitas wasit tak mantab, para suporter akan terpancing emosinya. Apalagi jika keputusannya itu merugikan dan cenderung tak fair.Keputusan-keputusan kontroversi seperti memberikan pinalti atau tidak, kemudian pelanggaran berbahaya yang hanya berbuah peringatan ringan masih banyak ditemui.Kondisi ini pun membuat pihak-pihak yang ingin mengembangkan sepak bola maupun bermain di Indonesia harus kembali berpikir ulang.Jangankan luar negeri, dari dalam negeri pun pastinya bakal pikir ulang. Para pemain pun juga ketar-ketir, khawatir jadi korban.Kini, PSSI segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) untuk pemilihan pengurus baru. Ketua DPD RI yang juga mantan Ketua Umum PSSI La Nyalla dan Menteri BUMN Erick Thohir disebut sebagai kandidat kuat.Tentu besar harapan pecinta sepak bola Indonesia kongres itu menghasilkan kepengurusan yang betul-betul peduli dengan sepak bola. Tak sekadar memikirkan keuntungan, prestasi, namun juga tata kelola liga, klub, suporter, hingga pembinaan pemain. Dan, menghapus praktik-praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam sepak bola. Tentunya itu jadi PR besar mereka nanti. (*)
[caption id="attachment_307204" align="alignleft" width="300"]
Zulkifli Fahmi
[email protected][/caption]
AWAN gelap masih menyelimuti sepak bola Indonesia. Tragedi demi tragedi kembali terjadi dalam iklim sepak bola di Indonesia.
Terbaru, aksi pelemparan batu ke bus Persis Solo, Sabtu (28/1/2023) petang. Meski tak ada korban jiwa, peristiwa itu telah merusak semangat sepak bola damai yang digaungkan.
Bagaimana tidak, akibat ulah oknum suporter goblok (maaf), carut marut sepak bola makin ketara. Fans klub yang tak terkontrol ini buah tak adanya kedewasaan.
Abduh Lestahulu dalam InstaStory nya pun sempat mengumpat rusaknya sepak bola Indonesia. Liga Rusak, Wasit Rusak, Suporter Rusak. Meski belakangan instastorynya itu dihapus, namun sempat terekam oleh beberapa awak media.
Ungkapan ’’Liga Rusak, Wasit Rusak, Suporter Rusak’’ agaknya memang saling berkaitan. Di mana, pengelola liga hanya mengedepankan keuntungan, kualitas wasit kurang mantap, dan akibatnya suporter terpancing emosinya.
Jika pengelola liga hanya mengedepankan keuntungan, baik dari bagi hasil penyiaran maupun pendapatan tiket, tentunya hal-hal yang berisiko pun terabaikan.
Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 menjadi bukti nyata. Di mana, pihak kepolisian sempat mengusulkan agar laga digelar siang atau sore hari untuk mencegah hal yang tak diinginkan.
Usulan itu pun tak digubris pihak liga dan tetap ngotot menggelar laga Arema Malang vs Persebaya Surabaya malam hari. Benar saja, usai laga derbi Jawa Timur itu, suporter tak terkontrol hingga 135 orang tewas dan 583 luka-luka.
Keputusan PSSI menghentikan Liga 2 dan Liga 3 juga membuahkan protes yang masif. Para suporter klub di liga itu pun disebut melakukan beragam aksi sebagai bentuk protes.
Arema pun jadi korbannya. Bus pemain mereka dilempari usai bermain melawan PSS Sleman di Yogyakarta. Aksi itu disebut sebagai bentuk protes pada PT LIB yang tidak menghukum Arema.
Arema telah dicap tak punya hati pada para korban tragedi Kanjuruhan dengan tetap melanjutkan keikutsertaannya dikompetisi. PT LIB juga dicap tak tegas karena tak memberi hukuman secara tegas pada Arema.
Kemudian, saat kualitas wasit tak mantab, para suporter akan terpancing emosinya. Apalagi jika keputusannya itu merugikan dan cenderung tak fair.
Keputusan-keputusan kontroversi seperti memberikan pinalti atau tidak, kemudian pelanggaran berbahaya yang hanya berbuah peringatan ringan masih banyak ditemui.
Kondisi ini pun membuat pihak-pihak yang ingin mengembangkan sepak bola maupun bermain di Indonesia harus kembali berpikir ulang.
Jangankan luar negeri, dari dalam negeri pun pastinya bakal pikir ulang. Para pemain pun juga ketar-ketir, khawatir jadi korban.
Kini, PSSI segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) untuk pemilihan pengurus baru. Ketua DPD RI yang juga mantan Ketua Umum PSSI La Nyalla dan Menteri BUMN Erick Thohir disebut sebagai kandidat kuat.
Tentu besar harapan pecinta sepak bola Indonesia kongres itu menghasilkan kepengurusan yang betul-betul peduli dengan sepak bola. Tak sekadar memikirkan keuntungan, prestasi, namun juga tata kelola liga, klub, suporter, hingga pembinaan pemain. Dan, menghapus praktik-praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam sepak bola. Tentunya itu jadi PR besar mereka nanti. (*)