”TUGAS pengawas pemilu akan diuji. Jalin kerjasama dengan masyarakat luas untuk mengawasi tahapan pilkada. Laporan publik akan sangat membantu tugas yang ada,”
Kalimat itu tentu masih diingat betul oleh Panwaslu Kabupaten Jepara. Apalagi, kalimat bernada imbauan sekaligus perintah itu keluar dari mulut seorang Kadiv Organisasi dan SDM Bawaslu Jawa Tengah, Teguh Purnomo, saat mengisi Rakor dengan Mitra Kerja pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di Jawa Tengah di Hotel d’Season Jepara, Kamis (20/10/2016).
Secara arti, kalimat itu tentu sudah biasa dilontarkan menjelang pilkada. Terlebih lagi, pilkada akan digelar serentak 2017 mendatang. Namun, ada hal yang menarik yang menjadikan kalimat tersebut seperti cambuk untuk menilai kinerja Paswaslu Kabupaten.
Ya, itu tentang kewenangan baru Bawaslu tentang politik uang (money politics).
Kewenangan pertama, Bawaslu bisa memberikan sanksi berat bagi si pemberi dan penerima uang ’panas’. Bahkan, mereka bisa membawa mereka ke ranah hukum. Kedua, dengan adanya temuan tersebut Bawaslu bisa mendiskualifikasi calon yang terbukti melakukan money politics yang dilakukan secara masif.
Dengan kewenangan tersebut, tangan panjang Bawaslu di tingkat kabupaten yakni Panwaslu Kabupaten harus bekerja ekstra. Pekerjaan tersebut juga wajib dilakukan sejak tahapan Pilkada dimulai. Karena itulah, wajar jika Kadiv Organisasi dan SDM Bawaslu Jawa Tengah, Teguh Purnomo mengatakan kalau tugas panwas diuji.
Hanya, jika dilihat lebih seksama, aturan baru tersebut memang tidaklah mudah. Money politics sendiri seakan sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat. Tiap kali ada calonan, baik Pilihan Bupati, DPRD, hingga Pilihan Kepala Desa selalu ada uang yang mengalir ke pemilik suara.
Ironisnya, semua orang tahu akan hal itu, termasuk KPU Kabupaten, Panwaslu Kabupaten, partai politik, pemkab, polisi, hingga wartawan. Namun, saat mereka ingin mengungkap, tak ada bukti yang didapat. Kalaupun ada bukti dan diproses jumlahnya tidak lebih dari 5 persen dari pelaku money politics.
Masyarakat pun seolah-olah sama-sama tahu dan sama-sama butuh. Mereka pun menganggap money politics sebagai salah satu jual beli, antara pedagang dan pembeli. Si pedagang adalah masyarakat dengan suaranya sedangkan si pembeli adalah Paslon Peserta Pilkada yang butuh suara.
Salah satu teman di Jepara bahkan sempat bertanya kebenaran kewenangan tersebut yang diberitakan MuriaNewsCom. Ia pun langsung tertawa terbahak-bahak ketika saya jelaskan. Ia menilai, di kalangan masyarakat umum, hal itu tak akan ditemukan bukti. Apalagi, mereka bisa diseret ke meja hijau.
Bahkan, ia berani bertaruh Rp 1 juta jika ada temuan money politics di Jepara yang terbukti dan berhasil disidangkan secara hukum. Dan anehnya, tak ada yang berani menerima tantangan tersebut, termasuk saya. Entah karena sudah tak yakin pada kinerja Panwas atau karena realita masyarakat yang sudah bisa dibaca.Hanya, bukan berarti aturan tersebut lemah. Saya pun yakin panwas bisa bekerja sangat baik. Dengan catatan tugas Panwas harus digiatkan mulai dari sekarang. Salah satunya mengajak partai dan calon untuk menandatangani fakta intergitas untuk tidak main uang dalam pemilihan.Sebagai tokoh intelektual, mereka memegang kendali untuk mengucurkan uang. Bayangkan saja, jika calon berani tegas menolak politik uang dan berani menyerukan akan memecat oknum yang main-main dengan uang, tentu itu menjadi angin segar. Tapi jangan hanya manis di bibir ya pak..Di sisi lain, sosialisasi terkait money politics terutama penerima dan pemberi harus dilakukan hingga ke desa-desa. Terlebih lagi tahapan Pilkada sudah mencapai pengundian nomor urut. Pasangan calonnya pun hanya dua, yakni Subroto – Nuryahman (No 1) dan Ahmad Marzuqi – Dian Kristiandi (No 2).Sosialisasi yang dilakukan bisa dengan spanduk terkait stop money politics. Jika mereka terkendala dana, Panwaslu Jepara bisa kerjasama dengan KPU Jepara untuk menyisipkan imbauan penerima dan pemberi bisa kena sanksi berat hingga ke ranah hukum. Saya yakin KPU bisa menjembatani. Apalagi itu hanya soal design.Panwaslu Jepara juga bisa mengumpulkan Panwascam untuk terjun langsung menyosialisasi ke imbauan ke tingkat desa. Tiap desa bisa diberi penjelasan bahaya penerima uang panas dan selebaran untuk disampaikan ke masing-masing RT. Atau kalau perlu Panwas juga menggandeng Polisi yang tergabung dalam babinkantibmas untuk turun ke masyarakat.Hal itu dilakukan untuk menggiring pengetahuan masyarakat terkait sanksi yang diterima penerima dan pemberi. Jika pengetahuan terbentuk, masyarakat akan bisa lebih cerdas untuk menolak money politics. Terlebih, di tingkat desa banyak masyarakat yang tergiur ketika diiming-imingi uang untuk mencari suara. Bahkan mereka juga mudah percaya dengan janji jika paslon yang didukung.Selain itu, panwaslu juga harus membuka layanan aduan atau temuan money politics. Baik itu aduan ke kantor langsung selama 24 non stop, aduan melalui layanan seluler, hingga aduan di media sosial. Setiap petugas pun diwajibkan melihat akun media sosial masing-masing, untuk memantau aduan.Mereka yang mengadu juga harus diberi perlindungan hukum. Identitas dan pendampingan harus dilakukan. Jangan sampai, mereka dituntut balik setelah bukti dan fakta diputar balik hingga akhirnya diseret ke ranah hukum karena dianggap melakukan pencemaran.Karena itulah, kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan. Pemerintah mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, hingga pusat, serta petugas keamanan harus kompak untuk melawan money politics.Tapi sekali lagi itu tidak isntan. Panwaslu dan anggotanya termasuk Panwascam harus berani lelah, letih, dan tekor bensin serta tenaga untuk hal itu. So.. jangan mudah menyerah.(*)