Alat Kontrasepsi dan Pelajar
Supriyadi
Kamis, 15 Agustus 2024 20:23:00
ALAT kontrasepsi saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di sejumlah kalangan, khususnya di kalangan pendidikan. Hal ini menyusul disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang menerapkan pedoman penting tentang pelayanan kesehatan reproduksi untuk usia sekolah dan remaja.
PP yang diterbitkan pada 27 Juli itu sebenarnya aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 Tetang Kesehatan. Dalam PP ini mengatur urgensi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk penyediaan alat kontrasepsi.
Hal itu tertuang dalam pasal 103 ayat 3 dan 4. Bahkan penyediaan alat kontrasepsi itu tertuang di ayat 4 di pasal 103 pada hurif d. Penyediaan alat kontrasepsi inilah yang menuai pro dan kontra.
Kelompok kontra ini kebanyakan menyoroti penyediaan alat kontrasepsi ini menyalahi nilai luhur pendidikan. Terlebih lagi amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama sudah pasti tak sejalan dengan aturan penyediaan alat kontrasepsi di kalangan pelajar.
Mereka khawatir, dengan disediakannya alat kontrasepsi justru membuat rasa ingin tahu akan mereka akan semakin tinggi. Alih-alih membuat mereka paham akan edukasi alat kontrasepsi, kebijakan tersebut malah menjembatani pelajar untuk lebih ’berani’ dalam melakukan seks bebas.
Dengan adanya alat kontrasepsi yang seolah-olah ’dibolehkan untuk dipakai kapan saja’ dikhawatirkan akan menghancurkan moral generasi bangsa.
Hal inilah yang membuat gelombang penolakan terjadi di berbagai lini pendidikan.
Sementara, di kalangan yang pro dengan kebijakan ini justru sebaliknya. Mereka mengembalikan aturan ini pada niatan awal pemerintah. Yakni menghindari pelajar dari seks bebas dan pernikahan dini.
Diakui atau tidak, seks bebas dan pernikahan dini saat ini sudah merabah ke semua tingkatan pendidikan. Utamanya jenjang sekolah menengan pertama dan sekolah atas.
Buktinya, banyak daerah yang mengalami permihonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Ironisnya, rata-rata pemohon dispensasi ini sudah mengalami kecelakaan hamil duluan atau maried by accident.
Dari sinilah sebenarnya pemerintah ingin menyelamatkan generasi penerus bangsa. Apalagi, para remaja yang menikah muda, mayoritas tidak bisa mendapatkan hidup layak sesuai dengan cita-citanya.
Dari sinilah, pemerintah mencoba menghindari gelombang seks bebas yang sangat tak terarah dengan kebijakan ini. Diakui atau tidak pelajar tingkat SMP dan SMA belum bisa berfikir dengan realistis.
Dengan rayuan gombal saja, mereka bisa memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pasangannya yang hanya berdasarkan cinta monyet. Bahkan dengan bekal kepercayaan itu, mereka bisa saja melakukan hubungan terlarang.
Nah dari sinilah seharusnya kita bisa lebih bijak. PP tersebut boleh saja dikritik. Artinya harus ada saran perbaikan. Misalkan saja, menteri pendidikan diwajibkan untuk menambah pendidikan moral dan agama sejak pendidikan usia dini.
Hal ini tak lepas dari sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem garis tegak lurus dengan pemerintah. Setelah moral dan agama ditata sejak dini mereka akan memiliki modal sebagai tameng untuk menentukan benar dan salah.
Selain itu, kita juga harus mengetahui dampak positif itu kebijakan tersebut. Beberapa di anataranya berupa, penurunan tingkat kehamilan, penurunan tingkat kelahiran, penurunan tingkat aborsi, terutama di kalangan remaja dan perempuan muda.
Kasus stunting atau tengkes, gangguan janin pada ibu hamil, merupakan potret permasalahan yang menuntut semua pihak tak boleh tutup mata. Semua itu merupakan risiko ketika kesehatan reproduksi tak dijaga.
Hingga kini kasus-kasus pernikahan dini masih menjadi problem di setiap daerah. Banyak pasangan berusia muda yang belum siap menjadi keluarga dan berakhir dengan perceraian.
Sebelum semua itu terjadi, perlu dipikirkan membangun pagar supaya masalah tersebut tak melebar. Khususnya edukasi tentang pendidika seks hingga pola edukasi yang tepat untuk generasi mendatang.
ALAT kontrasepsi saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di sejumlah kalangan, khususnya di kalangan pendidikan. Hal ini menyusul disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang menerapkan pedoman penting tentang pelayanan kesehatan reproduksi untuk usia sekolah dan remaja.
PP yang diterbitkan pada 27 Juli itu sebenarnya aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 Tetang Kesehatan. Dalam PP ini mengatur urgensi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk penyediaan alat kontrasepsi.
Hal itu tertuang dalam pasal 103 ayat 3 dan 4. Bahkan penyediaan alat kontrasepsi itu tertuang di ayat 4 di pasal 103 pada hurif d. Penyediaan alat kontrasepsi inilah yang menuai pro dan kontra.
Kelompok kontra ini kebanyakan menyoroti penyediaan alat kontrasepsi ini menyalahi nilai luhur pendidikan. Terlebih lagi amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama sudah pasti tak sejalan dengan aturan penyediaan alat kontrasepsi di kalangan pelajar.
Mereka khawatir, dengan disediakannya alat kontrasepsi justru membuat rasa ingin tahu akan mereka akan semakin tinggi. Alih-alih membuat mereka paham akan edukasi alat kontrasepsi, kebijakan tersebut malah menjembatani pelajar untuk lebih ’berani’ dalam melakukan seks bebas.
Dengan adanya alat kontrasepsi yang seolah-olah ’dibolehkan untuk dipakai kapan saja’ dikhawatirkan akan menghancurkan moral generasi bangsa.
Hal inilah yang membuat gelombang penolakan terjadi di berbagai lini pendidikan.
Sementara, di kalangan yang pro dengan kebijakan ini justru sebaliknya. Mereka mengembalikan aturan ini pada niatan awal pemerintah. Yakni menghindari pelajar dari seks bebas dan pernikahan dini.
Diakui atau tidak, seks bebas dan pernikahan dini saat ini sudah merabah ke semua tingkatan pendidikan. Utamanya jenjang sekolah menengan pertama dan sekolah atas.
Buktinya, banyak daerah yang mengalami permihonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Ironisnya, rata-rata pemohon dispensasi ini sudah mengalami kecelakaan hamil duluan atau maried by accident.
Dari sinilah sebenarnya pemerintah ingin menyelamatkan generasi penerus bangsa. Apalagi, para remaja yang menikah muda, mayoritas tidak bisa mendapatkan hidup layak sesuai dengan cita-citanya.
Dari sinilah, pemerintah mencoba menghindari gelombang seks bebas yang sangat tak terarah dengan kebijakan ini. Diakui atau tidak pelajar tingkat SMP dan SMA belum bisa berfikir dengan realistis.
Dengan rayuan gombal saja, mereka bisa memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pasangannya yang hanya berdasarkan cinta monyet. Bahkan dengan bekal kepercayaan itu, mereka bisa saja melakukan hubungan terlarang.
Nah dari sinilah seharusnya kita bisa lebih bijak. PP tersebut boleh saja dikritik. Artinya harus ada saran perbaikan. Misalkan saja, menteri pendidikan diwajibkan untuk menambah pendidikan moral dan agama sejak pendidikan usia dini.
Hal ini tak lepas dari sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem garis tegak lurus dengan pemerintah. Setelah moral dan agama ditata sejak dini mereka akan memiliki modal sebagai tameng untuk menentukan benar dan salah.
Selain itu, kita juga harus mengetahui dampak positif itu kebijakan tersebut. Beberapa di anataranya berupa, penurunan tingkat kehamilan, penurunan tingkat kelahiran, penurunan tingkat aborsi, terutama di kalangan remaja dan perempuan muda.
Kasus stunting atau tengkes, gangguan janin pada ibu hamil, merupakan potret permasalahan yang menuntut semua pihak tak boleh tutup mata. Semua itu merupakan risiko ketika kesehatan reproduksi tak dijaga.
Hingga kini kasus-kasus pernikahan dini masih menjadi problem di setiap daerah. Banyak pasangan berusia muda yang belum siap menjadi keluarga dan berakhir dengan perceraian.
Sebelum semua itu terjadi, perlu dipikirkan membangun pagar supaya masalah tersebut tak melebar. Khususnya edukasi tentang pendidika seks hingga pola edukasi yang tepat untuk generasi mendatang.