Dari jumlah tersebut terbagi menjadi beberapa kategori yaitu Rintisan, Berkembang, Maju dan Mandiri. Dari 4 kategori tersebut, desa wisata bestatus rintisan masih menempati posisi teratas dari sisi jumlah, yaitu 4.757 desa.
Meningkatnya jumlah desa wisata di Indonesia tentunya menjadi kabar baik bagi pengembangan desa di Indonesia, karena dianggap sebagai salah satu bagian dari pembangunan desa berkelanjutan.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga desa wisata yang kemudian keberadaannya hanya jalan di tempat atau bahkan berwujud administrasi surat keputusan (SK).
Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti kurangnya pemahaman terhadap konsep desa wisata, karena seringkali desa wisata disalahartikan hanya sebagai destinasi wisata.
DALAM beberapa tahun terakhir ini, jumlah desa wisata di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Mengutip dari laman resmi Kemenparekraf Indonesia, ada 6.106 desa wisata yang berpartisipasi aktif dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).
Dari jumlah tersebut terbagi menjadi beberapa kategori yaitu Rintisan, Berkembang, Maju dan Mandiri. Dari 4 kategori tersebut, desa wisata bestatus rintisan masih menempati posisi teratas dari sisi jumlah, yaitu 4.757 desa.
Meningkatnya jumlah desa wisata di Indonesia tentunya menjadi kabar baik bagi pengembangan desa di Indonesia, karena dianggap sebagai salah satu bagian dari pembangunan desa berkelanjutan.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga desa wisata yang kemudian keberadaannya hanya jalan di tempat atau bahkan berwujud administrasi surat keputusan (SK).
Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti kurangnya pemahaman terhadap konsep desa wisata, karena seringkali desa wisata disalahartikan hanya sebagai destinasi wisata.
Kapital sosial dalam membangun desa wisata
Dalam membangun dan kemudian mengembangkan desa wisata, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Desa wisata bukan sekedar memikirkan konsep wisata yang bisa mendatangkan banyak pengunjung atau wisatawan, yang kemudian akan memberikan keuntungan secara finansial saja.
Desa wisata adalah sebuah daerah yang menjadi tujuan wisata yang menawarkan daya tarik wisata, fasilitas penunjang dan kemudahan akses (Kemenparekraf 2024).
Orientasi dari desa wisata bukan hanya terkait ada peningkatan ekonomi lokal, tetapi juga sebagai upaya pelestarian warisan budaya dan aktivitas promosi konservasi lingkungan.
Oleh karena itu, kunci utama dalam pengembangannya adalah adanya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat agar bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana melakukan integrasi kehidupan masyarakat lokal sebagai bagian dari daya tarik wisata yang berbasis pada nilai-nilai lokal, budaya, alam, dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dalam proses pengintegrasian tersebut, harus dihadirkan adanya trust (kepercayaan) antar sesama warga, pelaksana dan tentunya pemerintah desa. Dengan adanya kepercayaan tersebut akan mewujudkan sebuah energi sosial yang mampu menyatukan masyarakat meskipun berbeda latar ekonomi, politik, atau budaya.
Sebagai implementasinya adalah bagaimana semua warga bisa saling gotong royong dan berkolaborasi serta merasa memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan desanya.
Kepercayaan tersebut kemudian berlanjut pada adanya kepercayaan terhadap pihak-pihak yang melaksanakan dan juga sistem pendukung pengembangan desa wisata.
Di saat bersamaan, pihak-pihak pelaksana seperti lembaga pengelola dan pemerintah desa juga wajib membangun komunikasi yang inklusif dan transparan kepada seluruh masyarakat.
Pembukaan akses informasi serta pelibatan masyarakat mulai dari proses perencanaan hingga evaluasi menjadi kapital yang sangat krusial sekaligus strategi yang sangat penting dalam membangun dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan.
Kapital sosial tersebut selanjutnya akan menciptakan semangat gotong royong dalam pengelolaan desa wisata dengan terbentuknya jaringan sosial antara masyarakat, pemerintah desa, dan bahkan mitra luar.
Tahapan selanjunya adalah bagaimana kemudian melangkah pada proses pemberdayaan masyarakat.
Diperlukan adanya identifikasi terhadap potensi baik itu Sumber Daya manusia (SDM) maun potensi desa yang bisa diangkat sebagai bagian dari desa wisata, seperti budaya, seni, alam berserta produk yang bisa dihasilkan.
Hasil dari identifikasi tersebut akan menjadi sebuah pola pemetaan terhadap pemberdayaan. Jika sudah ada komunitas-komunitas di sebuh desa maka tinggal bagaimana memberdayakannya dengan berbagai pelatihan-pelatihan yang terkait.
Tantangan dalam Penguatan Kapital Sosial
Masyarakat di sebuah desa tentunya memiliki berbagai latar belakang yang berbeda, entah itu agama, ekonomi, profesi dan bahkan politik.
Keberagaman itu, di satu sisi, menjadi sebuah kekayaan dan juga keberkahan, namun di sisi yang lain juga merupakan sebuah tantangan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengembangan sebuah desa wisata.
Keberagaman tersebut sudah seharusnya dikelola dengan baik, dan tidak selalu musti di satukan.
Jika pengembangan desa wisata yang dilakukan memilih pendekatan pengembangan berbasis komunitas, maka justru keberagaman kounitas itu sendiri yang akan menjadi stakeholder keberlangsungan desa wisata.
Sebuah komunitas dengan komunitas lainnya akan mengambil peran masing-masing dan juga kemudian berkolaborasi sebagai bagian dari aktivasi desa wisata.
Didukung dengan hadirnya pihak luar, seperti dinas terkait, akademisi, Corporate Social reponsibility (CSR) perusahan, tentunya akan semakin memperkuat pembangunan desa wisata. Bukan sebagai bentuk ketergantungan, tapi sebagai kolaborator dalam mengembangkan apa yang sudah dimiliki dan dilakukan.
Kesimpulan
Membangun dan mengembangkan desa wisata bukan melulu tentang bagaimana menarik wisatawan, meningkatkan jumlah pengunjung, dan juga mendatangkan keuntungan materi saja, akan tetapi juga tentang bagaimana mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi, mengidentifikasi potensi lalu memetakannya, dan memperkuat komunitas-komunitas yang ada di desa.
Keberadaan partisipasi masyarakat akan menjadi kapita sosial sebagai kekuatan inti untuk mewujudkan desa wisata yang inklusif, mandiri, dan berkelanjutan.
Untuk mewujudkan itu, perlu adanya sebuah pendekatan pembangunan yang mengedepankan nilai-nilai dan budaya lokal. Selain itu peran aktif pemerintah, akademisi, dan pelaku wisata juga dibutuhkan dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa secara partisipatif.