Menjaga Kepercayaan Publik Terhadap Proses dan Hasil Pemilu 2024
Murianews
Selasa, 11 Juni 2024 14:50:00
PEMILIHAN Umum (Pemilu) 2024 merupakan pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPD, anggota DPRD Kabupaten, serta sekaligus memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pemilu ini adalah pemilu serentak kedua setelah sebelumnya pernah diselenggarakan pada pemilu 2024.
Meski bukan pengalaman yang pertama bagi Bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu serentak, namun bukan berarti penyelenggara pemilu tak menghadapi problem dan kendala berat dalam mensukseskan pergelaran pesta demokrasi ini.
Dari tahapan demi tahapan yang dimulai sejak 20 bulan sebelum hari pemungutan suara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu terus dihadapkan dengan berbagai masalah. Baik masalah teknis, admistratif, sampai pada masalah internal sumberdaya manusia (SDM) penyelenggara dari tingkat pusat sampai daerah dan termasuk penyelenggara Adhoc.
Walaupun secara umum tantangannya sama, namun dinamika politik di masyarakat tentu sangat jauh berbeda. Bagaimana masyarakat juga menghadapi era post truth di mana hoaks atau kebohongan bisa menjelma menjadi kebenaran (menurut mayoritas publik).
Masifnya gempuran informasi hoaks melalui berbagai saluran yang mendegradasi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu menjadi tantangan baru di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Oleh sebab itu, penyelenggara pemilu saat ini dituntut tidak hanya menguasai regulasi dan teknis penyelenggaraan pemilu saja. Namun bagaimana juga cakap dalam mengelola informasi, mengendalikan serangan hoaks dan tentu saja menjalin komunikasi yang professional dengan berbagai stakeholders dan lapisan masyarakat dalam menjaga kepercayaan (trust) terhadap proses dan hasil pemilu.
Lantas, bagaimana seharusnya penyelenggara pemilu menjaga kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu? Pemilu adalah pemilihan umum yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Secara rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana diubah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Penggganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, yang saat ini familiar disebut Undang-Undang Pemilu.
Masyarakat melihat Pemilu bukan hanya soal siapa yang ditetapkan sebagai pemenang baik dalam pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD) maupun dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pemilu dilihat, dirasakan dan dinilai mulai dari proses awal tahapan hingga akhir puncak pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil perolehan penghitungan suara hingga proses-proses pasca penetapan hasil pemilu.
Konsistensi penyelenggara pemilu dalam melaksanakan setiap tahapan agar selalu dipercaya publik menjadi keniscayaan yang harus diwujudkan.
Pelaksanaan tahapan pemilu sebenarnya telah dipandu atau dituntun melalui regulasi yang ketat. Pasal 2 Undang-Undang Pemilu memerintahkan pemilu harus dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luberjurdil).
Di pasal berikutnya, dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan pemilu dengan memenuhi prinsip: mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien.
Oleh karena itu, apa yang seyogyanya dilakukan penyelenggara pemilu dalam menjaga kepercayaan publik terhadap proses dan hasil-hasil pemilu? Tentu tidak bisa ditawar lagi penyelenggara pemilu di semua tingkatan harus mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai asas dan prinsip pelaksanaan tahapan pemilu yang diatur oleh undang-undang.
Apabila penyelenggara pemilu telah sungguh-sungguh melaksanakan seluruh tahapan pemilu sesuai pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Pemilu di atas, tentu saja masyarakat akan menaruh kepercayaan terhadap proses dan hasil pemilu.
Meskipun namanya pemilu, sebaik apapun penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tahapan pemilu, di hadapan pihak yang kalah tentu akan ada salahnya. Namun, ketika asas dan prinsip telah dijalankan dengan baik, penyelenggara pemilu tidak akan sulit menjawab keraguan sebagian pihak masyatakat tersebut.
Pelaksanaan prinsip penyelenggaraan pemilu di atas dapat diperinci lagi menjadi beberapa hal penting.
Pertama terkait prinsip kemandirian. Dalam peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 dijelaskan, mandiri mankanya, dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu bebas atau menolak campur tangan dan pengaruh siapapun yang mempunyai kepentingan atas perbuatan, tindakan, keputusan, dan/atau putusan yang diambil.
Penyelenggara pemilu tidak boleh terpengaruh kepentingan politik peserta pemilu baik secara langsung atau tidak langsung, apalagi menjadi bagian dari agenda kepentingan politik peserta pemilu tertentu.
Kedua, melaksanakan prinsip terbuka. Menjaga komunikasi yang baik terhadap semua stakeholder dan menjaga keterbukaan informasi menjadi salah satu cara untuk mengurangi kesalahan persepsi, kesalahan informasi (disinformation), maupun gencarnya informasi hoaks yang sengaja diproduksi dan dipublikasikan untuk menyerang penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu penting punya cara untuk menepis atau mengklarifikasi setiap informasi hoaks, sebab jika tidak diklarifikasi, hoaks yang beredar massif bisa berubah seolah menjadi kebenaran yang endingnya merugikan penyelenggara pemilu.
Ketiga, profesionalitas. Dalam melaksanakan prinsip ini, penyelenggara pemilu memahami tugas, wewenang dan kewajiban dengan didukung keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Seseorang akan bisa bekerja profesional jika didukung dua hal: pengalaman dan pengetahuan. (*)