BENCANA alam banjir yang terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Kudus, Demak, dan Grobogan, pada Februari dan Maret tahun 2024, tentunya menjadi suatu keprihatinan bersama masyarakat Jawa Tengah khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari dipandang sebagai salah satu pemicu jebolnya tanggul Sungai Wulan di wilayah Demak, yang merupakan percabangan dari Sungai Serang dan Lusi yang melintasi wilayah Kabupaten Grobogan.
Bencana alam ini menambah deretan angka statistik kebencanaan di Indonesia. Tidak kurang dari ribuan penduduk di wilayah Kudus dan Demak terpaksa mengungsi karena ketinggian air akibat bencana hidrometeorologi air tersebut.
Akses jalan pantura, jalur Kudus–Demak pun putus selama beberapa pekan, sehingga harus dilakukan pengalihan arus kendaraan melalui wilayah Jepara dan juga Grobogan.
Ditambah pula, distribusi barang dan penumpang transportasi umum mengalami keterlambatan. Di sektor pendidikan, sejumlah sekolah terpaksa diliburkan karena kondisinya terendam air.
Alarm Kebencanaan dalam Kearifan Lingkungan
Siklus bencana banjir yang terjadi secara periodik dan repetitif ini sebenarnya sebuah sinyal dari alam bagi kita untuk untuk melakukan introspeksi dan refleksi demi perbaikan tata kelola dalam berbagai sektor pembangunan yang terkait secara materiil maupun nonmateriil.
Semua komponen masyarakat harus memiliki komitmen bersama untuk hidup selaras dalam harmoni dengan lingkungan alam. Untuk itu diperlukan penguatan kearifan ekologis yang bersinergi dengan dinamika politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan di kalangan masyarakat dan pemangku kebijakan pembangunan.
Ini berarti diperlukan adanya penguatan karakter pembangunan masyarakat yang berorientasi pada kesadaran ekologis di semua lapisan masyarakat. Jadi, harmoni antara kehidupan masyarakat dengan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya dibebankan pada komunitas masyarakat pecinta lingkungan.
Harmoni semacam ini tidak akan terwujud jika masing-masing komponen masyarakat berjalan sendiri-sendiri. Sebagai sebuah refleksi, sejauh ini, terkesan masih ada disharmoni antarkomponen masyarakat.
Pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan aspek ekologi. Pemangku otoritas publik yang terkesan lambat dan kurang responsif terhadap dinamika lingkungan. Rendahnya tingkat literasi ekologi di kalangan masyarakat, sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap rendahnya kepedulian atas kelestarian lingkungan.
Gejala siklikal yang diberikan oleh alam seperti fenomena pendangkalan sungai, air pasang secara periodik, hilangnya sumber mata air di sejumlah titik, pergantian periode musim yang tidak menentu, dan beberapa sinyal alam lainnya, tentu tidak bisa direspon secara instan.
Dibutuhkan adanya habitus (kebiasaan) sadar lingkungan yang melekat secara alami. Senyampang dengan hal tersebut, tumbuhnya kearifan lingkungan di semua kalangan masyarakat akan menjadi faktor utama dalam mitigasi bencana alam.
Kearifan lingkungan yang terpupuk secara alamiah akan berfungsi sebagai alarm kebencanaan yang selalu aktif di setiap waktu.
Normalisasi sungai secara periodik, perbaikan tanggul secara dini tanpa menunggu banjir datang, dan mitigasi bencana yang responsif dengan melibatkan masyarakat adalah salah satu buah dari penguatan literasi ekologi di kalangan masyarakat.
Ketika kearifan lingkungan ini menjadi sebuah kesadaran umum/bersama, maka tanggung jawab pelestarian lingkungan dan penanggulangan kebencanaan akan menjadi goal setting bersama, di mana harmonisasi antar komponen masyarakat dalam kehidupan yang berdampingan dengan lingkungan secara arif akan terwujud.
Ini semua tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan literasi, khususnya literasi ekologi dan kebencanaan bagi masyarakat.
Literasi Ekologi Tanggung Jawab Semua
Konsep literasi yang saat ini berkembang, telah bergeser dari paradigma awal literasi, yang terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, menuju paradigma yang lebih luas dan tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat.
Bencana banjir yang terjadi secara periodik di berbagai tempat di Indonesia, semakin menunjukkan pentingnya edukasi literasi ekologi dan kebencanaan di tengah-tengah masyarakat.
Semua pihak harus mengambil peran dalam pendidikan literasi berbasis lingkungan ini, baik di tingkat keluarga, sekolah, masyarakat umum dan pemerintah, karena pentingnya pembentukan karakter masyarakat yang peduli terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab bersama.
Distribusi tanggung jawab dalam pendidikan literasi ini, akan berdampak pada semakin responsif-nya sikap di semua kalangan masyarakat terhadap keadaan lingkungan.
Di tingkat pendidikan sekolah, edukasi literasi lingkungan melalui bisa diintegrasikan dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sudah berjalan, dengan memperbanyak jumlah buku bacaan tentang kepedulian lingkungan.
Di tingkat keluarga dan masyarakat hendaknya terus ditumbuhkan sikap peduli terhadap lingkungan, termasuk melalui program-program peduli lingkungan di tingkat desa.
Di samping itu, di tingkat pemangku kebijakan (policy maker), juga harus secara terbuka menyerap aspirasi yang mendukung kepedulian terhadap lingkungan, sehingga akan tercipta sinergi antara kesadaran individu masyarakat, kontrol sosial yang berkesinambungan dan kebijakan yang responsif terhadap lingkungan dan kebencanaan. (*)