FORUM Rektor Perguruan Tinggi Negeri baru saja menyelenggarakan sarasehan kebudayaan. Temanya ’’Kontribusi Perguruan Tinggi dalam Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan Berbasis Kebudayaan’’. Salah satu sub-temanya adalah penguatan nilai kebangsaan Generasi Y dan Z.
Hal yang mengemuka dalam diskusi adalah adanya perbedaan cara pandang antara generasi yang lebih tua dengan generasi Y (lahir tahun 1981-1996) dan Z (lahir tahun 1997-2012).
Bagi generasi yang lebih tua (generasi X dan baby boomer), diskusi tentang kebangsaan, kebhinekaan, ideologi, dan sejenisnya merupakan hal biasa.
Sebaliknya bagi generasi Y dan Z, hal-hal itu cenderung dianggap tema yang berat. Mereka lebih bisa menikmati hal-hal seperti olah raga, musik, film, dan sejenisnya.
Dampaknya, sulit mengajak generasi Y dan Z untuk mendiskusikan, apalagi menghayati dan mengamalkan, nilai-nilai tersebut.
Hal itu tentu merupakan tantangan bagi bangsa ini, termasuk bagi guru, dosen, dan lembaga pendidikan.
Di sini ada dua hal besar yang perlu diurai. Hal pertama tentang gap antargenerasi dan hal kedua tentang internalisasi nilai-nilai filosofis yang terkesan berat itu.
Perbedaan antargenerasi tidak hanya berkaitan dengan urusan yang berat-berat. Dalam urusan yang ringan juga terjadi. Salah satunya tentang pola komunikasi.
Banyak orang tua, termasuk para guru dan dosen, mengeluhkan cara komunikasi anak-anak muda yang dinilai kurang sopan.
Dalam komunikasi melalui Whatsapp (WA) ada yang kirim pesan pada waktu yang tidak tepat, misalnya di atas jam 21.00.
Ada yang isi pesannya tidak sopan seperti misalnya sok mengatur atau bersifat fait accompli atau bahkan menyalah-nyalahkan. Ada pula yang kirim pesannya terus-menerus karena tidak bisa menerima penjelasan alias ngeyel.
Dalam komunikasi secara tatap muka, generasi Y dan Z cenderung kurang akrab dan kurang dekat.
Sulit mengajak mereka ngobrol santai sebab mereka lebih asyik dengan gadget. Dengan tetangga kiri-kanan dan dengan orang-orang yang lebih tua mereka cenderung cuek.
Dengan adanya gap komunikasi antargenerasi, maka upaya penguatan nilai-nilai kebangsaan bagi generasi Y dan Z menjadi lebih sulit.
Diperlukan upaya-upaya ekstra untuk mengatasinya. Diperlukan upaya-upaya agar komunikasinya menjadi lebih lancar dan efektif. Tidak cukup dengan pola-pola lama.
Hal kedua yang juga menjadi tantangan adalah konten nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, serta ideologi dan sejenisnya yang tergolong berat.
Jangankan untuk generasi Y dan Z, untuk generasi X dan baby boomer pun hal itu tergolong berat. Masalah nilai-nilai dan masalah ideologi tetap merupakan hal yang berat bagi banyak orang.
Maka kesulitan dalam upaya menguatkan nilai-nilai kebangsaan bagi generasi Y dan Z menjadi berlipat ganda.
Dulu, pada masa Orba penguatan nilai-nilai kebangsaan dilakukan melalui penataran P4. Kegiatan tersebut menuai banyak kritik. Salah satunya karena sifatnya paksaan.
Kritik lainnya tentang metodenya yang kaku dan membosankan karena didominasi ceramah dengan pola komunikasi satu arah. Kritik lainnya lagi tentang kontennya yang bersifat indoktrinatif, tidak ada celah untuk mendebat atau mempertanyakan.
Kritik-kritik itu tetap relevan sampai sekarang. Jika misalnya upaya penguatan nilai kebangsaan dilakukan dengan cara yang sama dengan petaran P4 niscaya akan mendapat kritik serupa dan bahkan lebih keras.
Ditambah lagi generasi Y dan Z yang akan menjadi peserta merupakan insan yang sangat berbeda. Mereka umumnya merasa asing dengan hal-hal yang bersifat ideologis. Umumnya mereka enggan membahas hal-hal yang berat.
Sekarang lingkungan eksternal juga sudah berubah. Dulu generasi X dan baby boomer belum banyak berkenalan dengan dunia luar karena sarananya belum ada.
Sekarang anak-anak muda bisa dengan mudah menikmati budaya dari luar negeri berkat kemajuan teknologi informasi. Mereka adalah digital native alias sudah melek digital sejak kelahirannya.
Artinya tantangan dalam penguatan nilai kebangsaan bagi generasi muda sekarang menjadi semakin berat. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Pertama, nilai-nilai kebangsaan perlu dibumikan menggunakan bahasa gaul. Kontennya harus tetap kokoh.
Penelitian, kajian mendalam, dan diskusi serius oleh generasi tua harus terus dilakukan. Salah satu hasil yang harus dicapai adalah menurunkan konsep-konsep abstrak filosofis itu ke dalam rujukan-rujukan empiris.
Dengan begitu, semua orang bisa memahami nilai-nilai kebangsaan dalam pengertian yang konkrit, bukan dengan cara menghafal kata-kata.
Kedua, nilai-nilai kebangsaan yang sudah diturunkan ke dalam konteks kehidupan nyata itu dicarikan cara untuk dikomunikasikan dengan cara yang ringan.
Boleh saja sebuah konsep bersifat kompleks. Boleh saja gagasannya mengandung nilai filosofi yang tinggi. Tetapi cara penyampaiannya harus sederhana, ringan, dan riang.
Ketiga, pesan-pesan yang bersifat sederhana dan ringan disampaikan dengan media yang diakrabi anak muda yaitu media digital. Dalam hal ini tentu dibutuhkan kreativitas tinggi agar materi yang diunggah memperoleh perhatian.
Jika hal-hal di atas bisa diwujudkan maka penguatan nilai kebangsaan bisa dilaksanakan dengan cakupan masif secara serentak. Dari segi konten juga memungkinkan terjadinya dialog dan pengembangan gagasan. Semoga. (*)