Opini
Suara Kampus untuk Jokowi: Suara Moral atau Suara Politik?
Murianews
Sabtu, 10 Februari 2024 12:22:00
MENJELANG menit-menit akhir kontestasi pemilu untuk suksesi kepemimpinan nasional dan sudah mulai terlihat kandidat presiden siapa yang berpeluang besar terpilih sebagai presiden Indonesia ke-8 menggantikan Presiden Jokowi, muncul suara-suara kritis dari kampus atau universitas terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi.
Narasi dunia kampus, Presiden Jokowi sudah dinilai menerapkan konsep negara kekuasaan.
Presiden menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan (rule by the law) untuk kepentingan keberlanjutan kekuasaan. Presiden telah bersikap partisan yang menabrak etika dan moral pemerintahan dan demokrasi.
Narasi kampus ini jika tidak dikelola dan direspon dengan baik dan tepat oleh administrasi Presiden Jokowi, akan berpotensi menimbulkan kegaduhan dan ketidakstabilan politik dan keamanan nasional.
Tidak menunggu waktu yang lama, muncul narasi dunia kampus lainnya yang mendukung kepemimpinan Presiden Jokowi dan mengimbau dunia kampus untuk menjaga narasi di ruang publik, agar tidak menggangu proses dan tahapan pemilu, dan situasi kamtibmas secara umum.
Narasi melawan narasi.
Opini melawan opini.
Satu tesis memunculkan anti tesis lainnya, adalah warna khas dunia kampus dan sistem demokrasi.
Namun ketika perdebatan atau dialektika begitu tajam di ruang publik dan ternyata di belakangnya ada ’’sang dalang’’ yang membuat skenarionya. Maka fenomena ini adalah karakter khas perpolitikan Indonesia sejak era Presiden Soeharto sampai era Presiden Jokowi.
Sang dalang atau sutradara sudah tentu memiliki kepentingannya sendiri. Dalam percaturan politik, kepentingan sutradara cuma satu, yakni kekuasaan.
Ketika proses politik terlihat merugikan kepentingan sutradara, maka pembentukan opini publik dengan menggunakan sumber daya strategis yang dimiliki adalah solusi terbaik yang bisa dilakukan.
Dunia kampus adalah salah satu sumber daya strategis yang masih dimiliki oleh para aktivis 98. Kebetulan suara kampus masih memiliki power dalam perpolitikan Indonesia. Sehingga para aktivis reformasi ini, boleh diasumsikan sebagai sutradara di balik suara kritis kampus terhadap perilaku politik Presiden Jokowi.
Sang sutradara berasumsi perilaku politik Presiden Jokowi yang mendongkrak elektabilitas Prabowo-Gibran menjelang pemungutan suara 14 Februari 2024, adalah ancaman terhadap kepentingannya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa basis massa aktivis 98 adalah dunia kampus. Sehingga alangkah naif kalau kita ikut-ikutan setuju bahwa suara kampus adalah suara moral, bukan suara politik.
Meskipun para guru besar kampus bersikukuh bahwa suara kampus adalah suara moral dan etika, namun dunia politik adalah ruang yang siapapun masuk di dalamnya. Meskipun suaranya terdengar indah dan sejuk, namun akan dianggap garing dan berbau politik praktis.
Dengan demikian, suara dunia kampus yang mengkritisi kepemimpinan Presiden Jokowi yang terlihat menerapkan konsep negara kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo-Gibran, tetap harus dibaca suara politik dengan agenda politik praktis.
Agenda politik praktis apakah gerangan? Mencegah produk gagal reformasi, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, menjadi orang nomor satu di Indonesia. (*)