PENGALAMAN makan, pengalaman dalam persaingan sengit untuk terceritakan. Pameran foto saat menikmati menu-menu makanan menjadi raihan keunggulan. Pengucapan kata-kata berkaitan citarasa makanan mengesahkan derajat pemuja makanan. Segala hal berkaitan makanan, tata cara makan, tempat, waktu, dan lain-lain diakui mendefinisikan manusia sebagai ”pemakan terhormat”.
Acara-acara memasak, menikmati makanan, atau pengisahan makanan ramai di televisi dan ruang publik. Kehadiran beragam tokoh memungkinkan pemaknaan ”berlebihan” agar mendapat perhatian lama. Makan pun sering terbahasakan asing, setelah ada pamrih-pamrih dalam derajat internasional.
Penggunaan benda-benda baru mengubah kebiasaan makan. Di hadapan publik atau tatapan orang lain, makan diusahakan sebagai ”upacara” atau ”teater” menghendaki ada kesan-kesan dimufakati bersama.
Kita dalam zaman (muslihat) makanan. Di keseharian, makan dan makanan tetap tema terbesar tapi mengalami imbuhan-imbuhan mencengangkan menjadi perumitan. Pelbagai hal baru dimunculkan berakibat pengabaian hal lama. Pokok dalam urusan makan dan makanan teralihkan ke penciptaan manja, terlena, dan ketagihan. Kita ingin sederhana tapi dunia menghendaki ada pelampauan.
Di sela kesibukan memikirkan dan memuja makanan, sekian orang ingin kembali ke masa lalu. Mereka menempuhi jalan tradisional. Mereka ingin bersekutu romantis bersama alam. Keinginan sehat, selamat, dan bahagia. Nina Planck dalam buku berjudul
Real Food (2007) menjelaskan:
”Makanan alami adalah makanan tradisional. Menurut saya, tradisional artinya ‘cara yang biasanya kita pakai untuk mengonsumsi makanan tersebut.’ Artinya, makanan yang berbeda untuk bahan yang berbeda: buah-buahan dan sayur-sayuran sangat baik jika ditanam sendiri dan musiman; padi-padian harus utuh; lemak dan minyak tidak disaring. Mulai dari pertanian hingga pabrik dan dapur, makanan alami diproduksi dan dipersiapkan dengan cara tradisional – tetapi bukan sekadar nostalgia”.
Di situ, kita dibujuk memahami makanan alami berbeda dari makanan (produksi) pabrik. Pada abad XXI, makanan sering berarti segala hal dari pabrik. Dapur-dapur masih ada tapi menganggur dan tak ramai lagi. Pabrik mendatangkan makanan-makanan untuk memudahkan dan memanjakan publik. Masalah harga bisa termaklumi. Kenikmatan tentu mengandung muslihat dan pengisahan fantastis.
Kita dibentuk gagasan perbedaan atau persaingan antara makanan (rumahan), makanan (warung), makanan (pabrik), dan lain-lain. Bahan, tata cara memasak, sajian, dan pengalaman makan terbedakan. Semua memerlukan bahasa dan pengimajinasian ruap. Konon, alami atau tradisional atau kuno mulai dikehendaki kembali setelah orang-orang terjenuhkan makanan berselera pabrik. Pengertian makanan dalam olahan bahasa dan makna kolosal. Makanan tersantap tetap bersumber dari tanaman dan hewan meski mulai ada pertimbangan-pertimbangan istimewa.
Kita simak ikhtiar-ikhtiar menguak bobrok dan aib makanan berlatar abad XXI. Kita membuka buku berjudul
Fakta Mengejutkan Makanan Modern (2010) garapan Michael Pollan. Kita membaca masalah-masalah pelik di Eropa dan Amerika Serikat. Jutaan orang menanggung ilusi dan dilema makanan. Mereka pun menginginkan kebenaran dan kenikmatan. Mereka menghindari duka-duka menimpa atau petaka bakal menghancurkan bersumber makanan.
Michael Pollan mengungkapkan: “Dengan pertanian, kita dapat melipatgandakan populasi spesies makanan, dan karenanya, mengubah kehidupan kita. Industri menjadi jalan untuk menciptakan kembali rantai makanan manusia, dari tanah yang subur beralih ke kaleng sup yang bisa dimasukkan ke dalam microwave dan didesain khusus supaya pas dengan ukuran tempat cangkir dalam mobil.” Semua berdampak bagi kesehatan dan kebahagiaan umat manusia. Makanan bukan perkara mudah. Di situ, ada ilmu, uang, teknologi, konstitusi, bangunan, propaganda, kekuasaan, dan lain-lain.Di Indonesia, orang-orang ingin meniru Eropa dan Amerika Serikat. Peniruan kadang menderitakan. Pembesaran peniruan mendapat sokongan dari pelbagai pihak berdalih bisnis, pariwisata, pendidikan, atau diplomasi. Kita mengerti tapi tak sabar mengikuti alur dan dampak. Makanan malah persoalan-persoalan. Kita makan mendapat beban-beban tak semua terselesaikan bila berlagak mau bijak. Persoalan makin rumit saat mengaitkan makan dan makanan dengan iman. Kita mengalami abad XXI dalam tata kehidupan teknologis. Makanan pun bergerak dan bermakna dengan teknologis. Iman untuk pijakan mengurusi makan dan makanan tetap terakui tapi perlahan samar.Kita kembali membaca penjelasan Nina Planck: “Beberapa bahan dalam makanan cepat saji yang terkenal, burger, beberapa di antaranya bahan tambahan, yang secara ketat diatur oleh undang-undang yang diambil dari sumber alami dan sintetis. Beberapa dikaitkan dengan kehiperaktifan dan masalah perilaku lainnya yang terjadi pada anak-anak, asma, penyakit ginjal, dan kanker.” Kalimat-kalimat meresahkan bagi orang mengartikan makan demi sehat, kuat, dan gembira. Orang makan seperti bakal menerima kutukan-kutukan: sakit dan mati.Penjelasan atau khotbah mengenai makanan gampang dikalahkan iklan. Propaganda berdalih “ini” dan “itu” kadang manjur saat diajukan oleh ilmuwan, artis, tokoh tenar, dan lain-lain. Publik boleh linglung saat ingin mengartikan manusia dan makanan. Di segala penjuru, iklan dan propaganda meminta persetujuan ketimbang orang-orang berpikiran lama atau merenung demi kebajikan dalam makan.Michael Pollan menerangkan masa lalu dan masa sekarang: “Manusia mulai mengolah bahan makanan mereka sehingga alam tidak mengambilnya kembali: Siapa lagi yang menguasai semua itu kalau bukan alam, melalui mikroorganisme-mikroorganisme yang menjadi kaki tangannya, merebut kembali makan siang yang telah kita peroleh dengan susah payah? Maka, kita pun belajar mengasinkan, mengeringkan, mengasapi, dan membuat manisan pada masa awal pengolahan makanan, dan selanjutnya, kita belajar mengalengkan, membekukan, dan menggunakan kemasan hampa udara. Teknologi-teknologi ini merupakan anugerah dan membebaskan manusia dari siklus alami kelebihan dan kekurangan pangan, juga dari tirani penanggalan atau lokal.”Peradaban makanan telah bergerak jauh. Kita makin tak mengerti. Perkara paling sederhana adalah mengartikan makanan itu kehidupan dan kematian. Kita terlalu pusing bila menerima seribu penjelasan dari pelbagai pihak sering bertentangan. Makan itu mengingatkan kehidupan dan kematian. Kita mengerti dengan mudah meski bisa salah bila terlalu mengentengkan. Begitu. (*)
*) Penggiat literasi dan Kuncen Bilik Literasi Solo
[caption id="attachment_290531" align="alignleft" width="150"]
Bandung Mawardi*)[/caption]
PENGALAMAN makan, pengalaman dalam persaingan sengit untuk terceritakan. Pameran foto saat menikmati menu-menu makanan menjadi raihan keunggulan. Pengucapan kata-kata berkaitan citarasa makanan mengesahkan derajat pemuja makanan. Segala hal berkaitan makanan, tata cara makan, tempat, waktu, dan lain-lain diakui mendefinisikan manusia sebagai ”pemakan terhormat”.
Acara-acara memasak, menikmati makanan, atau pengisahan makanan ramai di televisi dan ruang publik. Kehadiran beragam tokoh memungkinkan pemaknaan ”berlebihan” agar mendapat perhatian lama. Makan pun sering terbahasakan asing, setelah ada pamrih-pamrih dalam derajat internasional.
Penggunaan benda-benda baru mengubah kebiasaan makan. Di hadapan publik atau tatapan orang lain, makan diusahakan sebagai ”upacara” atau ”teater” menghendaki ada kesan-kesan dimufakati bersama.
Kita dalam zaman (muslihat) makanan. Di keseharian, makan dan makanan tetap tema terbesar tapi mengalami imbuhan-imbuhan mencengangkan menjadi perumitan. Pelbagai hal baru dimunculkan berakibat pengabaian hal lama. Pokok dalam urusan makan dan makanan teralihkan ke penciptaan manja, terlena, dan ketagihan. Kita ingin sederhana tapi dunia menghendaki ada pelampauan.
Di sela kesibukan memikirkan dan memuja makanan, sekian orang ingin kembali ke masa lalu. Mereka menempuhi jalan tradisional. Mereka ingin bersekutu romantis bersama alam. Keinginan sehat, selamat, dan bahagia. Nina Planck dalam buku berjudul
Real Food (2007) menjelaskan:
”Makanan alami adalah makanan tradisional. Menurut saya, tradisional artinya ‘cara yang biasanya kita pakai untuk mengonsumsi makanan tersebut.’ Artinya, makanan yang berbeda untuk bahan yang berbeda: buah-buahan dan sayur-sayuran sangat baik jika ditanam sendiri dan musiman; padi-padian harus utuh; lemak dan minyak tidak disaring. Mulai dari pertanian hingga pabrik dan dapur, makanan alami diproduksi dan dipersiapkan dengan cara tradisional – tetapi bukan sekadar nostalgia”.
Di situ, kita dibujuk memahami makanan alami berbeda dari makanan (produksi) pabrik. Pada abad XXI, makanan sering berarti segala hal dari pabrik. Dapur-dapur masih ada tapi menganggur dan tak ramai lagi. Pabrik mendatangkan makanan-makanan untuk memudahkan dan memanjakan publik. Masalah harga bisa termaklumi. Kenikmatan tentu mengandung muslihat dan pengisahan fantastis.
Kita dibentuk gagasan perbedaan atau persaingan antara makanan (rumahan), makanan (warung), makanan (pabrik), dan lain-lain. Bahan, tata cara memasak, sajian, dan pengalaman makan terbedakan. Semua memerlukan bahasa dan pengimajinasian ruap. Konon, alami atau tradisional atau kuno mulai dikehendaki kembali setelah orang-orang terjenuhkan makanan berselera pabrik. Pengertian makanan dalam olahan bahasa dan makna kolosal. Makanan tersantap tetap bersumber dari tanaman dan hewan meski mulai ada pertimbangan-pertimbangan istimewa.
Kita simak ikhtiar-ikhtiar menguak bobrok dan aib makanan berlatar abad XXI. Kita membuka buku berjudul
Fakta Mengejutkan Makanan Modern (2010) garapan Michael Pollan. Kita membaca masalah-masalah pelik di Eropa dan Amerika Serikat. Jutaan orang menanggung ilusi dan dilema makanan. Mereka pun menginginkan kebenaran dan kenikmatan. Mereka menghindari duka-duka menimpa atau petaka bakal menghancurkan bersumber makanan.
Michael Pollan mengungkapkan: “Dengan pertanian, kita dapat melipatgandakan populasi spesies makanan, dan karenanya, mengubah kehidupan kita. Industri menjadi jalan untuk menciptakan kembali rantai makanan manusia, dari tanah yang subur beralih ke kaleng sup yang bisa dimasukkan ke dalam microwave dan didesain khusus supaya pas dengan ukuran tempat cangkir dalam mobil.” Semua berdampak bagi kesehatan dan kebahagiaan umat manusia. Makanan bukan perkara mudah. Di situ, ada ilmu, uang, teknologi, konstitusi, bangunan, propaganda, kekuasaan, dan lain-lain.
Di Indonesia, orang-orang ingin meniru Eropa dan Amerika Serikat. Peniruan kadang menderitakan. Pembesaran peniruan mendapat sokongan dari pelbagai pihak berdalih bisnis, pariwisata, pendidikan, atau diplomasi. Kita mengerti tapi tak sabar mengikuti alur dan dampak. Makanan malah persoalan-persoalan. Kita makan mendapat beban-beban tak semua terselesaikan bila berlagak mau bijak. Persoalan makin rumit saat mengaitkan makan dan makanan dengan iman. Kita mengalami abad XXI dalam tata kehidupan teknologis. Makanan pun bergerak dan bermakna dengan teknologis. Iman untuk pijakan mengurusi makan dan makanan tetap terakui tapi perlahan samar.
Kita kembali membaca penjelasan Nina Planck: “Beberapa bahan dalam makanan cepat saji yang terkenal, burger, beberapa di antaranya bahan tambahan, yang secara ketat diatur oleh undang-undang yang diambil dari sumber alami dan sintetis. Beberapa dikaitkan dengan kehiperaktifan dan masalah perilaku lainnya yang terjadi pada anak-anak, asma, penyakit ginjal, dan kanker.” Kalimat-kalimat meresahkan bagi orang mengartikan makan demi sehat, kuat, dan gembira. Orang makan seperti bakal menerima kutukan-kutukan: sakit dan mati.
Penjelasan atau khotbah mengenai makanan gampang dikalahkan iklan. Propaganda berdalih “ini” dan “itu” kadang manjur saat diajukan oleh ilmuwan, artis, tokoh tenar, dan lain-lain. Publik boleh linglung saat ingin mengartikan manusia dan makanan. Di segala penjuru, iklan dan propaganda meminta persetujuan ketimbang orang-orang berpikiran lama atau merenung demi kebajikan dalam makan.
Michael Pollan menerangkan masa lalu dan masa sekarang: “Manusia mulai mengolah bahan makanan mereka sehingga alam tidak mengambilnya kembali: Siapa lagi yang menguasai semua itu kalau bukan alam, melalui mikroorganisme-mikroorganisme yang menjadi kaki tangannya, merebut kembali makan siang yang telah kita peroleh dengan susah payah? Maka, kita pun belajar mengasinkan, mengeringkan, mengasapi, dan membuat manisan pada masa awal pengolahan makanan, dan selanjutnya, kita belajar mengalengkan, membekukan, dan menggunakan kemasan hampa udara. Teknologi-teknologi ini merupakan anugerah dan membebaskan manusia dari siklus alami kelebihan dan kekurangan pangan, juga dari tirani penanggalan atau lokal.”
Peradaban makanan telah bergerak jauh. Kita makin tak mengerti. Perkara paling sederhana adalah mengartikan makanan itu kehidupan dan kematian. Kita terlalu pusing bila menerima seribu penjelasan dari pelbagai pihak sering bertentangan. Makan itu mengingatkan kehidupan dan kematian. Kita mengerti dengan mudah meski bisa salah bila terlalu mengentengkan. Begitu. (*)
*) Penggiat literasi dan Kuncen Bilik Literasi Solo